[CERPEN] Chosen Human
Teriakan seorang wanita mengalihkan perhatian. Wajahnya panik, mulut terbuka dramatis. Jemarinya yang ramping memagari wajah bagian bawahnya. “Tapi, pencuri ini terlalu menggemaskan—ah, astaga, jantungku! Dia mencuri hatiku!”
Meong. Seekor kucing dengan surai putih lebat terawat melenggok manis di layar. Wanita itu terjatuh ke belakang, bertingkah serangan jantung. Kemudian, muncul teks berjalan. Di latar belakangnya, kucing itu duduk di atas dada wanita yang pingsan sambil menjilati cakar-cakarnya. Mengusap wajahnya yang gembul.
Telah dibuka. Kafe Kucing terbaik di kota. Menggemaskan dan mengobati jiwamu yang kesepian. Potongan harga satu bulan pertama 60% dan pelayanan dari para kucing manis. Jangan sampai ketinggalan, meong!
“Sial, siapapun yang membuat iklan ini. Aku jadi tertarik.”
Suara kaleng soda dibuka, karbonasi berdesis. Pemuda itu meneguknya sekali, seperti meminum air. Temannya bilang, normalnya orang biasa akan mengernyit jika minum minuman berkarbonasi tinggi. Pahit dan manis. Setiap tegukan menggelitik kerongkongannya. Dia menatap layar televisi dengan serius; kucing dan wanita semaput tadi sudah hilang. Layar menampilkan adegan yang berbeda. Seorang pria memohon di atas lututnya dan wanita kuncir kuda yang menangis histeris, hidungnya merah—tidak sedang bahagia tampaknya. Televisi dimatikan segera. Apa yang menyenangkan dari jenis tontonan seperti ini? Itulah yang dipikirkan pria muda itu.
“Ponsel, ponsel,” senandungnya sembari meraba bawah bantalnya. Ia membuka aplikasi petunjuk lokasi. “Kalau tidak salah ada di sekitar sini—“
Niatnya tertunda begitu ia melihat notifikasi pengingat jadwalnya hari ini. Dia harus kerja. Wajahnya kecut. Setiap tiga hari dalam seminggu, ia mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai penjaga toko. Ia menutup wajah dengan telapak tangan, seolah hal itu bisa meredam frustasinya. Ponsel dimasukkan ke kantongnya sebelum mengikat rambut gondrongnya di atas kepala membentuk manbun—cepol kecil yang sedikit asal. Mari berjumpa lain waktu, wahai kucing-kucing kecil.
***
“Kadden, kamu pasti ketiduran ‘kan?” Tuduh Maya, pemilik toko serba ada, tempat pemuda itu bekerja. Pemuda yang dipanggil Kadden itu mendengus. Maya melotot. Mengancamnya dengan menodongkan gagang sapu karena dia merasa anak muda itu tidak sopan terhadapnya.
“Aku jadi gagal datang ke Kafe Kucing itu.”
“Bisa kamu lakukan di lain hari. Hari ini jatahmu jaga kasir,” cibir wanita paruh baya itu. Maya memindahkan kotak berisi botol-botol saus tomat sebelum menyapu bagian bawahnya. Bergidik saat mendapati seberapa tebal debu di bawahnya. “Lagipula besok libur. Pergi saja besok; aku akan memberi gajimu hari ini.”
Kadden menaikkan alis. Ragu sekaligus tersentuh, “serius?”
“Tentu saja. Aku ini wanita paling dermawan di kota,” Maya mengibaskan tangan ke kedua pundaknya secara bergantian. Memasang wajah paling menyebalkan bagi Kadden. Pemuda itu menghela napas, memasang celemeknya dan menempatkan diri di balik meja kasir. Gerakan Maya terhenti, berdiri dengan kaki menyilang dan lengan yang bertumpu pada ujung tongkat sapu. Wanita itu menatap Kadden dalam diam. Kadden mengernyit tidak nyaman.
“Bibi, jangan membuatku takut.”
Maya memijat dagunya. Matanya seperti menginspeksi setiap pori-pori wajah Kadden. Dia bertanya penasaran, “Kadden, apa kamu punya kekasih?”
“Bibi, aku tidak tertarik—“
“Diamlah, dasar anak nakal,” Maya memukul meja kasir dengan tongkat sapu. “Aku juga sangat tidak tertarik dengan bocah ingusan sepertimu.”
“Dengar, Nak, aku tidak tahu kamu sadar atau tidak. Kamu ini sebenarnya menantu idaman,” bisik Maya. “Aku bisa mengenalkanmu kepada anak perempuan kenalanku. Kemudian, kamu bisa memperistrinya.”
Kadden mengerutkan kening, memijat pangkal hidungnya. Obrolan melantur ini lagi. Dia melipat tangan di dada, mengangkat dagunya, “Bibi, terlalu banyak makan makanan yang digoreng di usia senja tidak baik untuk kerja otak. Lalu, aku masih duapuluh tahun. Dua, puluh.”
Maya berdecih, “membosankan.” Wanita dengan rambut cokelat yang mulai beruban itu melenggang pergi setelah memberikan amplop berisi gajian Kadden untuk satu bulan. Pemuda itu duduk melamun. Cuaca hari ini berangin, mendung, dan mulai gerimis. Ia lupa membawa payungnya tadi, barangkali hujannya deras dan lama. Rasanya membosankan. Besok kuliah, mengerjakan proyek, makan, tidur, mandi—kalau ingat—tetapi, kalau ada waktu dia akan mengunjungi kafe baru itu.
