[CERPEN] Ssshhh - Karya Niken Luki Hapsari
Hasan terburu-buru membereskan meja kerjanya saat melihat jam di tangannya ternyata sudah menunjuk angka 7.
Sudah jam 7 malam, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Dia terlalu fokus dengan pekerjaannya hingga lupa waktu.
"Pak, aku pulang ya, anakku sendirian di rumah." Hasan berpamitan ke Nanang di meja sebelah.
"Istrimu kemana?"
"Lagi pulang ke rumahnya, ibunya sakit, kemarin dianter si sulung."
"Si sulung? Januar? Emang dia udah bisa nyetir?"
"Yaa aku paksa. Kemarin begitu dapet KTP, langsung ku suruh kursus nyetir, sekalian nyari SIM. Kalo gak gitu, tar yang nganter istri kalo lagi kondisi kayak gini, siapa coba. Jaga-jaga kalau aku tinggal jadwal dadakan ke luar kota kayak kemarin. Udah ya, aku pulang dulu, anakku pasti udah nungguin, tadi minta dibelikan sate ayam katanya."
"Yoi pak, ati-ati. Bentar lagi aku juga pulang."
Hasan akhirnya sampai di rumah. Sepi.
'Masa sih adek udah tidur? Kan belum makan malam?' batin Hasan sambil melepas sepatu lalu meletakkan tas kerjanya di sofa ruang tamu. Sayup-sayup dia mendengar suara desahan perempuan.
'Suara siapa itu?' sedikit merinding, Hasan berjalan lambat ke ruang tv, tidak ada siapa-siapa.
Sambil melepas 2 kancing kemejanya, Hasan mengendap ke salah satu kamar yang berhadapan dengan ruang tv. Kamar milik si sulung Januar.
Hasan menempelkan telinga kanannya di pintu kamar. Suara desahan terdengar lirih. Pikiran Hasan sudah tidak karuan. 'Apa yang terjadi di balik pintu ini?'.
Wajar jika pikiran buruk melintas begitu saja, karena si sulung Januar sudah 17 tahun, bisa dibilang cukup dewasa.
Tapi Hasan tidak ingin anaknya terjerumus ke jalan yang salah.
Dia sangat yakin, ilmu parenting yang dia terapkan bersama istri, akan mampu menjadi tameng menghadapi kerasnya kehidupan remaja jaman sekarang.
Tangan kanan Hasan mencengkeram gagang pintu dengan tegang. Hasan berusaha tidak menimbulkan suara yang mengejutkan.
Jantungnya berdetak kencang, sambil menggeleng agar pikiran buruknya tidak terjadi.
Dengan sekali dorong, pintu kamar milik Januar terbuka lebar. Kosong. Tidak ada siapa-siapa.
Dan suara desahan itu masih terdengar.
Masih ada satu kamar lagi yang tertutup rapat. Hasan yakin, suara desahan yang berulang ini berasal dari kamar itu.
Kamar dengan pintu bercat ungu, kamar Lalita anak bungsunya.
Hasan menarik napas berkali-kali untuk meredakan rasa gugupnya sendiri. 'Gak.. Gak mungkin.. Adek gak mungkin ngelakuin hal aneh-aneh. Adek anak baik.' Hasan menggelengkan kepalanya kuat-kuat.
Tangannya mulai gemetar menahan emosi. Entah takut, marah, atau khawatir, Hasan sendiri bingung. Perlahan gagang pintu kamar si bungsu sudah dalam genggamannya.
Setelah menghembuskan nafas kasarnya, dengan cepat Hasan mendorong pintu hingga terbuka lebar.
Jantungnya seakan melorot ke lutut melihat Lalita yang juga terkejut melihat papanya tiba-tiba masuk ke kamarnya.
"PAPA..!! PAPA KOK UDAH PULANG..?!" Lalita membelalak karena tidak menyangka papanya pulang sebelum jam 9 malam, dengan terburu dia berusaha membereskan mejanya.
"ADEK..?! KAMU NGAPAIN..?!" Mata Hasan melihat betapa berantakannya kamar si bungsu. Tisu berserakan di atas meja, bahkan hingga ke lantai. Meja juga begitu berantakan dengan cipratan dimana-mana.
Lalita buru-buru menghapus keringatnya yang membanjir, "Papa.. Papa.. Jangan marah, pliss.. Jangan bilang mama ya.. Pa.. Pliss Pa.. Adek gak tahan lagi. Maaf.. Ssshh.. Aaaahhh.." sambil mendesis Lalita bergerak cepat menuju papanya, menangkup telapak tangan Hasan sambil berlutut.
Bibir Lalita belum berhenti mendesah. Peluhnya pun masih membasahi dahinya.
