[CERPEN] Serenade di Bawah Gerimis

Table of Contents

Lania mengetik dengan jemari yang gemetar. Menatap halaman kosong di layar laptop dengan keheningan yang menyesakkan. Tenggat waktu semakin dekat, tapi belum bisa menyelesaikan satu bab pun dengan tuntas. Editor dari penerbit sudah mengirim email bertubi-tubi, menanyakan perkembangan novel yang seharusnya hampir selesai.

Namun, ide dalam pikirannya buntu. Setiap kali mencoba melanjutkan novelnya, bayangan Arga hadir. Pria yang pernah menjadi dunianya itu pergi setahun lalu, meninggalkan sisa kenangan yang membuat hatinya yang porak-poranda. Sejak saat itu, kata-kata yang dulu mengalir deras dari pikirannya, sekarang tersumbat mati.

Di luar, gerimis mulai turun. Suara rintiknya memenuhi setiap sudut ruang apartemen yang sunyi. Lania bangkit dari kursinya, meraih jaket yang menggantung di kapstok dan melangkah keluar. Entah dirinya butuh udara segar atau sekadar distraksi saja.

Taman kecil dengan kolam ikan yang cantik di belakang apartemennya, selalu menjadi tempat pelariannya. Hanya ada suara hujan menitik di atas dedaunan dan desiran angin yang menusuk kulitnya. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar melodi gitar yang dimainkan dengan lembut di bawah gerimis.

Lania menoleh ke arah sumber suara. Seorang pria duduk di bangku taman, memainkan gitar dengan tenang, seakan tak peduli tubuhnya mulai basah. Ada sesuatu dalam irama yang dimainkannya seperti gambaran kesedihan yang akrab di hatinya.

"Lagu yang indah," ucapnya pelan, refleks memuji.

Pria itu menoleh dan tersenyum samar. "Serenade untuk hujan. Aku selalu memainkannya saat gerimis turun."

Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuat Lania terpaku. Seolah-olah mereka pernah bertemu sebelumnya. "Aku Lania. Namamu?"

"Raka," jawabnya singkat. 

"Sepertinya hujan mempertemukan kita."

Mereka berbicara lama tentang hujan, musik dan cerita kehidupan yang tak selalu berpihak. Lania merasa senang meski baru kenal tapi sudah nyaman. Malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa tidak sendirian.

Hari demi hari berlalu. Setiap kali hujan turun, Raka selalu ada di taman. Dia selalu membawa gitarnya, memainkan lagu-lagu yang tak pernah Lania dengar sebelumnya, tetapi entah kenapa terasa akrab di hatinya.

"Kenapa aku tak pernah melihatmu sebelumnya?" tanya Lania suatu malam.

Raka hanya tersenyum samar. "Mungkin kita memang baru dipertemukan sekarang."

Ada sesuatu yang janggal, tetapi Lania terlalu menikmati kehadirannya untuk mempertanyakan lebih jauh. Kesedihannya mulai berkurang sejak adanya Raka. Inspirasi perlahan kembali ke dalam dirinya. Mulai semangat menulis lagi, membiarkan kata-kata mengalir seperti dulu.

Namun, tak semua berjalan baik. Hidup Lania masih penuh kendala yang menyentuh batinnya. Ibunya terus menekannya untuk meninggalkan dunia menulis dan mencari pekerjaan "nyata". Bagi ibunya, menulis bukanlah profesi utama melainkan pekerjaan sampingan saja.

"Kau sudah terlalu lama berlarut dalam kesedihan, Lania. Hidupmu tak bisa hanya tentang menulis," kata ibunya dalam panggilan telepon.

Di sisi lain, Dina, sahabatnya, juga mulai mengkhawatirkan pertemanannya dengan Raka.

"Aku pernah mencari tahu tentang dia," kata Dina dengan nada serius. "Tidak ada orang bernama Raka yang tinggal di sekitar sini."

Lania mengabaikannya. Dina terlalu banyak curiga. Jelas Raka nyata, yakinnya saat itu.

Suatu malam, hujan turun lebih deras dari biasanya. Lania berlari ke arah taman, berharap menemukan Raka. Namun, justru menemukan sebuah kenyataan yang menghantamnya seperti badai.

Terlihat seorang wanita tua duduk di bangku tempat Raka biasa berada. Tangannya gemetar ketika ia menyodorkan sebuah foto lama.

"Kau mencari Raka, Nak?" suara wanita itu lirih. "Dia anakku."

Lania menatap foto itu dengan napas tercekat. Raka dengan senyumnya yang familiar, berdiri di samping wanita itu. Namun ada yang aneh foto itu terlihat usang, seperti diambil bertahun-tahun lalu.

"Di mana dia sekarang, Bu?" tanya Lania.

Wanita itu tersenyum getir. "Raka meninggal tujuh tahun yang lalu. Dia adalah musisi jalanan yang selalu bermain gitar di taman ini, sampai suatu malam Raka mengalami tabrak lari. Sejak saat itu, aku sering mendengar orang-orang berbicara tentang seorang pria yang memainkan gitar di bawah hujan."

Dunia Lania seakan runtuh. Ia berlari kembali ke taman, berharap melihat Raka. Semoga semua ini hanya mimpi. Di taman itu, gerimis yang mulai reda. Raka pasti menunggunya dan ingin berbincang bersama.

"Kau tahu tentangku sekarang?" suaranya lembut penuh penyesalan.

Air mata mengalir di pipi Lania. "Kenapa kau ada di sini, Raka?"

Raka menatapnya dengan mata penuh kehangatan. "Aku tidak tahu. Mungkin karena aku masih memiliki sesuatu yang belum selesai di dunia ini. Mungkin kau adalah bagian dari jawabannya."

Lania menutup mata. Ia ingin menyangkal percaya bahwa semua ini hanya mimpi buruk. Tetapi hatinya tahu kebenaran.

"Aku tidak ingin kehilanganmu," bisiknya.

Raka tersenyum, menatapnya dengan kelembutan yang hampir membuatnya lupa bahwa pria ini sudah berbeda alam dengannya. "Kau tidak kehilangan aku, Lania. Aku ada dalam lagu-laguku, dalam hujan dan kenangan yang kau simpan."

Malam itu, untuk terakhir kalinya, Raka memainkan serenadenya. Lagu yang indah dan menyayat hati. Ketika nada terakhir, bayangannya ikut menghilang bersama gerimis yang memudar.

Lania terduduk di bangku taman, merasakan kehampaan yang luar biasa. Namun kali ini, bukan kehampaan yang menyiksa. Tapi  perasaan yang damai.

Keesokan harinya, duduk di depan laptopnya. Hujan pun telah berhenti. Lania terbangun dengan perasaan yang berbeda. Ia merasa telah melepaskan sebagian dari beban yang selama ini dibawa. Draft novel yang sempat terbengkalai mulai menemukan bentuknya lagi. Dengan seperti itu menjadi pertanda bahwa dirinya siap untuk melangkah ke depan.

Pada hari yang sama, saat Lania berjalan melewati taman sambil membawa laptop. Terlihat sebuah pengumuman di bangku taman. Tertulis di sana, “In Memoriam: Raka, musisi jalanan yang meninggal dalam kecelakaan sepeda motor 7 tahun lalu.”

Saat duduk dan membuka laptop, ia merasa ada sentuhan hangat di pundaknya seolah Raka masih ikut menemani. Dengan senyum tipis, ia mengetik lebih cepat membiarkan kisah mereka hidup dalam setiap rangkaian kata.

***

TENTANG PENULIS

Adila Batika nama pena dari perempuan yang akrab disapa Dila. Memulai perjalanan menulis dengan artikel dan resensi buku, sebelum pada akhirnya memberanikan diri terjun ke fiksi. Pecinta makanan pempek ini memiliki ketertarikan khusus pada tulisan fiksi genre supernatural romance, yang sering ia eksplorasi dalam karyanya.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar