[CERPEN] Tetap Menyala Meski Berselimut Duka
Namaku Rahmat, aku anak pertama di keluarga. Dua adik perempuan kembarku kelas 1 SD. Kami hidup dalam kesederhanaan. Ibuku adalah sosok yang sederhana, ibu rumah tangga yang selalu tahu yang terbaik untuk keluarganya. Masih teringat jelas saat usiaku masih 16 tahun, sepulang sekolah aku dikejutkan dengan banyaknya orang di rumah, entah apa yang terjadi, tetapi jantungku terasa berdetak begitu kencang seolah ada sesuatu yang belum siap aku dengar.
Siang itu, langit cerah membawa banyak harapan. Di sebuah tempat penampung kayu di pinggir jalanan desa. Bapakku tengah bekerja keras. Keringat mengucur deras dari pelipisnya, menandakan betapa berat beban yang dipikulnya hari itu. Pekerjaannya memang kuli panggul kayu, mengangkat dan memindahkan balok-balok kayu besar yang akan dikirim ke berbagai tempat. Ia bekerja dengan penuh ketekunan. Setiap kali ia mengangkat balok kayu, seakan-akan membawa harapan untuk keluarganya. Harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Beberapa hari Bapak memang sakit, tetapi hari itu ia memaksa bekerja karena merasa sudah lebih baik. Saat ia mengangkat balok yang tampaknya lebih berat dari biasanya, kakinya tersandung akar pohon yang menyembul ke tanah. Ia kehilangan keseimbangan. Dalam sekejap mata, balok kayu besar itu terjatuh dan menimpa tubuhnya. Jeritan kesakitan itu terdengar, tetapi seketika menjadi hening. Rekan-rekan kerjanya berlari menghampiri, tapi terlambat. Bapak tergeletak di tanah dengan napas yang perlahan-lahan berhenti. Suasana menjadi duka yang mendalam. Sosok bapak yang menjadi tumpuan keluarga telah tiada.
Ibuku mencoba menjelaskan, tetapi air mataku keburu tumpah membanjiri satu ruangan. Aku menjerit sekuat tenaga, menangis sekeras-kerasnya. Betapa aku ingin hidup lebih lama dengannya. Berbagi segala cerita suka dan duka. Pemakamannya berjalan begitu cepat. Seperti tidak percaya bahwa Bapak sudah tiada. Ibu mencoba menenangkanku, menjelaskan dengan penuh kasih sayang kepada dua adikku. Dua bulan berlalu, kami mulai menata kehidupan baru. Ibuku memutuskan untuk bekerja di pabrik rokok demi membiayai hidup kami. Lalu bagaimana dengan aku dan kedua adikku?
Ibu pekerja keras, ia harus berangkat pagi dan akan kembali saat petang tiba. Maka segala urusan pribadi dan keluarga sepakat untuk dibagi bersama. Ibu tak pernah lupa memberikan ruang bercerita untuk kami bertiga. Meski sebenarnya ia begitu letih selepas pulang kerja. Ia selalu memastikan kasih sayangnya tidak berkurang, karena luka kehilangan Bapak masih begitu dalam. Hanya tersisa kenangan indah yang tak mudah dilupakan. Betapa sering kami mengalami ejekan teman karena tak punya bapak. Itu menyakitkan bahkan untuk kedua adikku yang malang. Belum kenyang mereka akan kasih sayangnya.
Masih teringat cerita Bapak saat itu tentang namaku, beliau suka sekali dengan kisah-kisah wayang yang dibawa Wali Songo ke tanah Jawa. Membawanya dalam kehidupan pribadinya. Konon katanya, namaku terinspirasi dari nama Wali Songo, yaitu Raden Rahmat, orang yang penuh dengan welas asih. Ia berharap bahwa aku bisa tumbuh menjadi anak yang punya empati kuat, kepedulian yang tulus, dan membantu meringankan penderitaan orang lain. Itu luar biasa sekali bagi Bapak, aku pun jadi menyukai namaku.
”Nak, ingatlah bahwa hidup kita harus bermanfaat bagi orang lain. Seperti pepatah Jawa bilang, ‘Urip iku urup’, yang artinya hidup itu harus menyala dan memberi cahaya, kalau kamu bisa membantu teman yang kesulitan atau berbagi dengan orang yang membutuhkan itu artinya kamu sudah menjalankan filosofi ini, jadilah anak yang selalu berusaha membuat hidup orang lain lebih baik,” pesan Bapak padaku saat kami sedang asyik berdua kala itu.
Empat tahun berlalu, aku masih mengenang akan pesan-pesan Bapak dan berusaha menunaikannya. Kehidupan kami selepas kepergiannya terasa lebih berat, terkadang kedua adikku sering merajuk minta ini-itu, tapi ekonomi kami pas-pasan. Aku punya tanggung jawab untuk selalu menjaganya. Mencoba membantu meringankan beban ibuku, memastikan dua adik perempuanku baik-baik saja dan tumbuh dengan baik walau tanpa kasih sayang seorang bapak. Maka peranku menjadi kakak laki-laki sekaligus sebagai figur bapak baginya. Gaji ibuku benar-benar dihemat untuk keperluan sekolah dan di rumah.
Hingga suatu ketika ibuku sakit-sakitan. Selama tiga bulan Ibu tidak bekerja, uang tabungan makin menipis. Sepulang sekolah dan hari libur aku mencoba mencari pekerjaan meski hanya menjadi kuli air, mengisi bak mandi, dan penampung air milik tetangga. Saat itu, air belum mengaliri setiap rumah di desa kami, maka untuk mandi dan keperluan air lainnya kami harus ke sumber air dekat sungai. Bahkan kedua adikku berinisiatif membantu, lumayan bisa mengisi penampung air 3—4 tetangga. Ibuku masih belum sepenuhnya pulih, belakangan kami tahu penyakitnya begitu parah, dokter memvonis ibuku sakit kanker payudara. Entahlah bermula dari mana, hingga penyakit mengerikan itu bisa tumbuh di tubuh ibuku. Aku diam-diam menangis. Ibuku diam-diam setiap malam menangis, bukan menangisi penyakitnya tapi menangisi anak-anaknya. Bagaimana mungkin jika ia harus terus-menerus di rumah tidak bekerja, bagaimana dengan anaknya yang masih sekolah. Kami sadar, menjadi ibu tidaklah mudah. Kami sepakat untuk tidak merepotkan Ibu, tidak menambah beban Ibu. Kami bekerja keras, belajar dengan giat demi melihat Ibu tersenyum.
”Rahmat, titip adik kamu ya, jaga baik-baik ya!” ucap ibuku yang sedari pagi sudah berulang kali tidak sadarkan diri.
”Kalian juga nurut sama Kakak ya? Jadi anak yang baik!” ucap Ibu sambil mengelus kepala kedua adikku yang sedari tadi sudah basah pipinya.
”Ibu yang kuat ya, Ibu pasti sembuh. Kita akan selalu bersama-sama ya, Bu,” jawabku lirih menahan air mata.
Paman dan Bibi sudah sering menolong kami dalam hal merawat Ibu, termasuk keperluan kami setiap hari. Tetapi kami selalu berusaha tidak terlalu merepotkan. Agar Ibu yakin bahwa kami sudah biasa mandiri.
Pagi itu, rumah terasa hening, hanya terdengar suara detik jam yang monoton. Di dalam kamar, aku dan kedua adikku duduk di samping tempat tidur, memegang tangan Ibu yang makin dingin. Ibu telah berjuang melawan sakitnya dengan penuh ketabahan. Namun akhirnya, tubuhnya tak mampu lagi bertahan. Di pagi yang tenang itu, ia mengembuskan napas terakhirnya, meninggalkan kami dengan genangan kasih sayangnya. Tidak ada kata yang sanggup mengungkapkan betapa hancurnya hatiku saat menyadari bahwa kedua orang tuaku telah tiada. Kehilangan orang tua adalah luka yang dalam. Kapan sembuhnya? Aku pun tak tahu itu, yang aku tahu waktu pasti akan menyembuhkan, semoga cinta dan kasih sayangnya akan selalu menghidupi.
***
Tentang Penulis
Wasiatul Khusna adalah perempuan yang lahir dan besar di Kabupaten Pasuruan. Ia akhir-akhir ini suka mempelajari hal-hal tentang kepenulisan. Ia berharap bisa memiliki sebuah karya untuk masa depan.
Posting Komentar