Melihat wajah anaknya yang memerah, Hasan sedikit kasihan, sepertinya dia terpaksa menutupi apa yang terjadi hari ini agar istrinya tidak marah padanya, karena dianggap lalai menjaga anak mereka, namun dia juga harus tegas.
"Adek, kenapa kamu lakukan ini nak? Kamu tau resikonya kan?" Hasan ikut berlutut, menangkup kedua pipi anaknya, membantunya mengelap keringat.
"A-adek gak tahan Pa.. Adek pengen banget. Tiap liat kak Januar, adek jadi pengen juga Pa.. Ahhh haaahh hhaahh.." Lalita masih mendesah tidak karuan.
Hasan mengambil gelas air minum di meja, "Minum dulu, kamu keringetan parah."
Setelah menghabiskan air di gelas, Lalita kembali merengek, "Tapi.. Ta-tapi papa jangan bilang mama ya.. Plisss.. Sekali ini aja Pa, adek janji. Habis ini adek gak lagi-lagi nyobain. Aassshhh…hhaaahh.. A-adek cuma penasaran soalnya.. Soalnya.. Tiap liat kak Januar bisa enak banget kayak gitu, a-adek jadi penasaran." ujar Lalita terbata karena bibirnya masih mendesah tanpa henti.
"Adek.. Dengerin papa. Kamu sama kakakmu itu beda, kakakmu sih gak pa pa mau berapa banyak pun, dia lebih kuat. Tapi kamu..kamu gak sekuat itu nak. Papa sama mama cuma pengen melindungi kamu biar kejadian bulan lalu gak terjadi lagi. Mama trauma lho nak.. Jangan ya.. Papa mama sayang kamu, maaf kalo kami kayaknya sedikit kejam sama kamu. Ya nak ya.."
"Iyah..iya pa.. A-adek janji.. Janji.. Gak lagi-lagi nyobain.. Aaahh.. Sshhh.. Tapi.. Tapi ini nanggung pa.. Dikit lagi.. Dikiiittt lagi.. Boleh ya pa? Pa.. Boleh ya?" mata Lalita membulat lebar, mirip mata kucing yang memelas.
Hasan melepaskan tangannya dari genggaman anaknya, lalu bergerak cepat ke arah meja mengambil benda yang sudah membuat anaknya seperti ini.
"Kamu dapet ini dari mana?"
"A-adek.. Be-beli pa.. Ssshhh.. Aaaahhh.."
"Kamu tau kan kalo ini gak baik buat kamu?"
Lalita mengangguk, "Ta-tapi pa.. Ijinkan adek mencoba sekali iniiii aja.. Ya pa.. Plisss.. Ssshhh.." Lalita mendesah lagi.
"Gak bisa, papa harus buang ini, sebelum ketahuan mama mu. Papa gak tau mama bakal pulang jam berapa. Beresin kekacauan ini, yang ini papa buang. Jangan pernah kamu ulangi kayak gini, sayangi tubuhmu nak.."
"Papaaaa.. Itu tinggal dikit lagi paaa.. Ayolahhh.. Nanggung paaa.." Lalita merengek sambil berusaha meraih apa yang di tangan papanya.
Hasan berkelit dengan cepat, "Gak, udah cukup. Jangan ada lagi kayak gini di rumah. Atau mama mu bakal marah besar."
Hasan melangkah cepat keluar dari kamar, mengabaikan Lalita yang kesal dengan wajah masih merah penuh keringat.
"Papaaaa… Nanggung.. Dikit lagi paaaa" rengekan Lalita terdengar memelas, tapi Hasan menulikan telinganya.
Hasan melempar barang yang dibawanya tadi ke tempat sampah, "Dasar bocah, udah tau baru bulan kemarin sembuh dari tipes, malah nantangin makan ramen pedas. Besok Januar harus di stop juga nih makan beginian, bikin adiknya jadi pengen ngicip."
Sudah cukup Hasan melihat si bungsu menangis beberapa hari karena sakit perut, lemas, demam, hingga muntah-muntah.
Istrinya pun ikut kurus karena harus stand by di rumah sakit dan khawatir pada Lalita yang opname selama seminggu.
Hasan harus tegas.
Tidak ada lagi ramen pedas di rumah ini.
***
TENTANG PENULIS
Niken Luki lahir di Tulungagung pada tahun 1983, dan tumbuh besar di Kediri. Lulus tahun 2007 dari Sekolah Tinggi Multimedia Yogyakarta, jurusan Manajemen Produksi Siaran. Saat ini lebih banyak beraktivitas di rumah, menjadi istri dari seorang suami, dan menjadi ibu dari 2 orang putri yang beranjak remaja. Sangat menyukai membaca. Dari membaca inilah, dia tergerak ingin belajar menulis sendiri. Saat ini belum ada karya tulisnya yang berbentuk cetak dirilis, tapi semangat menulisnya tak pernah pudar.