[CERPEN] Haruskah Menunggu Kaya?

Table of Contents
ilustrasi pasar (pexels.com/Wendy Wei)
Di dalam keriwehan pasar pada Minggu pagi, minggu kedua Ramadan, aku dan Ibu berbelanja untuk menyiapkan 20 nasi kotak yang akan diberikan ke masjid untuk buka puasa bersama. Rencananya, kegiatan itu akan dilaksanakan setelah pengajian rutin mingguan selama bulan Ramadan. Ibu hanya menemani berbelanja, sedangkan memasak dan yang lainnya aku sendiri yang mengerjakannya karena memang ini adalah jadwalku untuk mengirim nasi kotak tersebut.

“Kamu mau masak apa? Bahannya apa saja?” tanya ibuku sembari memasuki area pasar.

“Aku mau masak ayam kukus jahe sambal matah, Bu. Butuh ayam, daun prei, sereh, bawang putih, bawang merah, cabe, minyak wijen, kecap asin, sama jamur. Untuk 20 kotak nasi kira-kira butuh ayam berapa, ya? Tapi potongannya jangan kecil-kecil,” jawabku panjang lebar sambil memarkir motor.

“Kalau mau agak besar, ya ayam satu kilo jadi delapan potong,” jawab Ibu.

“Berarti beli dua kilo setengah?”

“Ya jangan dimepetin kalau beli, Aini. Memang kamu nanti nggak masak sekalian untuk rumah?”

“Oh, iya,” jawabku sambil menyengir.

“Beli ayam dulu aja, takutnya keburu habis.” Ibu mengajakku menghampiri penjual ayam.

“Yo wis, Bu.” Aku mengikuti Ibu dari belakang.

Dari penjual ayam, kami berkeliling untuk mendapatkan bahan-bahan lain. Setengah jam kemudian, tanganku dan tangan Ibu sudah penuh dengan kantong belanjaan berisi segala macam bahan yang aku butuhkan. Kami segera menuju tempat parkir dan pulang.

Sesampainya di rumah, Ibu membantuku memasukkan semua belanjaan. Setelah itu, Ibu pulang ke rumahnya yang letaknya di depan rumahku. Aku dan Ibu bertetangga berhadapan karena Ibu sudah menikah lagi.

Ayah kandungku meninggal 11 tahun lalu, waktu aku masih SMA dan kedua adikku masih SD. Setelah 3 tahun Ayah wafat, Ibu menikah dengan tetangga yang juga duda. Istri beliau wafat karena sakit.

Aku mulai berkutat dengan bahan-bahan yang telah kukeluarkan dari kantong. Pertama, aku mengupas bawang putih dan bawang merah, memisahkan cabai dari tangkainya, dan membersihkan daun prei serta sereh dari bagian yang kering. Untuk ayamnya, kucuci bersih dulu, kemudian dimarinasi dengan garam, minyak wijen, kecap asin, jahe, dan daun prei, lalu diamkan sekitar 20 menit sambil aku menyiapkan panci untuk mengukus.

Aku beralih mengolah bahan untuk sambal matah. Aku mulai mencincang bawang merah, cabai, sereh, dan daun jeruk. Selang sebentar, aku memasukkan ayam yang sudah dimarnasi ke panci yang airnya sudah mendidih. Di Jawa timur, kami mnyebutnya ‘kemrengseng’. Panci sudah tertutup sempurna dan timer sudah aku setting selama 30 menit. Aku melanjutkan pembuatan sambal matah yang terhenti tadi.

Suara pisau dan talenan beradu, membawaku mengenang kejadian 15 tahun lalu saat Ibu juga memasak nasi kotak untuk masjid juga. Waktu itu memang Ayah yang meminta pada takmir masjid untuk beliau mendapat jadwal membuat nasi kotak tersebut meski kondisi keluarga yang pas-pasan. Jadwal itu sebenarnya hanya diperuntukkan untuk keluarga berpenghasilan lebih yang ingin memberi saat Ramadan karena jumlah nasi kotak cukup banyak waktu itu, sekitar 40 kotak.

Di kampungku dulu, masyarakat yang terbilang berpenghasilan lebih, masih sedikit. Jadi, jumlah nasi kotak juga lumayan banyak. Takmir masjid sebenarnya tidak mengizinkan Ayah untuk berpartisipasi, khawatir membebani keluarga. Namun, Ayah bersikukuh untuk tetap ikut. Pada akhirnya, takmir masjid mengizinkan.

Waktu itu, Ibu ikut senang saat Ayah menyampaikan bahwa keluarga kami juga dapat jadwal pada hari Minggu.

“Bu, kita dapat jadwal di minggu kedua untuk memberikan nasi kotak ke masjid.” Ayah memulai pembicaraan saat sudah duduk santai di ruang tengah rumah bakda Isya.

“Alhamdulillah, kita dikasih kesempatan untuk sodaqoh oleh Allah,” jawab Ibu sambil tersenyum.

Aku belum paham kenapa Ibu bisa tersenyum bahagia seperti itu.

Waktu berjalan dan tinggal dua hari lagi hari Minggu. Ibu dan Ayah mengobrol di ruang tengah untuk menu apa yang akan dimasak.

“Besok Minggu mau masak apa, Yah?” tanya ibuku.

“Masak bebek aja, Bu. Nanti beli di kenalan Ayah yang biasa kirim di pasar.”

“Mau dibumbui apa?”

“Diungkep bumbu kuning seperti di warung penyetan aja, Bu.”

“Enggeh.”

Wah, enak! Minggu bisa makan bebek, pikirku polos.

Kondisi keluargaku waktu itu bisa dikatakan menengah ke bawah. Ayah hanya seorang kuli bangunan, sedangkan Ibu adalah ibu rumah tangga. Bebek bumbu kuning sudah cukup mewah menurutku.

Hari Minggu yang aku tunggu-tunggu sudah tiba. Pagi-pagi, Ayah membawa bebek banyak sekali dan Ibu langsung tanggap untuk mengolahnya. Ayah juga turut membantu Ibu di dapur. Sementara itu, aku memilih untuk bermain dan mengabarkan ke teman sebayaku bahwa Ibu membuat bebek bumbu kuning untuk nasi kotak yang diberikan ke masjid. Duh, Aini, kamu polos sekali waktu kecil.

“He, Rek, nanti waktu buka bersama di masjid, milih nasi kotak yang dimasak ibuku aja,” celotehku saat bermain.

“Opo o emange?” jawab temanku dengan wajah penasaran.

“Ibuku masak nasi bebek bumbu kuning. Enak, kan ?”

“Temenan, tha? Awas lak bujuk.”

“Iyo, temenan, nggak bujuk aku. Mangakane engkuk lungguhe dadi siji ae, ben oleh podo.” jawabku meyakinkan.

“Yo wes.” 

Azan Asar berkumandang. Aku sudah bersiap-siap untuk mengikuti pengajian rutin di masjid dengan teman-teman. Seperti yang direncanakan, kami akan duduk bergerombol. Setelah salat Asar selesai, aku berpamitan untuk berangkat dahulu ke masjid.

“Bu, aku berangkat ke masjid dulu, ya. Janjian sama teman-teman,” ucapku sambil mencium tangan Ibu.

“Iya,” jawab Ibu singkat, kemudian fokus membungkus makanan yang akan dibawa ke masjid.

Ternyata, di masjid sudah ada teman yang datang. Kami bermain sambil menunggu yang lainnya. Setengah jam kemudian, terlihat Ibu dan Ayah membawa kantong plastik merah besar yang lalu diberikan ke takmir masjid. Aku dan teman-teman langsung berbisik.

“Ingat-ingat ya, kantong plastik warna merah,” ucapku keteman-teman.

“Iya.”

Kami kembali bermain. Nasi kotak dari keluarga yang lain juga berdatangan dan benar, hanya kantong plastik dari rumahku yang berwarna merah. Tidak lama kemudian, acara pengajian dimulai. Aku dan teman-teman diimbau agar tidak berisik. Namanya juga anak kecil, meski disuruh tidak berisik, kami tetap bercanda dengan suara lirih.

Suara azan Magrib berkumandang, sudah waktunya berbuka. Pertama, kami diberi kurma dan air mineral gelas untuk membatalkan puasa, dilanjutkan Salatsalat Magrib berjemaah.

Bakda Magrib, nasi kotak mulai dibagikan. Aku dan teman-teman menolak saat takmir memberi nasi dari kantong plastik putih. Waktu kantong plastik merah keluar, kami berebut untuk mengambilnya. Aku dan teman-teman kemudian makan di teras masjid.

“Heeemmm. Enak kon masak ane ibu e Aini.” celetuk salah satu temanku.

“Iya, beneran enak,” timpal yang lain. Teman-teman yang lain mengiakan dengan mengangguk-angguk. Aku yang dipuji merasa bangga dengan masakan ibuku.

Mengingat senyuman Ibu waktu mendengar pujian dari teman-teman bahwa masakannya enak, ditambah antusias teman-teman saat berebut makanan, membuatku menyadari satu hal. Ternyata berbagi tidak harus menunggu kaya. Dengan makanan sederhana seperti itu saja sudah membahagiakan aku dan teman-temanku, bahkan mungkin juga orang lain.

Mungkin alasan itu yang membuatku menerima jadwal nasi kotak mingguan ini ketika sudah dewasa.

Terima kasih, Ayah, atas kebaikan yang engkau contohkan saat aku masih kecil.

Alarm tiba-tiba berbunyi nyaring, menandakan ayam kukusku sudah matang. Segera aku mengangkatnya, kemudian berkutat dengan menanak nasi. Jam menunjukkan pukul 14.30 saat aku menyelesaikan semuanya. Setelah salat Asar, aku mengantarkan nasi kotak ke masjid sekaligus berangkat pengajian.

***

Tentang Penulis

a_ariviyana adalah seorang ibu muda dengan dua orang putri. Beliau juga seorang karyawan di salah satu perusahaan swasta di bidang properti. Beliau lahir di Banyuwangi pada tahun 1995 dengan nama Atiyah Ariviyana M. Nur, anak pertama dari tiga bersaudara. Beberapa karya beliau dapat Anda nikmati di Medium.com dan Wattpad.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar