[CERPEN] Di Antara Dua Waktu
![]() |
ilustrasi laki-laki berpikir (pexels.com/Antoni Shkraba Studio) |
“Astaga, tugas Matematika lagi,” gerutunya dalam hati.
Sebuah kertas latihan ujian tergeletak di meja, penuh angka dan rumus yang membuat kepalanya berdenyut. Puasa hari ke-12 ini terasa lebih berat dibanding hari-hari sebelumnya. Ditambah lagi, sejak semalam ia hanya tidur 3 jam karena terlalu lama bermain game online dengan teman-temannya.
“Sat, udah kelar?” tanya Dimas, sahabatnya, sambil membereskan tasnya.
“Belum, gue udah nggak kuat mikir,” jawab Satria lemas.
Dimas tertawa kecil. “Yah, lo sih semalem begadang terus. Pantes sekarang loyo.”
Satria hanya menghela napas. Ia sadar kesalahannya, tetapi tetap saja, rasa kantuk dan lapar membuatnya sulit berkonsentrasi. Akhirnya, ia memasukkan kertas tugas ke tas dan berdiri.
“Ayo, pulang,” katanya lesu.
Di luar, matahari terasa membakar kulit. Satria menutup mata sejenak, berharap bisa tiba di rumah dengan cepat sebelum tubuhnya benar-benar tumbang.
Perjalanan pulang dari sekolah menjadi ujian tersendiri bagi Satria. Di pinggir jalan, penjual es kelapa berjejer, memamerkan minuman dingin yang tampak menggoda. Ia melirik Dimas yang juga terlihat menelan ludah.
“Bro, lo tergoda, nggak?” tanya Dimas setengah bercanda.
“Banget,” jawab Satria sambil berusaha mengalihkan pandangan.
Tiba-tiba, seorang anak kecil yang berdiri di dekat mereka dengan santainya menyeruput es teh jumbo dari gelas plastik. Es batu di dalamnya tampak berembun, membuat tenggorokan Satria terasa semakin kering.
“Aduh, kenapa sih banyak banget godaan hari ini?” keluhnya.
Dimas tertawa kecil. “Tenang, sebentar lagi juga buka.”
“Tapi gue masih harus ngerjain tugas Matematika di rumah.”
Dimas mengangkat bahu. “Ya, salah lo sendiri semalem begadang. Udah, semangat, bro!”
Satria hanya mengangguk, berusaha menguatkan hati.
Sesampainya di rumah, ia langsung melemparkan tasnya ke sofa dan merebahkan diri di karpet ruang tamu. Rasa kantuk menyerang hebat.
“Sebentar aja tidurnya,” pikirnya.
Akan tetapi, ia lupa satu hal. Jika ia tertidur sekarang, kemungkinan besar ia tidak akan bangun sampai azan Magrib berkumandang.
Satria terbangun dengan panik. Ia melirik jam di dinding—pukul 16.45.
“Gawat! Gue belum ngerjain tugas!”
Ia langsung bangkit dan berlari ke meja belajar, membuka buku latihan yang tadi ia abaikan. Namun, baru beberapa menit mengerjakan, pikirannya mulai terdistraksi. Ia mengambil ponselnya, membuka Instagram, dan mulai menggulir layar. Foto-foto makanan berseliweran di feed-nya: ayam goreng crispy, es campur segar, martabak cokelat keju yang meleleh.
Satria mendesah. “Kenapa algoritma harus gini banget, sih?”
Rasa lapar yang tadinya bisa ia tahan sekarang semakin menjadi-jadi. Ia hampir menutup Instagram, tetapi sebuah notifikasi masuk.
Dimas mengirim pesan di grup: [Gas Mobile Legends dulu, nggak? Killing time sambil nunggu buka.]
Satria menatap buku tugasnya. Di satu sisi, ia sadar harus segera menyelesaikannya, tetapi di sisi lain, iming-iming bermain game terdengar lebih menyenangkan.
“Cuma satu match,” batinnya.
Tanpa pikir panjang, ia membuka game dan mulai bermain. Satu ronde berubah menjadi dua, lalu tiga. Ketika akhirnya ia sadar dan menengok jam, waktu sudah menunjukkan pukul 17.45.
Satria menepuk dahi. “Astaga, tugas gue!”
Panik, ia kembali membuka bukunya dan mencoba berkonsentrasi. Namun, otaknya sudah terlalu lelah untuk memikirkan angka-angka yang ada di depannya.
“Ini semua gara-gara gue sendiri,” sesalnya.
Saat azan Magrib berkumandang, Satria duduk di meja makan bersama keluarganya. Di depannya, segelas teh manis dan sepiring kolak pisang terhidang. Ia meneguk teh dengan perlahan, menikmati kesegarannya setelah seharian berjuang melawan hawa nafsu.
Ibunya tersenyum melihatnya. “Hari ini terasa berat, ya?”
Satria mengangguk. “Banget, Bu. Kayaknya Ramadan tahun ini Satria diuji terus.”
“Itu tandanya Allah sayang sama kamu,” kata ibunya.
Satria terdiam.
“Kalau kamu bisa melewati semua ini dengan sabar, berarti puasa kamu bukan cuma sekadar nahan lapar dan haus, tapi juga melatih diri jadi lebih baik,” lanjut ibunya.
Satria merenung. Selama ini, ia hanya melihat puasa sebagai kewajiban tahunan. Namun, hari ini, ia menyadari sesuatu, puasa adalah medan latihan untuk menaklukkan diri sendiri. Mulai dari godaan begadang, menunda tugas, tergoda makanan, hingga membuang waktu di media sosial—semua itu adalah ujian yang menguji keteguhan hati.
Ia tersenyum kecil. “Besok gue harus lebih baik.”
Dan dengan tekad baru, ia siap menghadapi tantangan Ramadan berikutnya.
***
Tentang Penulis
Intan Dwi Yuliyanti atau dengan nama pena I.D Yulianne lahir pada tahun 2007. Memulai perjalanan sastranya dengan menulis novel pada 2022. Ia terus berkarya dalam dunia sastra, menulis puisi dan cerita, menjadikan tulisan sebagai ekspresi diri serta sarana berbagi inspirasi kepada banyak orang.
Posting Komentar