[CERPEN] Ratapan padamu yang Tak Terlihat
Deru napas memenuhi indra pendengaran seorang gadis. Jantungnya tak berhenti berdetak cepat bagaikan drum ditabuh tanpa irama yang beraturan. Layaknya tikus yang terpojok di pinggir jurang keputusasaan, gadis itu menatap rel kereta yang berada di hadapannya. Bibir serta matanya bergetar hebat, instingnya menggila. Ia tidak lagi bisa berpikir dengan jernih.
“Peganglah tanganku, kita berteman, ‘kan? Lagipula, kau sendirian, kau tak punya tempat lagi.”
Sang gadis tidak mengindahkan ajakan tersebut. Tangannya yang mengeluarkan keringat dingin meremas kuat rok sekolahnya yang kusut.
“Dengan begitu, kita bisa saling mencintai.”
Lagi-lagi, dia tak menjawab. Hanya nyanyian tonggeret musim panas yang setia merespon kalimat-kalimat beracun yang terus dilemparkan pada sang gadis.
Suara mesin kereta api yang melaju cepat mulai mendekat, mereka berdua bisa merasakan tanahnya bergetar perlahan-lahan. Bagi dirinya, sirine kereta api adalah sebuah ajakan untuk pergi ke tempat di mana ia bisa pulang. Gadis tersebut menoleh ke arah pemuda yang sedari tadi mengulurkan tangannya. Dia bagaikan lukisan rusak; wajahnya dipenuhi luka. Air matanya mengalir deras membasahi pipinya yang lebam.
Sang gadis, tanpa ragu, melompat ke jalur kereta.
Dalam persekian detik, tubuhnya terhempas dengan kencang, menghilang dari pandangan pemuda itu. Di tengah hari saat musim panas, dia menyaksikan dunianya hancur berantakan.
Pemuda itu bergetar tatkala netra coklatnya menangkap kulit putih bersih milik sang gadis dinodai oleh darah merah yang berhamburan keluar bagaikan air mancur. Sosoknya kini terbebas dari kejamnya belenggu dunia, terbang tinggi melebihi bintang menuju birunya langit. Gadis itu lenyap dilahap musim panas, yang tersisa dari dirinya hanyalah gantungan kunci yang terbelah dua, tergeletak di hadapan sang pemuda. Ia dengan ragu melangkah, memungut benda itu dan mencocokkannya dengan gantungan kunci miliknya. Gantungan kunci yang awalnya berpasangan, sudah terpisah untuk selamanya.
Hari itu selalu terulang-ulang di kepala Natsume, Natsume Kishi. Semuanya terukir dalam-dalam. Suara tonggeret yang menggema layaknya tertawa atas hancurnya Natsume, rambut hitam legam milik gadis itu yang berantakan tertiup angin musim panas, suara dentuman kereta, serta gantungan kunci yang hancur di hadapannya. Natsume benar-benar mencintainya, tak pernah ada seharipun tanpa dirinya yang berharap untuk dimiliki sepenuhnya oleh gadis itu sampai-sampai air mata tak berhenti meleleh. Dalamnya cinta Natsume mendorongnya ke tepi jurang kegilaan.
Dia ingat, di hari pertama bulan September yang ditandai oleh alunan indah lonceng musim panas, ¹sebuah vas bunga diletakkan di meja milik gadis itu, iringan sayup-sayup kekehan bergema keras di telinga sang gadis; menandakan bahwa gerbang neraka sudah terbuka, neraka khusus bagi dirinya yang rapuh.
Juru kuncinya tak lain adalah Natsume sendiri.
“Itu adalah salahnya, seharusnya ia hanya melihatku saja, bukan orang lain. Hanya aku dan aku.” Natsume menggeram, rahangnya mengeras. Ia berulang kali menyakinkan bahwa dirinya tidak bersalah atas apa yang menimpa sang gadis, berusaha mencuci tangannya yang bersimbah darah, air mata, dan keringat gadis itu.
Awalnya, mereka berteman dengan tulus. Sang gadis yang selalu berbicara dengan ceria pada Natsume, dan Natsume yang selalu mendengarkannya dengan seksama; sang gadis yang selalu sabar mengajari Natsume pelajaran di sekolah, dan Natsume yang alih-alih mendengarkan, ia malah memerhatikan paras ayu milik sang gadis; sang gadis yang berbudi luhur, dan Natsume yang serampangan; saling melengkapi. Mereka bahkan dijuluki pasangan paling serasi oleh teman-teman sekelasnya, walaupun mereka tahu betul bahwa dua insan itu hanya sahabat dekat.
Namun, semakin lama waktu berlalu, sifat Natsume yang terdistorsi mulai terlihat. Ia ingin selalu dibutuhkan olehnya, ia ingin gadis itu selalu bergantung pada dirinya. Natsume cemburu, tidak terima jika Kaei memiliki teman lain.
“Benar … Kaei, dengan dirundung, kau akan membutuhkan seseorang untuk membantumu, ‘kan?”
Lahirnya pemikiran sesat seperti itulah yang membuat Natsume tergerak untuk perundungan yang ditujukan kepada Kaei Miyahara, sahabat tersayangnya.
Di saat Kaei terpuruk karena perundungan itu, Natsume akan dengan senang hati membantunya bagai malaikat penyelamat. Kaei bagaikan tenggelam dalam kesengsaraan, lalu Natsume akan mencium lembut tangannya, menariknya keluar dari lautan nan gelap dan luas itu. Meniupkan bara api ke dalam jiwa Kaei yang semakin lama semakin rusak.
Di hari terik itu, perudungan terjadi lagi.
“Tolong berhenti!” Kaei berseru sembari bergetar kesakitan. Sang gadis ingin lari, tetapi mereka mengepungnya seakan Kaei adalah sebuah sirkus, sosok badut yang harus menghibur penonton.
Para binatang buas itu tertawa keras, membuat telinganya berdenging nyaring. Salah satu dari mereka menghampirinya yang terduduk di pojok kelas, kemudian perempuan itu menyodorkan rokok yang menyala kepadanya.
“Rokok itu enak, lho.” Ia menyunggingkan bibirnya licik. Seakan-akan mengerti apa yang akan dilakukan olehnya, Kaei membelalakkan matanya.
“Berhenti!” Ia berusaha menahan tangan perempuan itu. Namun, naas, rokok panas sudah mengecup paha Kaei. Meninggalkan jejak kehitaman yang merusak kulit putihnya.
Kaei berteriak kesakitan. Jeritannya yang menggema di kelas kosong memecahkan keheningan musim panas yang terik itu. Bagi mereka, jeritan Kaei tak lebih dari bunyi tonggeret yang mengganggu.
Lagi-lagi, mereka hanya menertawakan dirinya. “Bagaimana? Tatonya keren, ‘kan?” tanya si perundung meledek. Dia memasang wajah kesal saat Kaei tidak membalas pertanyaan konyolnya itu. Perempuan itu kemudian mengeluarkan rokok berikutnya dan menyulut moncong rokok.
“Masih kurang, ya?”
Entah berapa kali tubuhnya disundut rokok, gadis itu tak sanggup untuk menghitungnya. Dunianya terasa gelap gulita, bara api jiwanya meredup, seperti api rokok yang padam saat bertemu sapa dengan kulit. Kaei menatap langit biru yang cerah tanpa awan dari jendela kelas seraya berharap agar rasa sakit dari kulitnya yang terbakar segera menghilang. Jika bisa, lumpuh saja sekalian. Dengan begitu, ia tidak akan merasakannya lagi.
Kaei berucap lirih, “Suatu hari, aku akan mencapainya.” Mata Kaei yang memantulkan keindahan langit itu mulai terpejam, kehilangan gemerlapnya.
Seperti biasa, setelah perundungan selesai, Natsume akan menghampiri Kaei dengan raut khawatir dan membantunya seakan-akan ia tak terlibat sama sekali, mengabaikan fakta bahwa ialah sang dalang di balik layar yang menyuruh wayang-wayangnya. Pemuda itu menenangkannya, mengobati lukanya, serta mendekapnya dengan erat.
Lalu, Kaei yang tak tahu apa-apa akan membalas dengan dekapan yang sama eratnya, ditambah tangisan yang tak ada hentinya. Sosok Kaei yang terlihat bodoh dan lemah, Natsume amat menyukainya, sebuah pemandangan yang ia nanti-nantikan. Selalu, selalu seperti itu. Kebohongan manis Natsume memang selalu memabukkan.
“Jika sesuatu terjadi lagi, peganglah tanganku dengan erat seperti ini. Aku akan melaluinya bersamamu. Kita berteman, ‘kan?” Natsume bertanya dengan nada lembut.
Kaei mengangguk, menyerahkan diri sepenuhnya pada mantra Natsume. “… iya.”
“Terima kasih, Natsume.”
Pemuda itu menarik Kaei kembali ke dalam pelukan. “Aku benar-benar menyayangimu,” ucapnya. Tangan besar Natsume mengelus rambut halus milik sang gadis, memberinya rasa aman dan perlindungan yang didambakan oleh Kaei.
Bagi Natsume, Kaei adalah tempatnya pulang. Kaei adalah segalanya baginya. Tanpa Kaei, Natsume tak bisa hidup, bahkan tidak bisa berfungsi dengan baik. Ia berharap untuk selalu pulang ke dalam dekapannya. Tetapi, kini sosok Kaei telah menjadi abu. Ke mana ia harus pulang? Natsume bak kehilangan arah tanpanya, meracau, menangis, mendekati batas ketidakwarasan. Setiap hari, Natsume selalu mengunjungi rel itu, menaruh sebuket bunga di sana. Di meja kelas pun, Natsume memenuhinya dengan bermacam-macam bunga. Kali ini bukan perundungan, namun manifestasi dari ratapan Natsume.
Pemuda itu mendatangi rel kereta lagi, sudah kesepuluh kalinya di minggu ini. Natsume terduduk di samping rel, mengelus dinginnya besi jalur kereta.
“Kalau saja kita bisa saling mencintai di dunia nun jauh di sana, di dunia yang hadir setelah kehidupan selesai,” monolog Natsume sembari menunduk, menatap nanar rel kereta yang menjadi saksi bisu kematian Kaei.
Kilas balik terputar kembali di kepalanya bagai kaset rusak tanpa tombol berhenti. Nyaringnya suara tonggeret, teriknya matahari, suara canda tawa mereka yang biasanya terdengar di sini sepulang sekolah, semuanya terekam jelas tanpa cela. Ia menyukai tempat ini, karena saat berada di sini, Natsume merasa bahwa gadis yang dia sayangi itu masih hidup, bernapas di sampingnya seperti dahulu kala. Dia selalu menganggap dirinya gila karena berpikir seperti itu.
Namun, untuk hari ini, sepertinya Natsume sama sekali tidak gila.
Natsume mengangkat wajahnya, samar-samar ia menangkap sosok Kaei yang terlihat sedikit tembus pandang dari balik palang pintu kereta yang perlahan menutup aksesnya ke tengah rel. Kaei mengangkat jari telunjuknya, menunjuk Natsume tanpa berkata apa pun seakan-akan menyalahkannya atas kematian dirinya. Gadis itu menatap Natsume tajam dengan mata yang tak lagi memiliki cahaya; hitam dan gelap bagaikan lubang hitam yang siap menarik Natsume ke arahnya.
Fakta bahwa Kaei berada di hadapannya membuat Natsume melupakan realita serta akal pikirannya sebagai seorang manusia. Bahkan jika ke neraka sekalipun, Natsume akan mengikuti Kaei dengan senang hati, karena hanya pada Kaei-lah hatinya berlabuh; demi gadis itulah mengapa Natsume hidup.
Ibarat terhisap oleh lubang hitam tersebut, lelaki bermarga Kishi itu tanpa ragu melangkahkan kakinya ke tengah-tengah jalur kereta, menerobos satu penghalang terakhir di antara mereka. Suara bising mesin kereta yang melaju ke arahnya terdengar sunyi di telinga Natsume.
Tepat di hadapan gadis tersebut, dia tersenyum lebar, lalu berbisik, “Kita memang tak terpisahkan, Kaei.”
Suara itu lagi. Suara dentuman kereta yang disertai nyanyian tonggeret itu terdengar lagi. Kali ini, sebuah senyuman menyambutnya bahagia.
***
Cerita Pendek ini terinspirasi dari lagu Ghost Girl, Karya Mikitop
¹Merujuk pada jenis perundungan di Jepang, di mana sebuah vas bunga ditaruh di meja korban. Menaruh bunga biasa dilakukan di meja murid yang telah meninggal. Jika ditaruh di meja murid yang masih hidup, berarti sama saja dengan menyuruhnya untuk mati.
Sumber: Vocaloid Lyrics Wiki
***
TENTANG PENULIS
Penulis kelahiran 2007 dengan nama pena Neiro yang hobi bermain video game. Kini sedang memberanikan diri untuk mempublikasikan karya-karyanya di Wattpad. Sapa Neiro di akun Wattpad @vannrouge, ya!
Posting Komentar