[CERPEN] Jenggala Murka

Table of Contents

Alam membantu Ayahnya menebang pohon di hutan. Dapur mereka yang terbuat dari kayu sudah tak lagi kokoh untuk menahan beban bertahun-tahun. Ibunya selalu merasa was-was jika memasak di dapur. Alhasil, atap dan dinding dapur kini telah dibongkar, hanya menyisakan lantai. Makanya, mereka mengambil kayu hutan untuk dijadikan papan. Jarak tempuhnya juga lumayan jauh dari rumah.

Usai seharian di hutan. Alam pulang dalam keadaan lelah. Kakinya sudah tak lagi mampu menopang tubuhnya. Badannya juga terasa sakit apalagi di bagian bahu yang seharian telah ia gunakan untuk mengangkat kayu bersama Ayahnya. Bergegas ia masuk ke rumah dari pintu belakang. Tak jauh dari pintu itu ada kamar mandi. Ia langsung mencuci kaki dan tangannya hingga bersih. 

Perutnya lapar, ia melihat Ibunya sedang berkutat di dapur mempersiapkan makan malam. Tentu, ia harus sabar menunggu daripada terkena tausiyah panjang jika mendahului makan dari kedua orang tuanya. Tak mengapa, untuk lapar kali ini masih bisa ia tahan. Setidaknya ia bisa memejamkan mata sejenak mengistirahatkan badannya yang sudah sangat lelah. 

Rasanya belum lima menit ia memejamkan mata, terdengar suara bergemuruh dari luar. Ia mengernyit, gemuruh ini lebih nyaring dari suara gemuruh hujan. Alam segera bangkit dan berlari membuka pintu depan rumahnya, barangkali masih ada jemuran yang belum sempat Ibunya angkat. Ia melihat langit ternyata tak segelap yang ia kira. Cuacanya malah lebih cerah dari bisanya. Tak ada satu awan pun di langit. Tak ada yang aneh menurutnya. Suara itu juga berangsur-angsur menghilang. Ia berpikir, apakah suara itu sebenarnya gemuruh dari dalam perutnya?

Alam masuk kembali ke dalam rumah mencari keberadaan Ayah dan Ibu. Ia pergi ke dapur, ternyata lauk-pauk sudah disajikan semua dan itu berarti Ibunya sudah selesai memasak. Lalu ia bergegas pergi ke kamar orang tuanya, nyatanya mereka juga tidak ada. Ia berteriak memanggil. Sayangnya, tak ada satu pun yang menyahuti teriakannya. Alam ingat di saat ia pulang bersama Ayahnya, Ayahnya sedang membakar sampah di belakang rumah.

“Apa jangan-jangan Ayah balik lagi ke hutan ya? Soalnya kan gak semua alat-alat di bawa pulang.”  batinnya. 

Tanpa sempat memakai sandal, Alam berlari melewati rumput dan pepohonan rindang. Dan ternyata benar, dari kejauhan tampak Ayah dan Ibu Alam sedang mengumpulkan kayu bakar. Pantas saja Ibunya tidak ada di rumah. Karena sudah terlanjur sampai ke sini, ia juga harus membantu orang tuanya mencari dan mengumpulkan kayu bakar dengan mengabaikan kata lelah.

“ALAM, PULANG! PERGI DARI SINI!” Terdengar teriakan dari Ibunya. Wajahnya memucat menampakkan ketakutan. Ayahnya juga tak jauh berbeda, tanpa suara ia mengangguk mengiyakan ucapan istrinya. 

Bukan Alam namanya kalau tidak bandel. Ia mengabaikan teriakan Ibunya dan terus mengumpulkan dahan dan ranting kering di sekitar sembari bersiul. Baru beberapa meter berjalan ada sebuah kayu seukuran kepalan tangan yang menyita perhatiannya. Kayu kering itu terlihat tertancap di tanah. Tampaknya, kayu itu memang sengaja ditancapkan. Jika kayu itu dahan yang patah tentu hanya akan tergeletak di tanah bukan tertancap dengan kondisi tegak. 

Di saat Alam sedang memunguti ranting-ranting kering, tanah pun mulai bergoyang. Ia mengangkat wajahnya melihat ke arah orang tuanya. Sayang, di depannya satu persatu pohon mulai bertumbangan. Ayah dan Ibunya berlari menyelamatkan diri. Nahas tak dapat dipungkiri, mereka berdua telah tersapu terlebih dahulu oleh air.

Alam ingin segera berlari, tapi kakinya mati rasa. Bagaimanapun ia tak mungkin bisa menandingi laju air tersebut. Air itu semakin mendekat. Tangan kanannya meraba-raba mencoba mencari sebuah pegangan. Hanya tangan kirinya yang menggenggam erat kayu yang tertancap di tanah. Percuma, air itu bahkan mampu membawa batang pohon berukuran lebih dari badan manusia. 

Ia pasrah, selain berdoa tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Kedua orang tuanya telah terbawa air, tentu ia akan bernasib sama dengan Ayah dan Ibunya. Air menghantam tubuhnya dengan keras. Seluruh tubuhnya telah sempurna berada di dalam genangan. Air itu lebih dari dingin dan sangat kotor.

Tak ada yang dapat digenggamnya selain kayu yang tertancap itu. Dia juga tak tahu kenapa kayu ini bisa bertahan dari serangan. Entahlah mungkin itu hanya perasaannya saja. Matanya tak bisa ia buka, Alam terlalu takut menghadapi kenyataan. Dia juga tak mengetahui sudah sejauh mana ia terseret arus.

Nafasnya kian memendek. Yang ada dalam benaknya, ajal semakin mendekat. Perlahan, semuanya seketika menjadi gelap.

“Alam.”

Samar-samar terdengar suara di telinganya seperti ada orang yang membangunkannya. Ia terdiam sejenak. Matanya masih tertutup rapat. Ia mencoba mencerna kembali.

“Alam.”

Meski berat, ia tetap memaksakan matanya untuk terbuka. Benar, suara itu memang memanggilnya. Alam bangun dari tempatnya.

“Tunggu, tempat apa ini?” batinnya. 

Dan kayu itu, masih tertancap di tempatnya. Tempat ini seperti hamparan tanah yang tak berujung. Mirip padang pasir. Tak ada satu pun tumbuh-tumbuhan di sini. Hanya ada beberapa pohon besar mengenaskan yang tercabut dengan akar-akarnya. 

“Hai anak kecil.”

Suara itu kembali muncul. Kini ia dilanda ketakukan. “Hei, siapa kau?” Teriaknya mengusir rasa takut. Senyap, tak ada jawaban apa pun. Alam menelisik seluruh tempat. Percuma, tempat ini lebih menakutkan dibanding rumah hantu.

“Apa yang sudah kau lakukan?” Tanya suara misterius itu. Ia masih enggan menampakkan wujudnya. 

“Aku melakukan apa?”

“Tak ingatkah kamu bahwa kamu telah menebang pohon-pohon di sini. Akar-akar pohon sudah tak lagi mampu menyerap dan menyimpan air. Sudah ingat apa yang pernah kamu lakukan bersama Ayahmu sekarang?”

Hembusan angin menerpa tengkuk Alam. “Bukan kami yang tak mau bersahabat dengan kalian. Kalianlah yang harus sadar diri dan berhati-hati sebelum hukum alam itu terjadi.”

“Lalu bagaimana dengan Ibu dan Ayahku yang terbawa air?” Alam memberanikan diri.bertanya.

Tak ada jawaban. Suara misterius itu tak lagi merespon ucapannya. Perasaan sedih itu tak dapat lagi dibendung. Alam tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan di tempat seperti ini.

“HEI, DIMANA AYAH DAN IBUKU?” 

Plak

Lengan Alam dipukul. “Heh, bangun. Udah dibilangin jangan tidur sore-sore masih aja bandel. Bangun bangun!” Ibunya masih menggoyangkan badan Alam. Anak itu masih sesegukan dengan mata terpejam. 

“Bangun gak kamu, kalo gak mau bangun Ibu siram kamu ya!” Ancam Ibunya. 

“Hah?” Alam terbangun dengan mata yang memerah. Wajahnya tampak seperti orang kebingungan.  “Ibu? Ibu masih hidup? Bukannya tadi..?”

Byuurrr..

Air di gayung itu mendarat sempurna di wajah Alam. 

“Apa? Mau ngedoain apa kamu?”

“B-bukan, Bu. Maaf,” ucapnya dengan kepala tertunduk.

“Ini jinnya masih di sini apa udah pergi? Kalo masih di badan anak saya mending cepet keluar daripada saya siram pake damkar kamu!”

Alam terbelalak. Bisa-bisanya Ibunya berpikir ia sedang kerasukan. “Ini beneran Alam, Bu.”

Mata Ibunya menyipit tanda tak percaya, “Ya udah, mandi dulu sana, habis itu kita makan. Bau badanmu itu lho ngalah-ngalahin kambing.”

Alam mencebik namun tetap menuruti perintah Ibunya. Semuanya berlalu begitu cepat. Semalaman ia membulatkan tekadnya untuk bercerita, paling tidak kepada Ayahnya. Ketika Alam bercerita, Ayahnya tak berekspresi. Ia menghembuskan asap rokoknya yang terakhir. “Ayo ikut Ayah!”

Mereka merentasi hutan tanpa sepatah kata. Pikiran Alam berkelumit. Langkah kakinya mulai ragu. Bayang-bayang mimpi itu memenuhi pikirannya. 

“Lihat ini! Ayah tau caranya menjaga alam. Yang bikin bunga tidur kamu jadi kenyataan itu ketika orang-orang tak bertanggung jawab mengeksploitasi tanpa berpikir jangka panjang. Dalam otaknya hanya ada uang uang dan uang. Kita hanya memakai beberapa, itu pun hanya untuk pribadi bukan jual beli. Yang Ayah tanam lagi malah tiga kali lipat dari yang kita tebang. Kalo kamu mau nanam lagi juga gak masalah, Ayah masih banyak kok bibit pohonnya. Mau?”

Alam tersenyum. “Ternyata, Ayahku lebih hebat dari yang aku bayangkan.”

***

TENTANG PENULIS

Namanya Roro Asti Purnaningsih, lahir 24 tahun yang lalu tepatnya pada tanggal 4 Agustus di Kota Mempawah, Kalimantan Barat. Saat ini ia tercatat sebagai mahasiswi akhir di Program Studi Ilmu Administrasi Publik, Universitas Tanjungpura. Si bungsu dari empat bersaudara yang mempunyai hobi editing video, membaca, menulis ini sangat ingin berkecimpung di dunia literasi. Bisa menyapa melalui instagramnya @astiyuwono.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar