[CERPEN] Aira dan Pertualangan Ketika Salat - Karya Sofatu Tajiah

Table of Contents

Aira sedang mengambil wudhu ketika pikiran mengenai Dimas mendatanginya. Sementara air dingin membasuh telapak tangannya untuk kemudian dibawanya berkumur-kumur, bayangan Dimas yang melemparkan senyum membuatnya tidak fokus. Dimas, Dimas, Dimas, begitu isi kepalanya. Begitu terus hingga ia membasuh kaki. 

Memang dasar Dimas! Laki-laki itu … mengapa masih tersenyum sedemikian manis, padahal mereka sudah berakhir? Padahal dia sendiri pun sudah punya pacar baru? Susah move on, ya? Lalu pacarnya yang sekarang cuma dijadikan pelarian? Ha! Kasihan! Aira berjanji tidak akan ambil pusing. Tidak akan, tidak akan, tidak akan! Bukan urusannya lagi apakah Dimas lebih bahagia dengan pacar barunya atau tidak. Lagi pula kenapa Aira harus memikirkan laki-laki itu terus? Ingat, Dimas cuma laki-laki buaya yang hobinya tebar pesona sana-sini. Modal tampang, modal omongan.

Selesai berwudhu, gadis berambut dicepol itu bergegas ke kamarnya dan menggelar sajadah. Ia sengaja tidak mengeringkan beberapa bagian tubuhnya yang basah karena kata Mama, bekas air wudhu yang berjatuhan itu nantinya akan bersaksi di akhirat bahwa dirinya rajin beribadah semasa di dunia. 

Aira menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya pelan. Segera ia mengenakan mukena lengkap dengan bawahannya. Lepas berdiri tegak, ia baca ‘Allohumma ajirna minannar dan As'alullohal-jannah’ masing-masing tiga kali seraya memastikan apakah rambutnya kelihatan atau tidak. Karena tidak, Aira lantas mengucap niat disusul takbiratul ihram, “Allahuakbar,” bisiknya.

Setiap menunaikan sholat subuh, gadis yang tingginya sekitar 155 senti itu seringkali masih mengantuk. Tidak jarang ia menguap hingga matanya berair, membuat buram pandangannya saat melihat Ka'bah di atas sajadah—tempat ia bersujud nantinya. Bagaimana tidak mengantuk? Semalaman, Aira maraton drama korea, merasa tanggung mengingat episodenya yang sisa satu-dua lagi. Yah, sebenarnya lima, tetapi tidak masalah karena ia tertidur pukul setengah satu. Cuma lebih setengah jam dari jam tidurnya. 

Lagi pula, Aira tidak kecewa. Ending dramanya sangat sesuai ekspektasi. Dua tokoh yang belakangan ia idolakan—dan membuatnya uring-uringan karena sempat putus—kembali bersama di saat-saat terakhir. Mereka berciuman dan—eh! Apa, sih, yang Aira pikirkan? Ia sedang sholat. Sholat.

Dengan usaha super keras Aira tepikan hal-hal itu untuk kembali fokus memperbaiki bacaannya. Ia baca ayat per ayat surah Al-fatihah, lalu melafalkan artinya dalam hati. 

Menurut Mama, hal paling nikmat di dunia adalah melakukan sholat dengan khusyuk. Dengan kata lain, pikiran tidak loncat ke sana-sini dan jauh dari urusan dunia. Aira mencoba meminta maaf pada Allah dengan memperbaiki sholatnya, menepikan pikiran-pikiran acaknya barang sejenak dari kepala. 

Namun demikian, biar bagaimanapun Aira manusia biasa, pikirnya. Salahkan setan yang pastinya sedang mengerubungi di kanan kiri, menggoda terus-menerus agar gadis itu tidak fokus melakukan ibadah. Membawa otaknya memikirkan banyak hal. Ya, kan? Memang setan bukan yang salah?

Pada rakaat kedua, Aira berusaha sholat sebaik dan semaksimal mungkin. Memastikan bacaannya dilantunkan pelan dan sesuai dengan hukum bacaan, seperti yang diajarkan oleh orang tua dan guru ngajinya. Hingga kemudian, ia sampai pada bagian membaca Qunut setelah sebelumnya menengadahkan tangan. 

Omong omong soal Qunut, Aira jadi teringat sesuatu yang lucu mengenai itu. Sesuatu yang juga memorable. Susah rasanya tidak mengingat hal itu ketika dia melakukannya setiap hari.

Itu terjadi di acara kemah empat belas agustus, tepat ketika anggota sekolahnya mendapatkan giliran untuk melakukan sholat subuh berjamaah di musholla, Dimas ditunjuk anak-anak untuk menjadi imam. Pak Dedi—guru pramuka mereka, orang paling tua di sana—tidak menganggapnya sebagai guyonan dan berakhir memberi dukungan, “Ayo, Mas, belajar,” katanya.

Aira yang masih memakai mukena bersama teman-temannya diam-diam memerhatikan di shaf paling belakang. Ia tidak sengaja menangkap Dimas menatap ke arahnya, melempar senyum, tepat beberapa waktu sebelum kemudian maju ke posisi paling depan. 

Aira jelas kelimpungan, untuk beberapa menit ke depan ia tidak memikirkan apa pun selain senyum itu. Sampai suara Dimas yang membaca lafadz Al-Qur'an mengisi seluruh musholla, tentunya malah bertambah penuh saja isi kepala Aira tentangnya. Adem, merdu dan mendadak otak anak SMA-nya membayangkan Dimas jadi imamnya saja suatu hari. Kedua sudut bibir Aira berkedut-kedut, jelas ia lupa bahwa tersenyum tidak termasuk dalam gerakan sholat.

Semula semua normal-normal saja, bacaan Dimas standar—tidak buruk tidak pula bagus-bagus amat, tetapi sepertinya cowok itu melewatkan sesuatu dan membuat nyaris semua makmumnya kebingungan. Mereka baru akan melakukan Qunut saat imam tiba-tiba saja sujud. Maka terpaksa para makmum ikut melakukannya, melewatkan bagian yang tidak kalah penting yang hanya ada pada sholat subuh. 

Jadilah beberapa makmum laki-laki di shaf tengah saling menyikut, sibuk menahan tawa, menularkan perasaan geli pada para perempuan di belakang, termasuk juga Aira dan teman-temannya. Aira sendiri menahan napas karena orang di sampingnya terus-terusan tertawa.

“Mas … Mas … Kok qunutnya kamu lewati? Kamu sholat sambil mikirin apa hayo?” Sholat usai, Pak Dedi berkata setengah bercanda. Membuat Dimas menggaruk tengkuk canggung sekaligus malu, ia mengucap maaf walaupun pelan. 

Aira hampir tersenyum mengingat itu dalam sholatnya, tepat ketika dia sudah berada di posisi duduk dan menolehkan wajahnya ke kanan lalu ke kiri, melafalkan salam dua kali, “Assalamualaikum warahmatullah.” Lirih ia berucap. Tidak terasa, sholatnya sudah selesai. Aira kemudian melakukan dzikir dengan mata terpejam. Gadis itu tidak sadar sama sekali, bahwa sedari tadi raganya memang beribadah, tetapi hati dan kepalanya melanglang buana ke sana-sini. 

Aira menengadahkan tangan, “Ya Allah, engkau maha tahu apa yang aku mau. Aamin.” 

Setelah berdo'a alakadarnya dan merasa cukup, ia buru-buru melepas mukena terlebih karena didengarnya dering telepon yang menggema, panjang, tidak ada tanda akan ada yang membantu mengangkatnya. “Pasti si Dian ngajak jogging! Aduh, aku telat, nih!” Akhirnya, Aira cuma bisa merutuk, meninggalkan alat sholatnya tanpa dirapikan terlebih dahulu. 

Manusia.

***

TENTANG PENULIS 

Sofatu Tajiah, si kutu kata dan sedikit drama. Gadis kelahiran Bandung 2005 itu merupakan pencerita akut yang juga mencintai puisi dan bermimpi menjadi penyair. Karya-karya kecilnya dapat ditemui di Instagram dan wattpad @sftjyeah_

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar