[CERPEN] Tidak Apa-Apa untuk Berbeda

Table of Contents

Prank!

Suara-suara keras itu masih teringat jelas dalam benakku. Piring-piring kaca beterbangan bagaikan UFO  yang hendak menangkap mangsa. Makian dan sumpah serapah terlontar memekik gendang telinga. Rasa takut, khawatir, dan bingung mengaduk-aduk isi kepalaku. Sekiranya begitulah perasaan yang melekat padaku sekitar 3 tahun yang lalu. Namaku Aisyfa Aurelia, orang-orang biasanya memanggilku Syifa. Aku adalah seorang anak dengan keluarga yang sedikit istimewa. Begitu istimewanya sampai seluruh warga desa membicarakan kehidupan kami.

Sejak kecil, aku tumbuh dengan kurang mendapat kasih sayang dari kedua orang tuaku. Ayah dan ibuku selalu sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Ketika aku mengajak untuk bermain bersama, mereka selalu mengambil telepon mereka dan mengacuhkanku. Namun, aku selalu meyakini bahwa mereka sibuk demi diriku. Aku pun tumbuh dengan kasih sayang dari nenekku. Tetapi, hal yang tak pernah kuduga tiba-tiba datang menghampiriku. Malam itu, Ayah pulang dengan pakaian lusuh sambil berteriak memaki-maki isi rumah ini. Prank! Satu-per satu benda kaca dibanting ke lantai. Vas bunga, piring, gelas menjadi saksi bisu emosi Ayah saat itu. Ibu yang tadinya sedang asyik menyibukkan diri dengan pekerjaannya pun sontak kaget dan langsung menggertak Ayah. Mereka saling memaki satu sama lain. Saat itu, aku merasa sangat takut dan bingung. Bayangkan saja, anak berumur 10 tahun yang polos dan tak tahu tentang apa pun mendengar bentakan dan makian di antara kedua orang tuanya. Namun, nenekku mengajakku untuk pergi ke kamarku dan menidurkanku. Aku merasa sangat resah dan khawatir, tetapi aku terus berusaha untuk berpikir positif dan berharap semuanya akan baik-baik saja. Keesokan paginya, saat waktu sarapan, aku bertanya kepada Ayah dan Ibu. 

“Ibu, Ayah apa yang telah terjadi tadi malam? Kenapa kalian bertengkar?” tanyaku dengan polosnya. 

“Nggak ada apa-apa, Sayang,” jawab Ibu dengan lembut. 

Aku pun coba bertanya lagi, “Beneran nggak apa-apa? Tapi kenapa tadi malam Ayah marah-marah?” 

“Ayah nggak marah-marah kok, tadi malam Ayah sedang lelah, makannya ingin istirahat dan bersantai. Iya kan, Yah?” tanya Ibu kepada Ayah.

“Iya benar, Sayang, tadi malam Ayah sedang lelah. Tadi malam kamu ketakutan ya? Maafin Ayah ya, Sayang. Sudah-sudah kamu masih kecil, Sayang, fokus sekolah dulu, ya. Biar jadi orang yang pintar dan sukses.” 

“Iya, Ayah, tadi malam Syifa takut banget. Okey, Ayah. Syifa akan lebih rajin belajar biar tambah pintar, deh,” jawabku dengan riangnya saat itu.

“Ya sudah. Cepat berangkat! Sudah siang loh,” ucap Ibu sambil mengecup pipiku.

Aku pun berangkat ke sekolah bersama dengan nenekku. Setibanya di sekolah, aku memutuskan untuk membaca buku pelajaran yang ada di dalam tasku sebelum memulai pelajaran. Setelah semua pelajaran berakhir, kini telah tiba waktu pulang. Aku pulang bersama nenekku. Malam itu, hal yang sama terulang kembali. Aku pun hanya diam dan merenungi hidupku. “Kenapa akhir-akhir ini Ayah dan Ibu sering bertengkar, ya?” ucapku dalam hati.

Hari demi hari pun terlewati. Namun pertengkaran kedua orang tuaku terus memanas. Hingga pada suatu hari, hal yang tak terduga tiba-tiba terjadi. Hari itu Ayah berpamitan kepadaku. Ayah berkata padaku bahwa ia harus bekerja di luar kota.

“Syifa, kamu jaga diri baik-baik ya? Mulai besok Ayah harus bekerja di luar kota. Kamu jangan nakal kepada Ibu ya! Jangan rewel dan patuhi ucapan Ibu dan Nenek, ya!” ucap Ayah kepadaku sambil mengelus kepalaku.

Aku pun bertanya kapan Ayah akan pulang. Namun, ia hanya tersenyum dengan lesung pipi manisnya.

“Ayah pamit dulu ya. Assalamualaikum,” ucap Ayah kepadaku.

“Wa’alaikummussalam, Ayah ” jawabku. Itulah salam perpisahan terakhir yang paling kuingat dalam hidupku.

Berhari-hari aku menunggu kabar dari ayahku. Namun, tak ada secuil pun kabar yang datang. Aku pun mencoba menghubungi ayah tetapi ayah tak pernah mengangkat teleponku. Sering kali aku bertanya kepada Ibu dan Nenek. Namun, mereka hanya mengatakan bahwa mungkin Ayah sedang sibuk dan banyak pekerjaan jadi belum sempat menghubungiku.

 Perlahan-lahan kabar ini mulai tersebar ke seluruh warga desa. Berbagai rumor terus menyebar dengan cepat bagaikan kilat yang menyambar bumi. Hingga pada suatu malam, aku terbangun  dari tidur lelapku, karena merasa haus. Tanpa sengaja, aku mendengar Nenek dan Ibu yang sedang membahas permasalahan yang serius. 

“Bagaimana ini? Syifa terus menerus menanyakan kabar ayahnya, sampai kapan kita harus menyembunyikan hal ini?” tanya Nenek kepada ibuku. 

“Sabar ya, Bu, Syifa masih kecil. Aku takut dia akan trauma dan belum bisa menerima tentang perceraian ini. Aku ingin dia bahagia dan tidak menderita,” jawab Ibu kepada Nenek. 

Saat itu, dadaku langsung berdetak kencang  tak karuan, keringat dingin mulai mengucur dari tubuhku. Rasa kesal, marah, sedih, dan kecewa bercampur aduk memenuhi isi kepalaku. “Kenapa? Kenapa Ayah dan Ibu bercerai? Apakah ini semua karenaku?” Pertanyaan  itu terus muncul dalam benakku. 

Semenjak itu, kehidupanku mulai berubah sedikit demi sedikit. Kini, aku menjadi bahan candaan dan ejekan teman-teman sekolahku. Mereka pun mulai menggangguku dan bahkan mem-bully-ku dengan lebih parah. Sejak saat itu, aku mulai tumbuh menjadi orang yang berbeda. Aku menjadi seorang yang pendiam, murung, emosional, serta menutup diri dari sekitar, termasuk kepada Ibu dan nenekku. Hingga, aku telah lulus dari sekolah dasar (SD) dan kini akan melanjutkan ke sekolah menengah pertama (SMP). Kupikir masa-masa kelam itu akan berakhir, akan tetapi pikiranku terlalu dangkal untuk mengatakan bahwa masalah ini akan berakhir. Entah suatu kebetulan ataupun memang takdir Tuhan, aku sekelas dengan orang-orang yang mem-bully-ku sewaktu sekolah dasar. Mereka pun kembali mem-bully-ku dengan senangnya. Tiba-tiba ada seorang anak perempuan berkacamata menghampiriku. “Hai! Namaku Tania Az-Zahra. Panggil saja aku Nia. Kamu kenapa? Kok dari tadi diam saja? Apa kamu sedang sakit? Kalau lagi sakit aku antar ke UKS saja ya?“ tanya ketua kelas itu padaku.

“Berisik. Nggak usah ikut campur urusanku.  Kamu pikir kamu siapa? Kamu pasti mau mengejek atau menggangguku juga, kan?” ucapku dengan marah dan berteriak. Siswa-siswi di kelasku memandangku dengan tatapan jijik dan mulai mengataiku. “Lihat tuh si Syifa, udah jelek, ansos, pemarah lagi. Pick me banget nggak sih, merasa paling tersakiti dan paling menderita pastinya tuh. Siapa sih yang mau temenan sama dia?” Kata-kata itu terdengar dengan jelas dalam kepalaku. Tiba-tiba ketua kelas itu berteriak, “Teman-Teman, hentikan! Kalau kalian masih mengganggu Syifa, nanti aku laporkan kalian semua ke wali kelas!” Ketua kelas itu membelaku. Namun, karena telah telanjur sakit hati, aku pun pergi melarikan diri ke toilet dan meluapkan air mataku di sana. Ia mengetuk pintu tempat aku bersembunyi, “Syifa, apa kamu di sini? Tenang saja, aku tidak akan mengganggumu. Jika kamu sedang ada masalah, jangan dipendam sendiri. Itu semua hanya akan menyakiti dirimu. Kamu bisa menceritakannya kepadaku,” ucap ketua kelas sambil mengetuk pintu kamar mandi ini. “Nggak! Kamu nggak akan paham. Keluargaku dan keluargamu itu berbeda!” ucapku dengan lantang. “Tenang dulu Syifa. Setiap keluarga itu mempunyai cerita yang berbeda. Semesta memilihmu karena kamu begitu kuat dan hebat. Kamu tidak harus sama dengan orang lain, karena kamu itu spesial,” ucap ketua kelas berusaha menenangkanku. 

Mendengar hal tersebut, aku kemudian perlahan memberanikan diri untuk membuka pintu toilet dan meminta maaf kepada ketua kelas. “Maaf. Aku tak mau kehilangan orang yang aku sayang hanya karena aku tidak bisa mengontrol diri. Aku selalu mencoba menahan emosiku. Tapi, itu semua tidak mudah bagiku. Kenapa Tuhan memberikan ini kepadaku. Aku lelah karena terus melakukannya.”

“Sepertinya aku mengerti denganmu, karena aku juga pernah berada pada fase yang sama denganmu. Kamu tau? Saat aku terlahir ke dunia ini, itu adalah hari terakhir ibuku dapat menatap dunia ini. Ibuku mengembuskan napas terakhirnya tepat setelah aku berhasil melahirkanku. Alhasil, aku tumbuh dengan seorang ayah tunggal. Orang-orang mulai mengejekku dan memperlakukanku dengan buruk. Kemudian ayahku memutuskan untuk menikah lagi, agar aku dapat merasakan kasih sayang dari seorang ibu. Namun, menerima orang baru adalah hal yang sulit bagiku. Aku berulang kali mengabaikan ibuku, dan membencinya. Namun, perlahan-lahan aku tersadar bahwa tidak apa-apa untuk menerima orang baru dalam hidup ini. Syifa, saat aku merasa dunia tidak adil, aku juga sempat mempertanyakan Tuhan, namun aku tersadar bahwa aku terlalu fokus pada masalah bukan hikmahnya. Karena sejatinya, di balik semua masalah ini, ada banyak hal positif yang akan membuat kita lebih kuat dan tangguh dalam hidup ini. Kami harus tahu, bahwa kamu tidak sendiri di dunia ini. Jadi, jika kamu punya masalah berceritalah kepadaku dan jangan dipendam sendiri ya?” ucap sang ketua kelas. Mendengar hal tersebut, aku langsung menetaskan air mataku tanpa terbendung. Aku pun sangat bersyukur karena akhirnya aku dapat memiliki seorang teman yang benar-benar tulus. Dan akhirnya, aku dan ketua kelas pun menjadi sahabat dekat.

Kini, aku menjadi lebih berani dan lebih terbuka dengan sekitarku. Aku pun mulai kembali membuka diri dan berbicara kepada Ibu dan nenekku. Sekarang, aku juga lebih  berani dalam menanggapi setiap siswa yang mengganggu dan mem-bully-ku. Sejak saat itu, mereka tidak pernah berani mengganggu dan mem-bully-ku. Dari semua kejadian yang menimpaku, perlahan-lahan aku tersadar akan pesan indah dari Tuhan. Ingatlah teman, saat kamu merasa hidupmu sulit, kamu tidak perlu memaksakan diri berpura-pura  sedang baik-baik saja. Sebaiknya kamu jangan memikirkan masa lalu ataupun masa depan. Beristirahatlah sejenak dan pelankanlah tempomu, maka kamu akan dapat melihat orang-orang di sekitarmu. Ingatlah betapa berharganya dirimu dan selalu ingat bahwa kamu tidak akan pernah sendirian. Kamu dapat berbagi bebanmu kepada orang yang kamu percayai, mungkin itu dapat membantumu dan tentunya akan membuatmu lebih merasa nyaman. Kamu adalah orang yang telah melalui banyak waktu sulit dalam hidupmu. Jadi, ingatlah bahwa kamu adalah orang yang pantas untuk dicintai, termasuk oleh dirimu sendiri.

***

Tentang Penulis

Anak ini sangat cinta mati dengan kartun dan olahan matcha. Memiliki nama lengkap Dian Setia Ardi, atau lebih dikenal dengan nama Dian dalam kesehariannya. Ia lahir pada tahun 2007 dan sekarang sedang menempuh pendidikan di SMA kelas 12. Ia juga sangat senang jika ada yang menyapanya pada akun Instagram-nya @dian_setia_ardi.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar