[CERPEN] Kesurupan - Karya Ramayanti
Namanya Siti, anak usia 15 tahun dari sebuah desa di Jawa Tengah. "Keponakannya bi Girah, putus sekolah dan mau kerja." Jelas mbak Evi, kakak iparku.
"Terima aja dulu May, gak gampang mencari ART, sambil dipikir lagi nanti akan bagaimana. Sebentar lagi kamu lahiran loh." Mba Evi seperti membaca keraguanku. Aku mengangguk, dan akhirnya menerima Siti menjadi asisten rumah tangga. "Bi Girah jujur May, sudah lima tahun ikut mbak, makanya mbak berani bawa keponakannya, bi Girah jaminannya."
Ya, gak ada salahnya aku coba. Sebelumnya aku juga sudah mencari, bertanya ke tetangga kanan kiri, tapi belum ada yang memberi kabar.
"Kamu tahu kan kewajiban kamu sebagai ART?" Sedikit sesi interview dengan Siti setelah mbak Evi pulang.
"Iya bu"
"Gaji kamu masa percobaan satu juta lima ratus, nanti ke depannya bisa dibiciarakan lagi sambil lihat hasil kerja kamu."
"Terserah ibu saja, saya gak mikirin gaji dulu, semoga saya bisa bekerja sesuai dengan harapan ibu."
Aku tertegun, dengan pernyataan Siti. Biasanya kalau menyangkut urusan gaji akan terjadi tawar menawar yang alot, meskipun hanya beda seratus atau dua ratus ribu.
Sampai bulan kelima Siti masih betah bekerja denganku, bahkan gajinya dititipkan ke aku, hanya kadang-kadang diambil sesuai keperluan. Aku pun membuat buku catatan tabungan untuk Siti dan selalu aku beritahu jumlah tabungannya. Gaji awal yang aku tawarkan satu juta lima ratus, aku beri tambahan uang jajan dua ratus ribu. Selebihnya biaya hidup Siti dari makan, kebutuhan wanitanya seperti sabun, shampoo, handbody, termasuk pembalut, masuk ke dalam daftar belanja bulananku. Meskipun aku sudah menambahkan uang jajan, setiap harinya aku mempercayakan uang belanja harian yang kadang-kadang laporannya ditulis jajan bakso atau somay, sepuluh atau lima belas ribu. Dan aku gak mempermasalahkan.
Satu hal yang belum aku percaya dengan Siti adalah meninggalkan anakku di rumah saat aku bekerja. Jadi setelah masa cutiku habis, anakku dan Siti aku titipkan ke rumah orang tua selama aku bekerja. "Tugas utama kamu adalah menjaga Bagas ya, tapi kalau ibu saya sedang momong Bagas, kamu bantu-bantu aja di rumah ibu, menyesuaikan keadaan aja."
"Siap mbak." Siti memang aku minta memanggilku dan suami mbak dan mas. Supaya tetangga-tetangga tukang kepo atau kumpulan ART di lingkungan rumah gak menganggap Siti seperti pembantu biasa yang suka gosip kalau majikannya kerja. "Saya bilang ke tetangga kamu keponakan saya dari Jawa, supaya orang-orang gak ngeremehin kamu" Dan aku bersyukur Siti adalah anak yang gampang paham.
"Mbak, boleh gak saya minta sepeda?" Suatu hari Siti menyampaikan permintaannya. "Untuk?"
"Untuk mondar-mandir mbak. Jadi kalau sore saya bisa pulang dulu, mandi, kalau mandi di rumah ibu kaya gak bebas gitu mbak. Saya juga bisa beres-beres, jadi kalau mbak pulang rumah udah rapi. Kan kalau pagi suka buru-buru, kadang belum ngepel. Terus sekali-sekali saya juga pingin sore-sore muter lapangan di komplek mbak." Penjelasannya diakhiri dengan cengiran. "Ya udah, nanti saya carikan sepeda buat kamu, tapi ingat, utamakan kewajiban."
"Siap mbak, jangan kuatir soal itu. Makasih banyak ya mbak, tadinya saya takut mau bilang." Ucapnya lagi dan diakhiri cengiran.
Selama tujuh bulan bersama Siti, aku jadi seperti punya adik perempuan. Siti bukan seperti ART yang sekedar kerja terus dibayar, dia bisa mengerti dan paham harus bersikap seperti apa kalau situasi sedang gak baik-baik aja. Saat aku marah, aku melow, atau Mas Angga suamiku sedang uring-uringan karena pekerjaan atau berselisih denganku, tanpa disuruh dia akan mengambil alih Bagas, atau kadang ketika ibu repot dia juga dengan tangan terbuka membantu tanpa diminta. Langka sekali memiliki asisten seperti Siti di zaman sekarang. Anak kecil 15 tahun yang sempat aku ragukan kemampuannya dalam bekerja.
"Mbak, nanti malam saya diajak ikut pengajian di masjid komplek, boleh gak mbak?"
"Bisa sampai jam sebelas pengajian remaja di masjid itu, kamu gak kemaleman?"
"Yah dulu kan di kampung saya juga suka ikut acara remaja di langgar mbak, pulangnya juga suka kemaleman, lebih gelap malah mbak, masih jarang lampu di kampung. Boleh gak?"
"Gak usah pake nyengir Siti." Gurauku, dan dia tetap nyengir.
Mana bisa kesal sama Siti. Tingkahnya kadang seperti anak kecil atau seperti adik yang merajuk kepada kakaknya. Aku, Mas Angga, keluarga ibu, sepertinya menjadi keluarga baru untuk Siti, dan membuatnya nyaman. Dan aku juga mulai sayang ke Siti.
Jam sepuluh malam, Siti belum pulang, tadi sudah ku kirim pesan supaya gak terlalu malam pulangnya. "Gak apa-apa, sekali-sekali kita kasih kebebasan, secara usia Siti tetaplah anak remaja pada umumnya yang butuh bersosialisasi. Beruntung di rumah ibu ada yang mau berteman dengan Siti." Kata-kata suami menbuatku agak tenang.
"Pagi mbak...maaf ya tadi malem saya kemaleman." Aku menatap Siti aneh, menyapu dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Kamu kenapa Ti?" Tanyaku panik melihat penampilan Siti yang berubah rupa. Matanya kirinya sembab, agak bengkak, dan sudut matanya agak turun. Kemudian bibir sebelah kirinya juga agak menyong. Yang paling bikin heran bulatan hitam di mata kirinya tidak bergerak dan hanya diam di sudut matanya "kamu habis dipukul orang Ti?" Aku makin panik. Sekalipun habis dipukul orang bentuk mukaya gak akan miring-miring gak simetris gini, kataku dalam hati.
"Enggak mbak, temen-temen di komplek baik semua. Tadi malem mereka juga anterin saya sampe gang kecil yang serem itu mbak. Tapi mereka gak berani lewat karena udah malem banget."
"Terus?" Aku penasaran. "Ya udah saya lanjutin pulang sendiri."
"Dan muka kamu kenapa?"
"Saya juga gak tau mbak, pagi-pagi saya juga kaget liat muka saya. Cuma tadi malem emang mata kiri saya gak bisa merem mbak." Aku memegang dahiku, "gak beres nih..." Desisku. Aku menemui mas Angga yang sedang bermain dengan Bagas di kamar.
"Kita ke rumah ibu aja May, disana ada bapak dan Anto, mereka yang paham kalau ada gangguan jin. Bawa perangkat Bagas semuanya, supaya gak mondar mandir."
"Something kan mas?"
"Hubungi bapak May."
Aku segera menghubungi bapak juga adikku Anto, menceritkan keadaan Siti sekarang. "Bapak tunggu nduk, ati-ati." Pesan bapak sebelum menutup telepon.
Situasi yang gak terduga pun terjadi saat Siti melaksanakan shalat magrib, dia berhenti di rakaat kedua, "jangan paksa saya shalat, saya gak bisa ruku!" Teriaknya. Aku mendekati Siti dan berbisik di telinganya, "shalat, paksa untuk shalat, lawan Siti."
"Gak bisa mbak, Punggung saya kaku gak bisa ditekuk." Cengiran yang biasanya menjadi ciri khas Siti, tiba-tiba saja berubah menjadi seringai yang menakutkan. "Mbak takut ya?" Tanyanya diiringi tawa yang membuatku bergidik. "Saya gak pernah takut selain sama Allah." Siti yang bukan lagi Siti menatapku tajam dan menakutkan. Seringainya muncul lagi, "beneran kamu gak takut?" Suaranya pelan tapi tajam. Tatapan kami bertemu, aku bertahan dengan terus membaca do'a dalam hati. "Siapa kamu?" Tanyaku gak kalah tajam. Tawanya malah melengking, memantul ke setiap sudut rumah. "Dari dekat rumahmu, dia sombong." Kemudian mulutnya kembali membentuk seringai.
Mas Angga memegang pundakku, "biar Anto sama bapak, kamu jaga Bagas aja." Bisiknya.
Dan malam itu menjadi malam mencekam yang terjadi di rumah orangtuaku. Jeritan dan lengkingan tawa dari mulut Siti juga membuat orang berdatangan. Aku gak mengetahui persis interaksi antara bapak, Anto, Mas Angga dengan makhluk tak kasat mata di dalam tubuh Siti, karena aku berada di kamar bersama ibu dan Bagas. Bagas digendong ibu, diriingi lantunan surat-surat Al Qur'an.
Aku keluar kamar setelah situasi mulai tenang. Siti terkulai lemas di kasur depan TV. "Gimana Bagas?"
"Aman mas, digendong ibu."
Aku duduk di sisi kasur, "sebenarnya gimana mas?"
"Tadi malam Siti jatuh di gang itu, katanya sepedanya tiba-tiba seperti ditahan dari belakang. Dan dia juga ngaku di dalam hatinya ngedumel ngapain harus bilang permisi kalau lewat di situ."
Dari rumah ibu ke rumahku memang harus melewati gang kecil, yang dari zaman aku kecil legenda angker pada gang tersebut sudah melekat. Sehingga orang yang melewatinya terutama di malam hari selalu bilang 'permisi, numpang lewat' dan membunyikan klakson untuk motor. Siti sudah aku wanti-wanti, untuk mengikuti saja apa yang sudah dilakukan orang-orang.
Tiba-tiba Siti menangis, tangisnya makin lama makin pilu dan membuat bulu kuduk meremang. Aku memegang tangan Mas Angga. Bapak dan Anto segera menghampiri kami. Kenapa lagi dengan Siti?
***
TENTANG PENULIS
Saya Ramayanti, lahir di Jakarta pada 28 Nop 1975. Menyandang gelar sarjana pendidikan, pernah mengabdikan diri sebagai guru, namun juga pernah berkarir di sebuah perusahaan Public Relation. Sekarang memilih mendedikasikan diri kepada suami dan dua orang putera. Menjadi tempat terhangat dan tenyaman untuk orang-orang tersayang, Jejak yang tak lekang oleh waktu adalah menulis, maka tinggalkan jejakmu dengan nulis. Untuk itu saya tak pernah berhenti belajar untuk bisa menghasilkan karya terbaik. (Ig : Ramayanti Ghembil).
Posting Komentar