[CERPEN] Aku Adalah Kita

Table of Contents

“Tiiidaaakkk…jangan mendekat… !!” Kania berteriak kencang sambil menutup kedua telinganya dan menjatuhkan diri di lantai. 

Dia menggelengkan kepala keras-keras, saat orang-orang berjalan menghampirinya, saat mata mereka bertemu dengan matanya, “Kamu… kamu kemari……. ” 

Kania menggelengkan kepalanya kuat-kuat, “TIDAK, BIARKAN AKU SENDIRI !” 

“Ring…Ring…Ring..!” suara jam weker berkumandang membangunkan Kania dari mimpi buruk. Kania membuka matanya, berusaha mencerna situasinya, napasnya masih memburu. Kania menurunkan selimutnya, dadanya masih  berdegup kencang. Dia hanya berbaring dengan mata terbuka, tak mempedulikan dering weker yang terus menjerit. 

“Kania…matikan wekernya !” Renna, kakaknya berteriak dari balik pintu. Namun Kania masih diam tak bergerak di tempat tidur. Renna menguakkan pintu kamarnya, dan melihat Kania yang diam seperti mayat hidup, langsung berlari menghampiri dan mengguncang tubuhnya, “Kan…Kania…”  Kania masih diam tak bergerak. Dering weker masih nyalak dengankencang. Renna pun mematikan weker, dan mengguncang kembali tubuh Kania. “Kan..Kania…” 

Tiba-tiba, Kania membuka mulutnya dan berteriak, “Biarkan aku sendiri!” Renna langsung memeluk Kania dan mengusap lembut punggungnya. “Kamu mimpi buruk lagi?” Kania hanya menangis , dan tenggelam dalam pelukan Renna. 

“Hari ini aku pulang telat, Ren.” Renna berhenti menyendok nasi goreng dan menatap Kania dengan sedikit khawatir. “Tenang saja, tidak ada apa-apa. Hari ini, aku konsul dengan dr. Maya.” Renna menghembuskan napas, sedikit merasa lega. “Jam berapa selesai dengan dr. Maya, nanti ku jemput.” 

“Tidak perlu, aku pulang sendiri saja.” Kania menjawab, sambil menyendokkan nasi goreng ke piringnya. 

“Biar ku jemput saja. Hari ini pekerjaanku juga tidak banyak.”

“Aku tidak apa-apa, Ren. Lagipula, bukannya hari ini kamu mau pergi belanja dengan Mas Rasya.”

“Belanja bisa kapan saja. Biar kujemput ya !”

“Ren, jangan terus mengurusi aku. Aku bukan anak kecil. Hari ini, kamu bersenang-senang saja dengan Mas Rasya. Hati-hati jangan kelamaan dianggurin pria gantengmu itu. Bisa-bisa pindah ke lain hati.” 

“Gak mungkin, hati Mas Rasya sudah tertambat di hatiku. Diikat erat dengan tambang ukuran extra large.” 

Kania terkekeh kecil, “Sudah, aku pulang sendiri aja. Nanti aku WA kalau sudah selesai dan kukirimkan update saat aku sudah naik Transjakarta. Oke ?”

Renna menghembuskan napas, “Ya, kalau Tuan Putri maunya begitu. Bagaimana lagi? Tapi, JANJI, kirim WA.” 

Kania mengulurkan jari kelingkingnya, “Pinky promise!” 

Kania menatap hujan yang turun dari jendela kantornya. Kania baru saja mematikan komputernya. Dia berniat untuk segera pulang, tapi hujan deras menghalanginya. Kania mengirimkan pesan kepada Renna. Tiba-tiba terdengar petir menggelegar, membuat Kania berteriak nyaring. 

“Kakak tidak apa-apa?” tanya Eva, office girl di kantor Kania. “Ini, minum dulu teh hangatnya. 

Kania meneguk teh hangat tersebut, hangat yang mengaliri tenggorakannya, membuatnya lebih tenang. Ponselnya bergetar, Kania melihat nama yang tertera di layar: Rasya. Tiba-tiba, dia merasa heran, kenapa Rasya menelponnya, apakah terjadi sesuatu dengan Renna. Tangannya menjadi gemetar, jantungnya berdegup kencang. Ponselnya masih terus berdering. 

Eva menatapnya, “Kak, ponselnya berbunyi.” Melihat Kania diam saja, Eva mendekatinya. Ponsel Kania terus berdering dalam genggamannya. Kania mendengar suara Eva memanggilnya, tapi semakin lama semakin jauh, dan dia menyadari Eva mengambil telpon genggamnya, dan menjawab panggilan Rasya. 

Kania membuka matanya, menatap sekelilingnya. Sebuah ruangan yang terlihat asing, tapi entah mengapa terasa hangat. Samar-samar, Kania melihat beberapa orang berdiri tak jauh dari tempat tidurnya. Mereka sedang bercakap-cakap, dan Kania mengenali suara salah satu dari mereka, suara Rasya. 

“Rasya, mana Renna?” Kania berusaha mencari sosok Renna di antara mereka, tetapi tidak ada. 

“Sudah sadar? Bagaimana perasaanmu?”

“Mana Renna?” melihat Rasya hanya diam saja, Kania kembali bertanya dengan nada gusar, “Mana Renna?”

Seorang wanita paruh baya menghampirinya dan menggengam tangannya. Kania melihat air mata menetes di pipi wanita itu, membuatnya semakin kalut dan khawatir. 

“Mana Renna? Ada apa dengan Renna?” 

Wanita itu semaking erat mengenggam tangannya dan air mata semakin menetes deras, “Tenang dulu, Nak. Tenang.”

Kania semakin gelisah, bagaimana mungkin dia bisa tenang, kalau semuanya seperti menyembunyikan sesuatu. Hanya Renna, hanya Renna, yang bisa membuatnya tenang. Tapi, di mana Renna. Apa yang terjadi dengannya. Kenapa tak seorang pun memberitahunya. 

“Mana Renna, Mas Sya?” Kania kembali menatap Rasya, mencoba  mencari jawaban. Tapi, Rasya hanya diam saja, matanya terlihat sedih. “Renna kenapa, Mas Sya? Jawab Mas .” 

Wanita di sebelah Kania, kini mengelus lembut tangan Kania, “Tenang ya Nak. Renna baik-baik saja.” 

Tapi, di mana Renna, kalau dia baik-baik saja. “Di mana Renna?” Pertanyaan Kania seperti uap air yang menguap, tak seorang pun menjawabnya. Kania menjadi gusar, dia mulai berteriak dan menarik tangannya lepas dari genggaman wanita tersebut. Kania berdiri, menghampiri Rasya dan mengguncang tubuhnya, “Di mana Renna? Jawab, Mas! Jawab !!!” 

Rasya diam saja, membuat Kania semakin kencang mengguncangnya. Tak mendapat jawaban, Kania membuka pintu dan berlari keluar sambil berteriak, “Renna … Renna … Renna… !” Kania merasa dadanya sesak , kepalanya pusing. Dia sudah berkeliling dari satu ruangan ke ruangan, tapi tidak ada Renna. Kania terduduk di lantai sambil menangis. 

“Renna ada di sini!” suara Rasya menghentikan tangis Kania. “Akan aku bawa kau menemuinya.” 

‘Lihat, itu Renna!” Rasya menunjukkan cermin di hadapan Kania. “Lihat di cermin , itu Renna.” 

Kania menggeleng kuat-kuat, “Itu bukan Renna!” Kania melangkah mundur sambil menutup matanya.

Rasya menariknya mendekati cermin, “Lihat baik-baik, itu Renna. Buka matamu, dan lihat itu Renna”

Teriakan dan guncangan Rasya membuat Kania melihat cermin di hadapannya, “Tidak mungkin ! Bagaimana mungkin… Aku … aku Renna?”

Rasya mengangguk. 

“Tidak mungkin !!!!” Kania berteriak. Dia berputar menatap Rasya, wanita paruh baya dan seorang wanita lagi… dr. Maya. 

“Dokter Maya, aku bukan Renna kan ! Aku Kania!”

Ruangan ini, tempat tidur ini, tiba-tiba saja Kania merasa begitu lekat dengan ruangan ini. “Sudah bangun, Renna? Bagaimana perasaanmu?” suara dokter Maya menyapanya. 

“Kepalaku pusing. Dok, aku Kania, bukan Renna.”

dr. Maya duduk di sebelah Renna, ‘Kamu Renna. Kamu juga yang pergi berkonsultasi denganku menggantikan Kania.”

“Kania meninggal enam bulan yang lalu. Saat itu, dia baru selesai konsultasi dan hujan deras turun. Kania ingin cepat tiba di rumah dan menerobos hujan. Malangnya sebuah sepeda motor kehilangan kendali dan menabraknya. Sejak kepergiaan Kania, kau hanya diam saja. Tetapi, 2 bulan yang lalu, kamu mendadak aktif dan melakukan banyak kegiatan, tapi yang kamu lakukan itu semua kegiatan Kania. Kamu bahkan tidak mengenali aku sebagai Rasya, kekasihmu.” 

“Benar, Nak. Kamu Renna. Tante tak menyangka kamu begitu terpukul dengan kepergian Kania. Tante pikir, dengan berlalunya waktu, kamu akan bisa menerima kepergiaan Kania. Mungkin karena sejak orang tua kalian meninggal dalam kecelakaan, hubungan kalian begitu erat.” 

Renna berteriak sejadi-jadinya, “KANIAAA…!”

Dan semuanya menjadi jelas. Kania yang sedang berjuang mengatasi rasa takutnya menemui orang lain dan rutin berkonsultasi dengan dr. Maya, meninggalkannya dengan tiba-tiba. Dan sejak itu, Renna merasa bersalah. Seharusnya, dia memaksa menjemput Kania. Ada banyak KALAU dan KALAU di kepalanya. Semuanya itu membuatnya sesak dan akhirnya Renna pun mengatasi rasa bersalahnya dengan menganggap dirinya Kania. 

Sampai suara petir di kala hujan membuka jalan untuk kembali kepada dirinya. Renna menatap Rasya, ada harapan di mata pria yang dikasihinya, “Sya, aku … maafkan aku…” 

Rasya memeluknya erat, “Tidak apa Renna, kita lalui ini bersama. Aku juga kehilangan Kania. Ada aku, Tante Arumi, dan dr. Maya yang akan membantumu.”

Rasya melepaskan pelukannya dan mengusap lembut pipi Renna, “Kita lalui bersama ya. Janji, kamu akan kembali menjadi Renna.” Rasya pun kembali memeluk Renna, dan Renna mengangguk dalam dekapan Rasya. 

***

TENTANG PENULIS

Ghivan Christine adalah wanita yang lahir di bulan Oktober 1976. Pencinta kopi ini gemar menulis puisi sejak remaja. Seiring berjalan waktu dan kesibukan, kegiatan menulis mulai terlupakan. Kini, penggemar fotografi ini ingin kembali berkarya lewat tulisan, dengan harapan semoga cita-cita menjadi penulis bisa tercapai. Pernah beberapa kali mengikuti lomba cipta puisi, walaupun belum menjadi pemenang tapi tetap semangat menulis. Bisa kunjungi wattpad-nya : ghivanchristine

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar