[CERPEN] Kekuatan Hati Menggapai Cahaya - Karya Melia
Hidup saya berubah drastis ketika didiagnosis dengan tumor otak. Saya berharap, ini hanya sebuah mimpi. Saya duduk termenung di ruang tunggu rumah sakit, mendengar suara detak jantung makin tak beraturan. Saya berusaha menerima kenyataan yang baru saja disampaikan oleh dokter. Bayangan masa depan yang dahulu cerah, kini tertutup awan gelap ketidakpastian.
Namun, di balik awan kelam ini, saya menemukan kekuatan yang tidak pernah disadari ada di dalam diri sendiri. Qadarullah pada hari itu, mengubah semua perjalanan hidup saya selamanya. Semua bermula, saya sering mengalami kejang di saat istirahat malam, kejadian pertama kali terjadi ketika saya berusia 20 tahun.
Pada saat itu, saya masih menjadi mahasiswi Analis Kimia semester 3, dengan padatnya jadwal di kampus. Saya berpikir serangan kejang terjadi karena faktor kelelahan, tetapi setelah serangan pertama serangan kejang itu terus hadir. Kondisi serupa berulang kali, akhirnya saya pergi ke dokter spesialis saraf sebuah rumah sakit yang ada di Kota Bogor.
Dokter meminta saya melakukan beberapa pemeriksaan lebih lanjut termasuk pemeriksaan CT Scan. Dari hasil pemeriksaan CT Scan, diketahui ada benjolan di bagian otak saya, dokter mengatakan bahwa saya terkena tumor otak dan harus segera dioperasi. Saya pun bergeming, bingung tidak tahu harus bagaimana dan berbuat apa.
Dunia terasa akan runtuh seketika. Bagaimana mungkin? Saya masih muda, memiliki banyak mimpi dan harapan. Proses penyembuhan yang panjang itu dimulai. Dimulai dari pengobatan tradisional hingga second opini ke dokter lain. Beberapa bulan kemudian, setelah mendapatkan second opini, akhirnya kedua orang tua dan keluarga besar memutuskan untuk melanjutkan pengobatan terapi operasi sesuai permintaan dokter.
Operasi berlangsung lancar dan sukses, dari hasil pemeriksaan patologi anatomi, tumor otak saya tidak ganas, merupakan Astrocytoma grade 1 (low grade). Selain itu, saya tidak perlu terapi lanjutan tetapi didampingi dengan mengonsumsi obat anti kejang yang bernama phenytoin di bawah konsul spesialis saraf.
Sebulan pasca operasi dilakukan pemeriksaan ulang CT Scan, hasil pemeriksaan menunjukkan masih tersisa tumor, tetapi tidak ada perkembangan. Hari-hari saya selanjutnya berjalan seperti biasa, termasuk menyelesaikan kuliah, wisuda, dan menikah. Setiap hari, saya menelan pil-pil anti kejang dengan penuh harapan. "Ini semua demi masa depan," kata saya di dalam hati.
Meskipun mengonsumsi obat kombinasi beberapa anti kejang, pada saat kelelahan saya pasti akan mengalami serangan kejang. Hal ini dikarenakan otak mengalami tekanan dari tumor yang tersisa, berdasarkan hasil pemeriksaan rutin MRI otak setiap tiga tahun sekali. Sembilan belas tahun kemudian, keluhan serangan kejang lebih sering terjadi walaupun obat anti kejang rutin dikonsumsi.
Pada saat itu, suami membawa saya konsultasi ke spesialis saraf di rumah sakit lain. Dokter meminta agar melakukan pemeriksaan MRI otak ulang, karena hasil pemeriksaan yang ada merupakan hasil pemeriksaan satu tahun lalu. Dari hasil pemeriksaan ulang MRI otak, dokter memberikan opini untuk melakukan operasi kedua.
Menurut dokter, operasi kraniotomi pertama yang telah saya lakukan tidak mematikan inti dari tumor tersebut. Sehingga tumor ini mengalami pertumbuhan walau lambat, serta mengganggu aktivitas saya setiap hari. Meski begitu, saya berusaha tegar, menggenggam harapan tetap berserah diri kepada Allah Swt. dalam menjalaninya.
Operasi kedua merupakan keputusan yang sangat besar bagi saya. Terbesit dalam pikiran, bagaimana suami dan anak-anak saya nanti? Apa saya pasca operasi masih dapat mendampingi mereka?. Begitu banyak pertimbangan-pertimbangan yang muncul, pada saat saya meyakinkan hati untuk melakukan operasi kedua.
Operasi kedua merupakan ketakutan terbesar dalam hidup saya. Alhamdulillah, suami, anak-anak, keluarga besar, maupun sahabat-sahabat selalu ada mendampingi, memberikan dukungan tiada henti. Namun, ada saat-saat di mana saya merasa begitu sendiri, terperangkap dalam ketakutan dan kecemasan. Saya sering bertanya-tanya, apakah saya bisa melewati semua ini? Apakah saya akan bisa kembali hidup normal?
Operasi kraniotomi kedua pun dijadwalkan. Rasa takut dan cemas kembali menghantui, tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Saya dapat berbagi dengan teman-teman di komunitas penyintas tumor otak. Di grup ini, saya bertemu dengan teman-teman yang memahami betul apa yang saya alami. Hal ini, karena mereka juga pernah melalui masa-masa sulit, operasi yang melelahkan, serta terapi yang tak ada habisnya.
Mendengarkan kisah mereka, saya seperti menemukan sebuah harapan baru. Mereka adalah bukti nyata bahwa perjuangan ini dapat dihadapi dengan penuh kemenangan. Salah satu kisah yang paling berkesan adalah kisah dari salah seorang anggota grup, Lilia namanya. Dia telah menjalani 6 kali operasi dan masih terus berjuang. Namun, semangat dan keceriaannya tak pernah pudar.
"Kamu tahu tidak," katanya, "selalu ada cahaya di ujung sebuah terowongan panjang. Kita hanya perlu terus berjalan menuju ke arah itu. Allah telah mengatur semua jalan cerita ini, yakinlah Allah selalu bersama kita."
Kata-kata Lilia sangat membekas di dalam benak saya. Pada hari operasi kedua ini, saya merasa lebih tenang. Doa-doa panjang selalu saya panjatkan di sepanjang sujud pada setiap sepertiga malam, sambil mengingat semua perjuangan suami yang sangat bersikeras untuk kesembuhan saya serta dukungan dari semua orang di sekeliling. Dukungan dan semangat ini menjadi bahan bakar keberanian bagi saya.
Hasil operasi kedua sangat memuaskan, tumor berhasil diangkat semua oleh dokter spesialis bedah saraf dan timnya. Hasil pemeriksaan dan pantauan spesialis bedah saraf pasca operasi, kemampuan gerak, sistem memori dan semua organ tubuh yang berhubungan dengan koordinasi otak saya berjalan normal.
Hari demi hari berlalu. Setelah setahun pasca operasi, saya harus menghadapi kehilangan terbesar dalam hidup ini. Suami mengalami sakit keras selama tiga bulan lamanya. Entah kekuatan datang dari mana, saya mampu merawatnya selama berada di rumah sakit. Ternyata tiga bulan ini merupakan detik-detik terakhir kebersamaan kami. Allah lebih menyayangi suami sehingga dipanggil menghadap kepada Sang Maha Pencipta, tepat pada hari Jumat pada tanggal 27 Oktober 2017. Kenangan indah bersamanya selalu terlintas di pikiran saya.
"Aku tahu kamu pasti bisa," katanya pada malam sebelum dia pergi.
Kehilangannya adalah pukulan terberat yang meruntuhkan semangat saya. Dia adalah sosok yang selalu ada, memberikan semangat dan kekuatan selama saya melawan penyakit ini. Walaupun di tengah duka yang mendalam, saya dapat menemukan keberanian untuk terus berjuang demi anak-anak.
Sekarang, saya sudah sembuh sepenuhnya dan sudah beraktivitas secara normal. Pengalaman hidup ini, mengajarkan saya untuk menghargai setiap momen dan berterima kasih atas dukungan orang-orang terdekat kita. Kehilangan menjadi luka mendalam tetapi juga menjadi sumber kekuatan untuk terus melangkah maju. Saya berharap, dapat memberikan harapan dan inspirasi kepada mereka yang sedang berjuang melawan penyakit atau menghadapi tantangan dalam kehidupan ini.
***
Bionarasi
Melia adalah nama pena seorang wanita berdarah Minang kelahiran bulan Juni 1977. Ibu dari tiga orang anak dan satu orang cucu ini, sangat suka menorehkan kata-kata pada secarik kertas, menjelajahi alam, berkebun, dan menikmati secangkir kopi hangat. Beliau dapat dijumpai di akun Instagram-nya @c_famelia. Selain itu dapat menghubunginya melalui: Facebook: Cindiana Famelia, blog: fameliamelia.blogspot.com.