[CERPEN] Pada Mereka yang Dihilangkan
"Akan ada masa di mana sebuah cerita akan kembali terulang, mungkin akan dimulai lagi saat fajar menyingsing, atau saat matahari terbit di ufuk timur, atau kala senja menghiasi langit. Namun, sewindu berlalu, tak ada tanda di mana cerita yang kuharapkan kembali dibacakan, akankah cerita itu akan kembali muncul atau bahkan terkubur dalam-dalam."
***
Karsa menjadi sedikit sensitif kala langit berubah tanpa ijin menjadi abu, padahal ada banyak yang harus ia kerjakan siang ini. Pertemuan dengan penerbit naskah harus dibatalkan karena acara dadakan dari semesta, padahal pertemuan kali ini sulit ia dapatkan. Dilihat dari situasi yang kian memanas akibat maraknya penangkapan para penulis pada masa itu.
Karsa terjebak di depan sebuah rumah makan yang baru saja ia kunjungi, tak berniat untuk masuk kembali, karena otomatis ia harus mengeluarkan uangnya lagi jika masuk. Untuk saat ini, Karsa tak begitu banyak pemasukan dari hasil karya yang ia buat, terakhir kali karya yang ia terbitkan terpaksa ditarik oleh suatu pihak yang merasa tulisannya berbahaya, dan membuka opini yang sulit diterima.
Tanpa lelah, Karsa berdiri mematung di depan sana, kedua telinganya ditutup headset kabel yang tersambung dengan walkman bertuliskan ‘SENI 1997’, dalam diam ia terkatup, entah apa yang ia dengar yang jelas debaran di hatinya lebih bersuara dibanding walkman itu. Kerutan di dahinya muncul kala suara tiba-tiba terhenti, ia sedikit memukul ‘walkman’ niat hati agar bisa mengundang suara kembali muncul. Namun, yang ia dapatkan adalah seseorang yang tiba-tiba mengambil walkman itu dari genggamannya.
Ketika Karsa menoleh, dilihatnya sesosok pria dengan tinggi semampai dan wajah yang rupawan, ia bernama Seni, seperti namanya sosok-nya bagai seni, indah dan bermakna.
“Sudah kubilang, walkman tidak akan bersuara jika kau hanya memukulnya,” kata Seni pada Karsa yang mendengus sebal.
“Walkman pemberianmu sangat jelek Seni, lain kali belikan yang lebih bagus, toh uang-mu kan sangat banyak,” gurau Karsa.
Seni agak bangga dengan kalimat yang terakhir Karsa ucapkan, “Uangku memang banyak, tapi jika terus membelikanmu Walkman baru, mungkin aku perlu menggadaikan kartu mahasiswaku,” kata seni sambil mengobrak-abrik walkman.
“Ke mana saja kau? Padahal sudah dari setengah jam yang lalu aku menghubungimu, tapi kau baru sampai, jangan sampai ketua mahasiswa ini berkelahi lagi ya?!” suara Karsa agak meninggi dan Seni terkekeh.
“Berkelahi itu bukan contoh yang baik bagi saya yang seorang panutan para mahasiswa, di ajeng.”
“Kalau begitu, kenapa terlambat?”
Raut wajah Seni tiba-tiba murung, awan di atas sana tampak lebih kelabu dibuatnya. “Akhir-akhir ini, kawan-kawan seperjuanganku mulai tak ada kabar, mungkin dimulai sesaat setelah aksi demo yang kupimpin di depan gedung putih itu, aku mengira mungkin mereka bersembunyi karna takutku ajak menghadap para petinggi itu lagi. Namun, saat kudatangi satu per satu rumah kawanku, orang rumah bahkan tak mendapatkan kabar dari mereka yang menghilang.” Seni menatap Karsa. “Jadi saya minta maaf terlambat menjemputmu.”
“Tidak masalah.”
***
Karsa masih bersama pujaan hatinya malam ini, Bulan muncul bersama sinarnya lebih bercahaya dibanding malam sebelumnya, seraya digendong Karsa membuka suara, “Kau tidak merasa lelah, Seni? berteriak di hadapan banyak orang dan sesekali berargumen dengan manusia batu.”
Seni mengembuskan napas panjang terlebih dahulu lalu berucap, “Jika dibayar dengan keadilan, berapa pun akan kuperjuangkan.” Seni berhenti sejenak lalu kembali berucap, “Jikalau tak ada api yang membakar kayu, mungkin aku tak akan membakar hutan. Jikalau pohon tak diruntuhkan, mungkin aku tak akan menjadi kertas. Mungkin benakmu selalu bertanya tanya, mengapa orang sepertiku yang bahkan tak peduli matahari terbit atau tidak, tiba-tiba memiliki semangat juang yang tinggi. Namun, satu hal yang perlu kau tahu, bahwa pohon sejatinya tidak perlu di ganggu, toh, yang memelihara akan mendapatkan buah, jikalau mati tubuhnya menjadi hiasan, jikalau panas rindangnya menyejukkan.” Perbincangan berhenti kala tempat yang mereka tuju sudah di depan mata.
Seni membawa satu porsi sate dibalur bumbu kacang dan kecap yang menambahkan kenikmatan, Karsa lantas girang.
“Tidak biasanya kau membelikanku sate, biasanya hanya ada semangkuk bubur di mangkuk. Atau, sebatas baso bening yang begitu asin. tapi terima kasih.” Seni mendengus mendengar penuturan Karsa, dia begitu tak tahu diri, pikir Seni agak jengkel.
“Kenapa? Kau mau mengataiku tak tahu diri?”
“Benar! Sate ini kubeli dengan tabunganku. Jadi kau harus dengan sangat menikmatinya karna ini tidak akan terulang kembali, pacarmu menjadi miskin karna harus membelikanmu walkman setiap hari.” Seni memang miskin, tapi bukan berarti ia miskin karna memberikan kekasihnya walkman setiap hari. Karna miskin itu lah ia hanya sebatas pohon di atas sumber minyak.
“Aku tidak menyuruhmu membelikanku!” Karsa merajuk.
“Kalau begitu biar aku saja yang menghabiskan ini.” Karsa lantas menarik piring sate itu saat Seni akan mengambilnya, “Enak saja!” Karsa mulai memakan satu per satu daging kecil itu.
“Enak tidak?” Karsa mengangguk riang.
“Oh ya, mengenai kawan-kawanmu.” Karsa berhenti dan mengubah ekspresinya menjadi serius. “Sepertinya nasib mereka sama dengan rekan kerjaku. Walau tidak menghilang seperti kawan-kawanmu, tapi mereka mengalami hal sial semenjak itu. Buku yang mereka tulis terpaksa tak jadi dicetak, sementara harapan mereka hidup karna itu. Beberapa orang dipaksa bungkam, dan sebagian lagi tiba-tiba berpindah kota, mereka seperti tikus yang dimangsa kucing, atau kucing yang ketakutan karna tikus.”
“Rekan rekanmu? Bagaimana denganmu?”
“Entahlah, mungkin takdir kita sama.” Mereka tiba-tiba merasa resah.
***
“Saat kepergian tak lagi menjadi ketakutan bagi manusia, mungkin itu sudah menjadi titik tertinggi bagi manusia, karna segala yang hilang baginya akan kembali.” Karsa tiba-tiba berkata saat mereka berdua sedang terduduk di bawah pohon rindang yang tangkainya hampir bisa menutupi cahaya bulan. “Itu adalah kalimat yang tertata apik pada akhir dari cerpen yang kutulis.”
“Jadi menurutmu, yang hilang akan kembali? Bagaimana dengan yang dihilangkan?”
“Bukankah sama saja? Kembali itu hal mutlak, selaras dengan matahari yang terbit pada pagi, dan bulan yang terbit pada malam hari.”
“Jelas berbeda. Hilang adalah hal murni yang terjadi dan dihilangkan adalah rekayasa yang ada. Bulan dan matahari adalah sebagian takdir. Hilang adalah sepenggal takdir. Bagaimana dengan dihilangkan? Bayangkan bila kau hilang di tengah hutan, dan aku akan menganggap kau sedang bertakdir sial, bagaimana jika kau hilang saat takdir tak menyuruhmu menghilang? Persamaan kata yang berbeda makna itulah yang menjadi kesalahan pada konsep dasar atas kalimat yang kau ucapkan. Karna sesungguhnya yang hilang akan kembali dan yang dihilangkan tak pernah kembali.”
“Bagaimana bila yang dihilangkan memang ditakdirkan untuk menghilang?” Kali ini Seni diam, bibirnya kelu, satu fakta yang tak pernah Seni katakan adalah, Seni berusaha menyangkal, seolah olah ia sedang menenangkan dirinya sendiri.
“Kenapa kau berkata seperti itu?” Seni malah balik bertanya, napasnya memburu, seakan-akan tak terima disudutkan, ia takut.
“Saat kepergianku menjadi pesan terakhir bagi alam, itu sudah menjadi takdir pada semesta, seperti langit yang berubah menjadi abu pada siang tadi, atau seperti rekaman pada walkman “SENI 1997” yang berisi pesan terakhir rekanku yang baru saja mati gantung diri, ada masanya takdir akan membawa kita dihilangkan. dan kau tak perlu susah payah untuk menyangkal.” Karsa memegang erat sebelah tangan Seni, senyumnya ia torehkan pada wajah bulatnya.
“Mungkin suara kerongkonganmu tak menjadi gerak bagi mereka yang diam, mungkin tulisanku tak menjadi hal layak bagi mereka yang buta, mungkin sakit kita menjadi sembuh bagi mereka.” Karsa melanjutkan, “Kau siap, Seni? Sebentar lagi kita akan bertemu dengan rekan dan kawanmu, di dasar laut, pada bawah tanah atau tempat yang mereka sebut nirwana.”
Selepas malam itu di bawah Pohon rindang. Pria berjas coklat dan wanita ber-dress merah tak lagi menampakkan diri, sosoknya hilang dibawa kabut gulita, meninggalkan bayang-bayang membekas dalam benak. Seperti kawan kawannya yang menghilang tanpa pesan atau kabar, seperti para penulis lain yang tak bisa bersuara, seperti tulisan karsa yang tak kunjung dicetak, semuanya terkubur dalam-dalam hingga waktu menggerogoti dan harapan mulai pupus. Karsa adalah titik tertinggi dari manusia, dan Seni memilih menjadi manusia paling rendah yang takut akan kehilangan.
End
***
Tentang Penulis
Mutia Salamah adalah seorang gadis, yang lahir pada bulan Juni di Bandung tahun 2007. Menulis menjadi bagian dari hidupnya semenjak ia duduk dibangku SMP, menjadi impian terbesar saat ia berhasil menjadi Penulis sukses di usia muda. Baginya, kesuksesan terbesar adalah saat ia mampu menjadi dirinya sendiri.
