[CERPEN] Story Endak Enak
Pada Senin pagi, seorang anak gadis terdesak di dalam angkutan umum. Dia berdandan dan membawa atribut untuk mengikuti MOS SMA. Setelah sampai di depan sekolahan, dia segera merapikan atributnya. Rambutnya dikucir lima, membawa name tag berbahan kardus, membawa rompi dan topi yang terbuat dari kertas, tak lupa menyiapkan aneka bekal yang sudah ditentukan oleh kakak OSIS (nasi, telur goreng berbentuk hati, apel merah, minuman). Semuanya sudah disiapkan oleh Dias lengkap sesuai peraturan.
Teeeeet!
Bel berbunyi tandanya semua siswa baru harus berkumpul di tengah lapangan sekolah.
Dian, salah satu siswi baru yang datang terlambat. Dia mendapatkan hukuman dari kakak OSIS. Hukumannya berdiri di depan semua siswa baru dengan memakai atribut sesuai dengan peraturan yang diberikan sambil memegang telinga, serta kaki diangkat satu selama setengah jam. Setelah itu, bernyanyi sambil bolak-balik dan masih memegangi telinganya. Dias berkata lirih, “MOS sudah berjalan lima hari. Anak itu lagi, anak itu lagi yang terlambat. Memang rumahnya di mana kok tiap hari telat terus.”
“Aku juga berpikiran begitu, ha-ha. Kok kita sepemikiran, ya,” kata teman sebelah Dias.
Pada saat hari terakhir MOS, diisi dengan outbound. Namun, melakukan PBB terlebih dahulu. Saat semua siswa sedang melakukan PBB, semua atribut pun dilepas. Saat sedang fokus melakukan gerakan, tiba-tiba ada angin puting beliung yang menerbangkan semua atribut. Semua porak-poranda terbang tidak bisa diselamatkan. Ada yang sobek, nyemplung ke got, rusak tidak ada yang selamat.
Tiba-tiba ada siswi yang datang dan berkata kepada Dias, “Punya kamu ada yang selamat, nggak?”
“Tidak ada, rusak semua,” jawab Dias.
“Tidak apa-apa kali ya, kan besok udah nggak dipakai lagi, Sudah selesai MOS-nya,” sautnya.
Dias yang belum mengenal siswi itu pun langsung berkenalan.
“Namamu siapa?” tanya Dias.
“Aku Urfi, kamu siapa?” tanya Urfi balik.
“Aku Dias, kamu dari sekolah mana?” Dan, masih banyak lagi percakapan mereka.
Saat sedang asyik mengobrol, kakak dewan ambalan meniup peluit pertanda sudah harus berkumpul dan melanjutkan kegiatan.
***
Hari Senin pun datang kembali. Hari ini hari pembagian kelas. Nama-nama siswa pun sudah dikelompokkan sesuai dengan kelasnya masing-masing. Saat melihat papan nama, ternyata Dias tidak sekelas dengan Urfi.
Sudah waktunya memasuki kelas. Semua siswa di kelas Dias merasa asing satu sama lain, bahkan teman satu meja pun tidak saling kenal. Dias duduk semeja dengan teman barunya. Mereka saling berkenalan. Saat sedang asyik berbincang, Dias melihat Dian. Ternyata mereka satu kelas. Dan, hanya Dian yang tidak asing di mata Dias.
Selama di kelas, Dian hobi menyisir rambutnya. Dia selalu membawa sisir dan kaca ke sekolah. Tiap ada kelas kosong atau pergantian pelajaran, pasti menyempatkan menyisir rambutnya. Rambutnya memang bagus. Lurus, lembut tanpa rebonding atau semacamnya.
Tidak terasa, sudah guru ke-3 yang masuk sebelum jam istirahat. Semuanya diharuskan untuk perkenalan satu sama lain di kelas X D itu. Dari situ, akhirnya semua mengetahui nama-nama teman sekelasnya.
Beberapa bulan sekolah, sudah mulai terbentuk sangga untuk extrakulikuler wajib, yaitu pramuka. Di mana Dias satu sangga (kelompok) dengan Dian, walau hati kurang sreg. Dian amanahkan menjadi ketua sangga dan Dias menjadi wakil sangga yang setiap ada kegiatan pramuka harus selalu mereka berdua yang mewakili sangganya, dari situlah Dian dan Dias menjadi lebih mengenal dan akrab satu sama lain.
***
Tiba hari Jumat ada kegiatan pramuka setelah selesai jumatan.
Priiit! Priiit!
Bunyi peluit panjang dari kakak dewan ambalan pertanda upacara pembukaan pramuka akan segera dimulai. Herly, Dian, Urfi, Iqbal, Dias, dan Roni datang terlambat. Mereka pun dihukum untuk baris-berbaris dan membersihkan lapangan setelah selesai upacara. Anak-anak kelas X yang lain masuk kelas untuk menerima materi. Di sela-sela sibuk membersihkan lapangan, mereka bercanda ria.
“Dias kamu kenapa terlambat, udah ketularan Dian ya?” ejek Herly yang memang satu kelas dengan mereka, Dias dan Dian.
“Enak aja, ketularan, emang panu pake nular segala,” sahut Dian sambil bercanda. Semua ikut tertawa .
“Urfi juga tumben terlambat?” tanya Roni.
“Iya, tadi pulang ke kos dulu ambil halsduk ketinggalan,” jawab Urfi.
“Untung aja hidungmu nempel, Ur, coba kalo nggak nempel, pasti ketinggalan juga,“ ledek Iqbal. Kebetulan mereka memang satu kelas.
Semua tertawa.
“Ada-ada saja kamu Iqbal,” sahut Dias. Dari sini, keenam anak ini saling akrab dan merasa satu frekuensi.
Setelah beberapa kegiatan event mereka lakukan bersama. Tibalah mereka akan camping ke gunung yang ada di salah satu daerah. Dengan berbekal nekat dan meminta pendampingan dari salah satu guru yang aktif di kegiatan Pencinta Alam (PA dan membawa sekalian timnya. Mereka berangkat dengan menaiki mobil pick up.
“Dias, awas! Dias awas!” teriak Herly.
“Ada apa, Her?” sahut Dias.
“Ada aku yang mau naik dari sini,” jawab Herly dengan santainya. Memang Herly ini suka iseng orangnya
“Ur! Ur!“ teriak Iqbal.
“Opo?” jawab Urfi santai.
“Ono upil di lubang hidungmu,” jawab Iqbal. Semua pun ikut tertawa.
“Loh, aku kok nggak diteriaki,” sahut Dian yang berusaha ikut melucu…
“Kamu nggak penting Dian, “ jawab Herly sambil tertawa meledek. Semua pun ikut tertawa.
“Sudah yuk, mau pada berangkat atau enggak ini?” tanya Pak Iwan salah satu pendamping mereka yang merupakan tim Pencinta Alam dari sekolahan mereka.
“Berangkat dong. Masa enggak,” sahut Herly.
“ Ur! Ur!“ panggil Herly.
“Opo, Her?” sahur Urfi.
“Upilmu masih?”
“Masih tuh, dua gulung,” kata Dian.
“Mana ada dua gulung,” sahut Iqbal.
“Tiga panci,“ sahut Roni.
Tertawa sepanjang jalan. Tim PA yang memang sudah akrab dengan mereka pun ikut menikmati perjalanan dengan tertawa riang gembira.
“Kenapa kalo orang setelah ngupil jari telunjuk sama jempol memutar-mutar?” tanya Pak Iwan sambil dipraktikkan dengan tangannya.
“Karna upilnya biar bulat,” jawab Dias.
Semua pun tertawa.
“Karna enak kalo abis ngupil digituin,” sahut Urfi.
“Karna biar nggak kebuang, kan sayang kalo dibuang,” jawab Herly sambil slengean.
Semua pun ikut tertawa.
“Salah semua,” kata Pak Iwan.
“Terus apa dong? Oh ya karna upil asin,“ sahut Dian. Semua tertawa.
“Kamu pernah makan upil ya?” tanya Herly sambil meledek.
“Ha-ha, kalo makan bakso kurang asin kasih upil,” sahut Dias.
“Apa dong, Pak, jawabannya? “ tanya Roni.
“Karna upil kecil, coba kalo gede, nggak pake telunjuk sama jempol. Tapi pake telapak tangan,” kata Pak Iwan sambil praktik menggunakan tangan.
“Ha-ha-ha-ha.“ Semua tertawa terbahak-bahak.
“Perkara upil, ha-ha.”
Sepanjang perjalanan mereka saling melempar lelucon, tiba – tiba mobil berhenti tidak kuat dengan tanjakan.
“Kenapa ini, kenapa kok mogok?“ Semua saling bertanya panik.
“Mobilnya nggak kuat harus didorong,” kata pak sopir yang sedikit panik.
Akhirnya semua pun turun ikut mendorong mobil. Saat sampai di atas, mobilnya malah jalan dulu, semua ditinggal.
“Loh, loh, loh! Kok kita ditinggal?” kata Dias.
“Dasar mobil nggak tahu ya. “ Herly berceloteh.
“Nggak tahu apa, Her?“ tanya Roni.
“Nggak tahu kalo kita capek,“ jawab Herly.
“Endak enak emang,“ celetuk salah satu pendamping.
“Endak enak. Kita emang endak enak,” kata Herly.
Dari situ, keenam anak SMA itu melabeli mereka sebagai sekelompok anak dengan sebutan “Endak Enak”.
***
Tentang Penulis
Siti Maryam adalah nama penulis dari cerita mini yang berjudul “Story Endak Enak“ yang merupakan ibu rumah tangga dan sudah mempunyai dua anak. Di usianya yang sudah tidak muda lagi, Maryam masih ingin belajar menulis. Karena menjadi penulis merupakan salah satu keinginannya dulu waktu masih SMA.