[CERPEN] Berakhir pada Waktunya - Karya Debora Intania Subekti

Daftar Isi

Kring…Kring….Kring

Ya seperti itulah alarm menggelegar dari kamar sebelah, seperti singa yang meraung kelaparan.

“Woi kalau lu mau bangun, bangun aja sendiri, nggak perlu ajak gue.” teriak Ilanna kesal.

“Harusnya lu bersyukur ya kita bisa bangun subuh supaya cepat siap-siap kelas.” Deena menjawab dengan lugas.

Beranjak kaget kedua sahabat seperjuangan ini bergegas mempersiapkan keperluannya, rambut panjang yang hitam legam diberi aksesoris pita biru sungguh cantik mereka kenakan.

“1 bulan kenal, kok rasanya kita seperti teman yang sudah akrab dari kecil sih, sering banget gue ditanya sama anak kelas, sampai bosan tau nggak.” ucap Ilanna sembari mempersiapkan bekal untuk dirinya dan sahabatnya.

Deena hanya tersenyum seakan mengiyakan bahwa mereka memang sedekat itu, dia juga kembali mengingat awal persahabatan mereka yang berawal karena perdebatan untuk membayar voucher listrik, hingga berangkat kuliah bersama menggunakan motor vario keluaran lama.

***

Seperti biasa, sinar matahari pagi mewarnai wajah kedua gadis itu di tengahnya mata kuliah pemrograman, hingga keduanya saling pandang menunjukkan wajah kesal. Bersyukur saja hari itu hanya ada 2 mata kuliah, sehingga mereka cepat kembali ke kos untuk bersiap pergi ke acara festival musik. Rak berisi koleksi buku Ilanna yang dilengkapi dengan aroma vanilla pengharum ruangan Deena sudah biasa menemani suasana kos mereka saat bersiap.

“Eh Ilanna, tadi lu liat nggak pas ada anak cowok kemeja putih yang bagikan kertas ujian gue? siapa ya namanya?” tanya Deena penasaran.

“Ya ampun itu mah si Alan, itu teman kelompok gue pas ospek kemarin, ganteng kan? gue aja suka sama dia.” jawab Ilanna dengan tegas, sebelum akhirnya pukulan keras terdengar dari tangan yang memukul mulutnya sendiri dengan keras bak orang yang keceplosan.

“Eh abaikan aja ya. Pokoknya namanya Alan, ketua kelas di kelas pemrograman kita, dia bijaksana kok cuman ya cuek” sambung Ilanna dengan perlahan.

“Hah! lu suka model kayak Alan lann, serius lu? Akhirnya sahabat gue bisa suka sama cowok, ya Tuhan.” teriak Deena dengan wajah terkejut dan seakan menggoda Ilanna yang sedang kasmaran, wajar saja jika Deena terkejut pasalnya 1 bulan mereka berteman dan bertukar cerita, tidak pernah terdengar nama mantan maupun crush dari mulut Ilanna, bahkan Ilanna pernah mengatakan bahwa dia tidak mau menjalin hubungan asmara sampai dia bisa bekerja.

“Sst, lu bisa diem ga, lu kira gue cewek apaan nggak bisa suka cowok. Gue juga bingung deh  kenapa ya gue bisa ada rasa kayak gitu, padahal gue udah yakinin diri gue sendiri untuk nggak boleh suka seseorang di kuliah ini.” tutur ilanna dengan serius.

“Cinta. Ya benar itu namanya bukan suka lagi, tapi cinta. Cinta itu datang tanpa kita duga, cinta itu datang tanpa kita ketahui alasannya, bak pedagang bakso yang tiba-tiba lewat di depan kos.” jawab deena dengan antusias dan berlagak bijak.

“Ah malas, gue udah serius dan mau puji kalimat bijak lu, eh apaan akhirannya bikin gue mau jambak rambut lu tau nggak, ngeselin banget.” seru Ilanna berdecak kesal dengan nada suara tajam menusuk telinga.

Kedua gadis itu akhirnya hanya tertawa, hingga tak sadar matahari telah kembali ke tempat persembunyiannya. Dan benar saja, kedua gadis berambut panjang nan tebal itu terlalu asyik dalam obrolannya, hingga tak sadar bahwa setengah jam lagi jadwal konser akan dimulai. Kedua gadis itu segera bergegas mengambil helm dan jaket lalu pergi menerabas dinginnya Kota Bandung yang membawa aroma daun basah sehabis hujan. Setibanya di tempat festival musik, disambut alunan musik pembuka yang bercampur dengan ramainya pengunjung seakan memberikan atmosfer baru bagi mereka. Tak memedulikan keramaian yang ada, Ilanna dan Deena segera menerjang kerumunan hingga kini berada di tengah keramaian untuk bernyanyi bersama.

Ku cinta padamu,

Namun kau milik sahabatku,

Dilema hatiku,

Andai ku bisa berka—

Cinta dan Rahasia – Yura Yunita

“Duh kenapa sih Lann, asik-asik juga gue nyanyi.” teriak Deena dengan kesal, pasalnya tangan mungilnya ditarik dengan keras oleh Ilanna dan berhenti di tepi kerumunan penonton.

“Sst, kita berdiri disini aja ya, di depan tadi ada Alan, gue benci lihat dia karena kita dulu pernah ada masalah pas ospek sampai kita berdebat parah.” Jawab Ilanna dengan suara pelan.

Ilanna spontan menceritakan awal mula perdebatan tersebut seolah peka terhadap wajah kebingungan Deena. Permasalahan yang timbul hanya karena Alan tidak mengerjakan tugas tanggung jawabnya untuk menyelesaikan papan kelompok, sehingga keesokan harinya kelompok mereka diberikan poin rendah. Sehingga rasa kebencian itu sebenarnya ada di dalam hati Ilanna.

“Gue bingung deh, lu tadi sore keceplosan lu suka dia, sekarang lu bilang lu sebenarnya benci sama dia, yang benar aja deh Lann.” cetus Deena dengan mata tajam.

“Ya itu, gue juga bingung. Nggak tau kenapa rasanya love and hate itu bercampur di diri gue ke dia.” Gumam Ilanna.

Cinta dan benci memang terdengar lumrah di kalangan remaja yang sedang kasmaran. Entah cinta dahulu atau benci yang timbul dalam hati, tapi intinya masih menjadi misteri akan kedua hal itu. 

***

91 hari telah terlewati, telah banyak projek kelompok yang mereka hadapi di berbagai mata kuliah, termasuk mata kuliah pemrograman. Semakin dekat pula kekeluargaan diantara teman sekelas. Ilanna yang masih setia dengan lirikan tajamnya yang kian hari terus memperhatikan gerak-gerik cowok sang ketua kelas bernama Alan tersebut, namun tetap dengan gengsi yang setinggi langit membuat ia enggan untuk mengobrol. Bahkan jika mendapatkan 1 projek bersamanya, ia hanya sekedar mengerjakan dengan profesional, tanpa basa basi ngobrol lebih lama. Namun berbeda dengan Deena yang memang lebih antusias dan energik saat bersosialisasi termasuk mengobrol dengan Alan.

Hingga di suatu pagi mata tajam itu menatap kalender yang berada tepat di atas meja rias Ilanna, senyum penuh hangat itu kembali merekah, berusaha meyakinkan diri bahwa hanya sekedar pengulangan tanggal di setiap tahun, tapi tetap saja dirinya sangat antusias untuk hal itu. ‘Tiba juga akhirnya!, siapa ya kira-kira yang ucapin pertama’ gumamnya pelan sembari memeriksa notifikasi handphone nya.


+62 812-xxxx-xx90 – Alan Adriano  00.01

Hbd.

Sorry utk mslh yg lalu.

Di dpn kos lu ada kotak.

Buka aja.


Gadis itu tersentak kaget, terpaku di tempat dengan kembali menutup keras mulut dengan tangannya, tak lupa mata yang membelalak dengan napas yang tercekat sesaat. Bersyukur saja Deena sedang pulang ke rumah ibunya, jika masih berada di kos tersebut apa tidak menggelegar celotehannya untuk memarahi Ilanna.

Gue nggak tahu lu marah atau gmn, tp lu kalau lihat gue sinis.

Mungkin lu marah ya sama gue karena masalah yg lalu.

Sorry. Gue ga bermaksud untuk meninggalkan tanggung jawab gue.

Anggap saja ini permintaan maaf gue, semoga lu suka warnanya.

-A as a friend.

Belum kembali normal alur pernapasannya, kini ditambah lagi rasa terkejutnya dengan ungkapan permintaan maaf disertai kotak yang diyakini sebagai kado ulang tahun. Tumbler berwarna biru, ya benar yang disebut kotak itu berisi tumbler cantik berwarna biru muda. ‘Wah!, cantik sekali. Ini kan warna kesukaan gue, kok dia tahu sih, apa dia selama ini perhatiin gue ya’ ucapan pelan Ilanna diikuti senyuman malu dan pipi yang berubah warna bak kepiting rebus.

Di siapkannya tumbler biru itu dalam tasnya, dengan senyum yang tak luntur dari wajahnya, Ilanna pergi ke kampus. Baru saja membuka pintu kelas, senyumannya kembali merekah saat melihat Deena telah duduk dan bermain ponsel. Tanpa berpikir panjang langsung saja Ilanna menghampirinya dan memamerkan tumbler barunya dengan alibi meminum air.

“Deena, lu tau nggak apa yang paling indah hari ini?” tanya Ilanna dengan antusias.

“Apaan emangnya? gue kan, kalau itu mah gue udah tahu” jawab Deena dengan rasa percaya diri yang super tinggi disertai nada ketus. Namun, cubitan keras langsung dilayangkan oleh Ilanna sembari menunjukkan tumbler biru yang ia genggam.

“Oh itu pasti dari Alan.” cetus Deena. Langsung saja mata Ilanna membelalak hebat sambil menanyakan lebih lanjut bak reporter yang berhasil bertemu narasumber. “Ya jelas gue tau lah, kan belinya sama gue.” lanjut Deena dengan percaya diri.

Jleb. Ilanna hanya terdiam, seketika ribuan pertanyaan yang ingin ia lontarkan menghilang begitu saja dan beralih ke senyuman tipis yang seakan terlihat seperti paksaan.

Belum sempat mengetahui lebih lanjut, namun bapak dosen telah hadir dan kelas perkuliahan dimulai. ‘Lo tau cerita gue, Deen’ lirih Ilanna dalam hatinya. Seketika percakapan berubah menjadi keheningan dan candaan berubah menjadi kecanggungan. ‘Seandainya lu cerita sama gue, kalau sedari awal lu bertanya nama cowok itu, lu punya rasa dengan dia, tidak harus seperti ini.’ Sebuah kalimat yang ingin sekali ia lontarkan, tapi ia tak kuasa mengucapkannya, karena air mata telah lebih dahulu mewarnai pipinya.

Tak kuat akan keheningan dan kecanggungan yang terjadi, dengan berani Ilanna melayangkan pernyataan kepada Deena.

“Komunikasi itu penting, apalagi dalam hubungan persahabatan. Gue cerita terkait kehidupan gue sama lu, gue cerita isi hati gue sama lu, begitu juga lu, tapi kenyataannya lu nyakitin hati gue deen, lu tau cerita gue, tapi lu bergerak di belakang gue, lu khianati gue!.” suara Ilanna meninggi diiringi dengan tatapan sinisnya.

“Tapi gue takut nyakitin hati lu, gue suka sama dia sedari awal dan dia yang dekati gue, lagi pula lu benci kan sama dia” Jawab Deena dengan suara tinggi yang seolah tidak mau kalah dengan Ilanna.

“Harusnya lu cerita dari awal. Sekarang gue terima fakta pahit dari kepalsuan antusias lu setiap kali mendengar cerita gue.” Ucapan itu seakan menjadi kalimat terakhir dan menjadi perpecahan dalam hubungan persahabatan yang telah terjalin kurang lebih 5 bulan terakhir.

***

TENTANG PENULIS

Merangkai kata bukan sekadar untuk dimengerti, tetapi juga menjadi ruang berekspresi menghadirkan kesan. Untuk itu saya, Debora Intania Subekti, kerap dipanggil Intan, adalah seorang penulis pemula yang telah jatuh cinta pada seni literasi. Saya hadir untuk menyuguhkan tulisan indah nan sarat makna. Ini adalah awal perjalanan saya untuk belajar, berkembang, dan berkomunikasi dengan kalian. Selamat membaca!

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar