[CERPEN] Menjemput Senja
Senja di bibir pantai menampilkan pesonanya, membuat banyak pasang mata terkagum-kagum kala mereka mengarahkan pandangannya pada mentari. Semilir angin membelai lembut kulit yang dingin dengan sepasang netra menatap menghadap ke langit. Bintang-bintang mulai bertebaran, tanda akan kehadiran sang malam.
Di pesisir laut yang senantiasa melipat-lipat ombaknya. Gadis kecil itu menerbitkan senyumnya tatkala ia melihat bintang di langit. Ia mengangkat tangannya sambil menghubung hubungkan tiap titik bintang itu menjadi sebuah konstelasi. Namun, karena itu pula, kepalanya jadi pegal dan lelah.
"Ainun, pulang! Sebentar lagi malam, kamu bisa main lagi besok. Apakah tidak ada hari lagi sampai kau bermain selarut ini?" ucap seseorang mengomel sembari menghampiri Ainun.
"Baiklah-baiklah.” Dengan setengah hati Ainun menuruti kakak perempuannya untuk pulang.
Ia menggerutu dalam hati. Sayang sekali, padahal hari ini sangat cerah membuat dirinya betah untuk duduk menghadap pantai sambil menatapi langit. Tetapi, ia juga tidak bisa terus terusan berada di sana karena hari sudah petang, lantas ia mengikuti langkah Kakaknya untuk pulang.
Malam pun datang dengan bintang bintangnya, dengan Ainun yang masih menekuk wajahnya menatap keluar jendela. Rasa ingin bermainnya terus menggelora. Sampai ia sendiri tidak sadar, abangnya sudah menatapnya sejak tadi.
"Hah, hari ini cerah sekali, menikmatnya di Bukit Rumput pasti lebih indah. Sayang sekali kita hanya melihatnya melalui jendela ini,” ucap abangnya yang tengah menggoda Ainun yang sedang bermuka masam.
"Buat apa? Nanti Ayah marah,” jawab Ainun malas. Dalam hati ia jadi ingin ke Bukit Rumput, tetapi ia juga takut tidak diizinkan Ayahnya pergi malam-malam.
"Eh tidak boleh ya? Kasihan.”
"Diam kau.” Sambil menunjuk abangnya dengan telunjuk dan mukanya yang mengancam.
“Ayo ikut aku, naik,” tawar abangnya menggendong.
“Mau ke mana?” tanya Ainun penasaran.
“Nanti juga tahu, ayo ikut aja. Eh, tapi matamu harus ditutup ya, biar surpraise.”
“Kenapa sih,” keluhnya Ainun.
“Mau, nggak, sih?”
“Eee, iya, iya. Jangan aneh aneh ya. Kulaporkan Ayah nanti,” ancamnya pada abangnya.
“Sok, nanti kamu akan kena juga loh, ha-ha-ha,” balas abangnya dengan tawa jahat kepada Ainun yang mencoba mengancamnya.
“Ish.”
Dengan banyak pertanyaan dan bayangan di kepalanya, Ainun tetap menerima tawaran abangnya meski Ia tidak tahu akan diajak ke mana.
Jalanan tampak gelap, sang Abang menyuruh Ainun yang ada di punggungnya untuk menyalakan senter ke depan dan abangnya yang berjalan menggendong dirinya.
Sesampainya mereka di tempat tujuan, abang Ainun membuka penutup mata adiknya. Dan, seketika Ainun ternganga melihat pemandangan di depannya.
“Waa, indah sekalii. Ha-ha-ha,” teriak riang Ainun sambil berlarian ke tengah bukit.
“Hati-hati, Ai, nanti melayang,” sorak Abangnya sambil bercanda.
“Ya aku ingin melayang ke angkasaaa. Uwaaa, he-he-he,” timpal Ainun yang sedang senang-senangnya berlarian.
Indahnya angkasa, membuat mereka larut dalam pesonanya. Tak terasa waktu makin berjalan dan hari makin malam. Sadar akan itu, Abangnya mengajak Ainun untuk pulang dan menyudahi bermain mereka.
“Ainun, ayo pulang. Nanti ketahuan Ayah,” ajak abangnya.
“Enggak, nggak mau. Bentar lagi dong,” tolak Ainun.
“Ayooo, pulang! Nanti kalau Ayah sudah pulang, kamu mau kena marahnya?!” perintah abangnya karena ketika mereka pergi tadi, ayahnya sedang pergi ke rumah tetangga.
“Iya-iya sebentaar doang, janji deh abis ini,” kekeuh Ainun menolak.
“Abang lihat, uwaa, cantik banget,” teriak Ainun sambil melepaskan kunang-kunang yang beterbangan di tangannya.
“Naaah, sudah terbang semua, sekarang ayo pulang. Besok kalo bisa, kita bisa ke sini lagi kok, Abang janji,” ucap abangnya sambil menunjuk kelingkingnya agar adiknya tidak cemberut lagi sambil bersungut-sungut di rumah.
“Oke janji ya,” tanggap Ainun mengaitkan kelingkingnya pada kelingking abangnya.
“Heeem, ya udah deh. Gendong akuu,” pinta Ainun.
“Ayo.”
Senyum tetap menghiasi wajah polos Ainun, ia masih teringat senangnya bermain dan ingin suatu saat bermain lagi ke Bukit Rumput.
Tanpa mereka ketahui, di desa sudah terjadi kericuhan. Orang-orang berlarian setelah para nelayan kembali ke rumah dan mengabarkan bahwa air laut tiba-tiba surut.
Sesampainya mereka di perkampungan, mereka kebingungan terhadap apa yang terjadi. Lalu dengan bergegas, mereka segera menuju rumah mereka yang paling dekat dengan bibir pantai.
Awwhs! Tiba-tiba tanah yang mereka pijak bergetar hebat membuat Ainun dan abangnya jatuh.
Kala mereka hendak berdiri lagi, dari kejauhan, gelombang pasang raksasa sudah siap menerjang.
“Ai kita balik saja. Gelombang sudah dekat, nanti kita bisa hanyut.”
“Nggak, kita ke sana dulu. Ayah dengan Kakak pasti masih di rumah. Kan kita tadi nggak izin ke mereka, mereka pasti nyari-nyari kita dulu, Bang!” tegas Ainun menolak ajakan Abangnya.
“Nggak, Ai, mereka pasti sudah pergi. Pasti para warga sudah tahu. Ayo, Ai, larii!”
“Tapi, Bang-” Ucapan Ainun terputus lantaran abangnya segera menarik dan menggendongnya kembali dan berlari menjauhi bibir pantai menuju dataran tinggi dekat kampung.
Dalam hati sang Abang, ia juga khawatir akan Ayah dan saudara perempuannya. Tetapi itu tidak ada waktu lagi, ia berpikir pasti mereka sudah lekas pergi. Ia lebih khawatir jika dirinya tidak bisa meyakinkan adiknya dan malah nekat kembali ke rumah mereka yang sudah dilalap ombak raksasa.
Di tengah pelarian mereka, sang Abang sudah melihat banyak orang di atas bukit sana, matanya berbinar dan mengencangkan lengan beserta kakinya untuk segera sampai ke sana.
Namun tiba-tiba, kakinya sejenak melemas dan sayangnya tanah perbukitan itu sudah mulai berguguran dan longsor. Di saat itu pula, ia melihat saudara perempuannya yang sedang menunggunya di ujung bukit dengan mimik yang khawatir.
Tanpa berpikir lagi, ia segera melemparkan Ainun ke saudaranya yang sudah berada di atas.
“Rai, tangkap!” teriaknya pada Rai, saudara perempuannya.
Dan saat itu pula, pijakan kakinya terperosok jatuh ke bawah. Ia hanya melihat Adik dan saudaranya berteriak histeris, tetapi ia sudah rela jika dirinya akan berakhir seperti ini demi menyelamatkan nyawa adiknya.
“Sabaii!” teriak keras Rai yang segera dengan menangkap Ainun dengan menyaksikan saudaranya sendiri yang seketika tertelan ombak.
“Abaangg,” teriak Ainun histeris melihat Abangnya yang tak lagi bersamanya.
Naas, gelombang kencang itu segera menelan Sabai dan tubuhnya ke dalam air laut. Mereka yang melihat dirinya jatuh, hanya bisa pasrah.
Malam itu dan bencana itu, banyak jiwa yang menjadi korban. Banyak keluarga yang kehilangan. Tapi, inilah takdir. Siapa pun bisa menolaknya, tapi mereka tidak akan dapat mengubahnya. Kini, semua telah berlalu. Semua yang hilang, tak dapat kembali pulang dan akan tersimpan dalam kenangan. Meski berat dan pahit, waktu yang maju tidak bisa untuk dimundurkan. Dan, kerelaan serta waktu akan menjadi penyembuhnya.
“Abang, Ai sudah belajar. Harusnya kita jangan mudah berjanji, karena ketika tak bisa ditepati, kecewanya itu sangat sakit.”
“Dalam hati, Ai ingin menuntut. Tapi Ai pun tahu kalau itu tidak akan berguna. Jadi Ai hanya berharap dan berserah pada Pemilik hidup ini, agar kita dapat berjumpa kembali lagi di kehidupan selanjutnya.”
“Bersama Ayah, bersama Bunda, Abang juga Kak Rai.”
Abang, Ai minta maaf. Abang, terima kasih. Terima kasih atas semuanya. Selamat tinggal Abang,” ucap panjang Ainun di samping gundukan tanah dengan nisan nama abangnya. Ia mengusap air mata yang terus membasahi pipinya dan mulai melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.
Lima tahun berlalu, kini hanya ada Ainun dan Rai, kakak perempuannya. Ayahnya turut menjadi korban dari bencana itu dan jenazahnya tak pernah ditemukan hingga saat ini. Semuanya usai bersamaan dengan waktu itu. Dengan semua korban dari peristiwa tsunami itu. Ainun yang kini telah remaja menjalani hidup hanya dengan kakak perempuannya di tempat yang berbeda. Kini mereka belajar mengikhlaskan keluarga mereka. Mereka belajar untuk menjadi lebih kuat dari apa yang telah mereka lewati.
“Sudah, Kak, ayo kita pulang. Hujan akan segera turun,” ucap Ainun mengajak kakaknya untuk pulang. Di tengah perjalanan, Ainun mengajak kakaknya menuju bibir pantai. Tempat yang sempat membuat mereka trauma karena mengingatkan mereka pada peristiwa itu.
Senja telah tiba, mata mereka memandang dengan senyum tipis menghadap mentari yang hendak tenggelam. Meski senja hanya bersapa sejenak, ia akan datang lagi. Di lain hari yang tak sama lagi. Dan sayangnya, hari itu belum tentu akan kita jumpai. Kita hidup dengan waktu yang sebentar, kematian dan kepergian pasti akan tiba. Hanya saja kita terlalu terikat dan tak rela, sehingga lupa bahwa hal itu bisa datang dengan tiba-tiba dan tanpa aba-aba.
Senja yang sebelumnya kita lihat, tak akan pernah sama dengan yang kita lihat kini. Dan, semua itu membawa momennya masing-masing.
***
Tentang Penulis
Kaspa Lamayang adalah nama pena seorang gadis yang tinggal di bumi. Ia menyukai bintang dan binarnya kala malam. Kini, ia masih belajar tentang merangkai kata dan jalan tempuhnya. Dengan asa dan aksi nyata, ia mampu menembus ranah khayal menjadi realitas. Dalam dunia maya, kamu bisa menemukannya di akun Instagram @kapasmelayang_.

Posting Komentar