[CERPEN] Tergelincir Peluh

Table of Contents
ilustrasi bunga (pexels.com/Efrem Efre)
Segalanya berwarna putih, namun ini belum di surga. Hembusan napas yang selembut angin pantai di pagi hari. Penghidu yang terbiasa dengan udara yang dipenuhi jejak kimia pahit harum nan tajam, seperti bersahabat dengannya; baginya sudah seperti aroma bunga setelah hujan deras. Tetesan air yang menyapa rungu. Ujung jarum yang menancap pada pembuluh darahnya dari selang mungil; mengalirkan cairan bening penyambung nyawa.

Sunyi dan damai. Ini adalah yang diharapkannya. Impiannya akan terwujud setelah kakinya melangkah keluar dari ruangan ini. Siapapun yang menunggunya di sana, dia akan memberikan mereka senyuman paling cerah selama hidupnya. Hingga tirai senada dengan dinding-dinding dingin di sekitarnya digeser. Seorang pemuda dengan wajah manis yang kelelahan melongokkan kepalanya sebelum berkata, “permisi, keluarga kakak akan berkunjung.”

Seisi ruangan kelabu kotor. Pupil matanya bergetar, seakan seluruh memori itu merangsek kasar ke dalam kepalanya, memporak-porandakan ilusi di pandangannya. Sesuatu di dadanya berdetak tidak nyaman. Merah mulai mengintip dari pangkal jarum berada. Dia mengangguk layu, menyusut menjadi sebutir kacang hijau kisut di atas ranjang pesakitan. Diingatkan kembali atas apa yang terjadi saat melihat orang-orang tanpa wajah itu memasuki ruangan.

***

Meja digebrak hingga sendok terlanting ke lantai. Selera makan menguap ke udara. Entah apa yang mengawalinya, Arga, adik laki-laki Laksmi, mendorong kursi dan bersungut-sungut pergi ke kamarnya. Tidak menggubris undangan ibunya untuk duduk dan menghabiskan nasinya. Laksmi sendiri melanjutkan suapannya meski batinnya dongkol setengah mati. Lauk pauk itu kini rasanya hambar. Tatapan ibu seperti mendesak Laksmi.

“Kenapa kamu gak turutin aja keinginan adikmu? Kasian Arga, diantara temen- temennya, dia sendiri yang ponselnya butut.” Laksmi mendengus pelan, lidahnya pahit bukan main, “bakal aku usahain kalau dia berprestasi di sekolah. Ibu tahu sendiri ‘kan sudah berapa kali surat panggilan dari sekolah mampir ke rumah? Kalau ponselnya makin bagus, mau jadi apa dia!”

Ibu membuka mulut, namun kemudian menutupnya rapat-rapat. Tidak bisa menyangkal ucapan anak gadisnya. Suara yang hadir dari Bapak hanya denting sendok dan piring. Bungkam, padahal ini anak laki-lakinya sedang tantrum dan merengek. 

Laksmi menyelesaikan makanannya, membawa piring Arga yang sisa setengah bersamanya untuk dicuci. Suara kucuran keran yang biasanya sedikit membenahi benang kusut di kepalanya tidak membantu. Kendali dirinya yang tersisa membuatnya tidak membanting piring itu berkeping-keping ke lantai. Dia harus kerja lagi hari ini, mukanya tidak boleh masam di depan pelanggan.

Kesehariannya begitu, terus berulang seperti kaset rusak yang kualitas audionya kian memburuk. Ada kalanya, ia mendapatkan ucapan kasar dari pembeli paruh baya yang tidak paham caranya berkomunikasi dengan normal. Rekan kerjanya melimpahkan tugas kepada Laksmi dan meninggalkannya untuk alasan konyol; menggosip, membakar tembakau, tidur— Laksmi ingin memandikan mereka dengan kuah sup lezat yang baru matang. 

Tetapi, dia tidak bisa melakukannya kecuali ingin bosnya memecatnya, lalu kehilangan sebagian penghasilannya. Hal terburuknya, dia akan mendekam di balik jeruji; sebenarnya tidak terlalu buruk, dia tidak perlu menanggung semua omong kosong ini—tidak, astaga, dia yakin, dirinya warga sipil yang baik.

Belum lagi sampai di rumah disuguhi pemandangan “menakjubkan” kaki adiknya yang mulai tumbuh rambut itu dipamerkan ke seluruh dunia, dengan mulut yang melontarkan sumpah serapah, serta ponsel yang pecah bagian belakangnya nyaris menempel pada bola matanya. Bapak jarang ada di rumah; hanya Tuhan yang tahu apa yang dilakukannya. Ibu sering masuk angin, dan Laksmi akan memijatnya serta memasangkan koyo di pelipis serta punggungnya. 

Kemudian ibu akan membeo ucapan-ucapan yang telah diwariskan dari moyangnya, tentang mengurusi adiknya, mengurus rumah, menjadi istri yang baik, dan hal- hal lainnya yang menambah penat Laksmi semakin tebal seperti kerak di bokong panci— tidak pernah tentang apa yang ingin dirinya lakukan, seolah semua itu memang tidak perlu. Lalu, Laksmi hanya akan mengiyakan atau mengangguk seperti burung pelatuk untuk mempercepat itu selesai dan pergi membasuh kepalanya yang memanas.

Begitulah pagi, siang, senja, dan malam Laksmi lalui. Kendati ia bisa bernapas di hari-hari itu, rasanya dia sedang susah payah meraup oksigen di tengah kabut, tempat tinggi nan jauh dari suara khalayak. Langkahnya melayang tak menapak lantai. Terkadang saat ia menunduk, sesuatu yang warnanya seperti mawar menetes dari hidungnya. Tulang pipinya makin menonjol dan matanya celong.

Suatu hari Laksmi pulang dari pekerjaan paruh waktunya, menyetir motor bebek kumuhnya dengan telapak tangan mengelupas. Di teras kecil mereka ada sebuah motor matic yang diparkirkan lurus di depan jendela. Bertanya-tanya siapa gerangan tamu yang berkunjung ke rumahnya. Jawabannya adalah Arga yang memutar kunci di jarinya, seperti gestur tak senonoh yang Laksmi benci. Hampir tersandung saat mencari ibunya. Setumpuk pertanyaan di lidah.

“Bu, itu motor siapa?”

“Kemarin pinjam uang Pak Edi buat uang muka,” jawab Ibu, entah kenapa senyum senangnya itu tampak menjengkelkan di mata Laksmi. Pak Edi adalah tetangga mereka yang punya kebun beberapa hektar. Tidak seperti mereka, Pak Edi sudah tercukupi dan tanggungannya sudah sedikit karena anak-anaknya memiliki penghasilan mapan. Ibu bilang meminjam uang beliau untuk membelikan motor adiknya yang bandel itu. Yang artinya, kas bon keluarga Laksmi kian membengkak.

“Siapa yang mau ngelunasin?” Laksmi bertanya perlahan. Berat, menahan geraman di ujung tenggorokan. Ibunya menjawab tanpa ragu, “gaji kamu masih cukup ‘kan—“

Laksmi goyah, tentu saja. Darah mengalir ke kepalanya, hendak keluar menyeret adiknya yang sudah ancang-ancang meluyur. Kerah kaus tipis mengetat ke belakang, Arga memekik sebelum terhuyung. Laksmi sudah tidak memahami perkataannya sendiri. Arga tidak bisa melawan tenaga kakaknya yang seperti kesurupan. Laksmi hanya ingin adiknya sadar. 

Mungkin Arga tidak mempan dinasihati dan ingin diperlakukan seperti televisi tua mereka yang sering eror. Teriakan Laksmi dan Arga seperti paduan suara menyeramkan. Semua tetangga menjulurkan leher. Lalu, kepala Laksmi seperti terlonjak sekali sebelum limbung ke samping, memegangi pipinya yang berdenyut. Ibunya berdiri di depannya dengan napas terengah-engah. Laksmi terpana; hidup telah mempermainkannya.

***

Ini sudah berapa lama, Laksmi tidak ingat. Mungkin sejak saat itu tubuhnya menyerah. Pemuda manis tadi—perawat—memperbaiki selang infus, kemudian pamit keluar setelah selang di tangan Laksmi bening lagi. Di belakang mereka, ada seorang wanita cantik. Dulu, sewaktu dirinya masih kecil selalu memberikannya kesempatan untuk bermimpi; Laksmi ingin menjadi desainer pakaian. Tetapi, melihat wanita tersebut menjenguk, Laksmi yakin, tidak terlambat untuk memulai mimpinya lagi. Ibunya menolak keras, Bapak hanya diam memandangi dengan pandangan tak tertebak, Arga menunduk di sebelah Bapak. Laksmi tidak peduli. Hingga akhirnya, terpaksa mereka harus merelakan Laksmi tinggal bersama wanita itu. Senyuman merekah di wajahnya, berseri-seri sembari memeluk wanita tersebut.

Malam itu hujan deras. Tamu-tamu berdatangan ke rumah setelah tahu kalau Laksmi akan tinggal dengan wanita itu. Laksmi tersenyum manis menggenggam tangannya. Meninggalkan rumah semerbak manis beras baru matang tanpa koper dan bawaannya, tanpa menoleh ke belakang. Bersama wanita yang hanya ada di dalam mimpinya.

***

Tentang Penulis

Valya Hanindita Agustin atau biasa dipanggil Valya, lahir di Tegal, 17 Agustus 2002. Penulis pemula yang mulai aktif menulis cerita bergenre fantasi dan drama dengan nama pena Lya Han. Suka game RPG serta penggemar cerita bertema fantasi dan aksi. Menulis adalah caranya berbagi imajinasi. Bisa kunjungi Instagramnya: @vlyaway. 

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

2 komentar

Silakan menuliskan komentar dengan rapi dan sopan!
Comment Author Avatar
moa
Selasa, 22 April, 2025 Delete
aku sampe baca endingnya dua kali baru paham :')
Comment Author Avatar
Anonim
Selasa, 22 April, 2025 Delete
endingnya hrs bener" di pahami baru ngerti maknanya, mantap👍