Namanya Lais Kadden, dia lupa apa artinya. Kalau tidak salah ingat, pemenang atau pemberani. Entahlah, ayahnya yang memberikan nama itu. Namun, satu hal yang dia tahu. Dia berpikir dirinya tak sebaik namanya. Alih-alih pemenang, dia merasa seperti pecundang. Hidupnya, dari ia membuka mata di pagi hari hingga terlelap di malam hari, monoton. Anggap saja begini, semua hal yang dilakukan itu ibarat ikan yang berenang di dalam tangki ikan; sungguhan tidak ada yang mengejutkan atau menarik. Konyol ketika seseorang mengidamkan kehidupannya—mengeluhkan kehidupan mereka yang sudah sempurna. Benar, manusia tidak pernah merasa cukup hingga mereka di liang lahat.
“Permisi, apa di sini menyediakan plester untuk luka?”
Kadden mengangkat wajah. Tidak sadar bahwa dia menunduk sepanjang waktu. “Ada, tetapi kami hanya punya plaster satuan.”
Pria itu tampak berpikir sejenak. Dia tersenyum tipis, “tolong beri saya satu paket.”
Kadden mengangguk. Dia membuka etalase di belakangnya dan mengeluarkan satu dus kecil plester luka. Dia melirik pembeli itu, jelas bukan pelanggan dari sekitar sini. Penampilan yang formal namun mencolok karena dasinya tidak terlalu rapi. Pastilah orang kaya. Kadden teringat dengan model runway di televisi—tema fesyen: tergesa-gesa ke kantor. Namun, untuk apa plester sebanyak itu? Apa dia seorang tenaga medis? Melihat penampilannya, sepertinya bukan. Lagipula, apotik lebih baik daripada toko yang isinya makanan instan atau bahan dapur. Kebetulan saja Maya membeli plester-plester ini.
Pria kaya itu menyodorkan selembar uang dengan nominal tertinggi. Belum sempat Kadden memberinya kembalian, pria itu sudah berjalan keluar dari toko. Tidak menggubris meskipun Kadden meneriaki dan mengejarnya—pria dermawan dan misterius itu telah melaju cepat dengan mobil mahalnya. Kadden menatap uang di tangannya.
“Apa semua orang kaya begitu?” Gumam Kadden pada dirinya sendiri. Ia melirik anak-anak kucing yang bermain di dekat tiang depan pintu toko. Ada gemerlap di matanya sebelum ia berlari kecil masuk ke dalam toko. Kadden mengambil—atau membeli makanan basah untuk kucing; dia sempat meninggalkan uang dari hasil gajiannya sesuai harga makanan kucing itu di laci. Kadden jongkok di dekat mereka. Kucing-kucing itu acuh dan bermain satu sama lain. Saat aroma ikan dan lautan menguar di udara, barulah mereka menghampiri Kadden. Mata-mata yang bulat dan menggemaskan menatapnya—lebih tepatnya, bungkus camilan yang dipegangnya. Kadden tidak bisa menahan senyum.
Berulang kali memuji pintar sambil curi-curi mengelus bulu lembut mereka. Kadden menyadari betapa bebas dan polosnya kucing-kucing kecil ini. Dia berujar pelan, “Pasti menyenangkan ya, jadi kalian. Tidak hanya santai, kalian juga tidak perlu pusing memikirkan masa depan.”
Pada detik itu, Kadden merasakan hawa dingin di belakangnya. Tangannya meraih bagian tengkuk dan mengusapnya. Merinding bulu romanya. Dia hampir memaki di dalam hati sebelum sesuatu menabrak pelan pinggulnya. Nyaris melompat karena gugup, sesuatu itu mengeong. Kucing berwarna hitam dan putih menggesekkan wajah hingga ekor pada tubuhnya.
“Sapi,” celetuk Kadden. Kemudian menertawakan ucapannya sendiri. Hitam putih, gempal, dan suaranya yang agak rendah namun manja—ngaong, begitu. Seakan paham kalau manusia besar ini mengejeknya, tangan gemuk berbulunya menyentuh bokong Kadden sebelum kuku-kuku runcing menancap. Kadden menjerit saat serangan dadakan itu terjadi. Tidak terlalu sakit, tetapi lumayan membuatnya memohon ampunan dan kabur dari serangan sapi—kucing itu.
Dari kejauhan, seseorang berusaha mengeratkan dasinya yang sudah tidak tertolong. Melekatkan plester ke lengannya yang penuh sayatan. Di antara pundak dan telinganya, ponselnya terhubung dengan seseorang di seberang jaringan. Dia terkekeh menonton pemuda yang melompat-lompat menghindari gigitan nakal sapi—maksudnya kucing hitam putih gempal. Meringis saat kucing-kucing kecil lainnya bersekongkol. Bergelayutan di celemek, pundak, dan ikatan rambutnya yang mulai longgar.
“Kita sepertinya kedatangan anggota baru,” pria itu melekatkan plester yang ketiga. Tidak tau respon apa yang dia dapatkan, tetapi bibirnya menyeringai. “Ya? Ah, tentu boleh, tolong naikkan gaji saya, terimakasih.”
Telepon ditutup, pria itu melemparkannya ke bangku mobil. Menghela napas lelah. Ia menurunkan lengan kemejanya yang sempat tergulung. Menyisir rambut pirangnya ke belakang dengan jemarinya.
“Nah, hal menarik seperti apa yang menungguku?”
Posting Komentar