[CERPEN] Godaan Puasa dan Ketut yang Nyebelin

Daftar Isi
ilustrasi persahabatan (pexels.com/Tim Douglas)
“Beh, panas banget hari ini, Tut, “ ucap Julia sambil mengipas-ngipasi wajahnya pakai kardus bekas air mineral yang sudah lecek. 

“Iya ih, cuaca lagi panas banget. Mau ngeluh juga tiap hari udah ngeluh, percuma juga ngeluh matahari tetap nyengir santai di atas,” ucap Ketut yang berlari masuk ke rumah. 

Julia semakin berguling tidak jelas ke sana-kemari mencari tempat yang sekiranya dingin. “Seandainya ada mamang es krim lewat, pasti segar banget makan es krim siang gini.”

“Inget, Jul, puasa! Waktu magrib juga masih lama,” ucap Ketut yang ikutan berguling di lantai. 

Julia hanya nyengir tidak jelas.

Asap-asap tipis dari aspal yang kepanasan semakin menambah teriknya cuaca siang ini. Angin yang seolah pergi entah ke mana, juga keringat yang semakin menetes di dahi membuat Julia dan Ketut semakin berguling tidak jelas di lantai. Jalanan yang sepi dan suara kipas angin yang ada di dalam rumah, hanya suaranya yang terdengar jelas karena anginnya tidak sampai ke luar. 

Ketut yang memang bukan beragama Islam pun dengan santainya membuka botol air mineral yang berada di sebelahnya, lalu meminumnya. Hal itu membuat Julia mendengkus kesal lantaran dengan sengajanya Ketut minum di hadapannya. Memang hal ini sudah biasa, tetapi entah kenapa siang ini begitu menjengkelkan untuknya.

Julia mencoba tidak tergoda dan memalingkan badan ke samping agar tidak melihat Ketut yang sedang asyik minum, mencoba dengan lapang hati tidak mendengar suara tegukan air yang terasa sangat menyegarkan dan terdengar jelas di telinganya. Namun, semakin dicuekin, semakin santai pula Ketut menikmati minumnya, bahkan sampai terdengar suara 

“Ah … segar banget.”.

“Sabar, Jul, sabar. Orang sabar disayang Tuhan.  Julia mencoba tetap sabar dan lapang dada. Semakin sabar, semakin tak tertahan rasa ingin menegur Ketut.

“Tut ….” Suara Julia yang tertahan akhirnya keluar, pelan, tetapi penuh tekanan. 

Dengan wajah polos dan tak berdosanya Ketut menoleh ke arah Julia masih memegang botol yang airnya tinggal setengah. “Kenapa, Jul? Haus banget aku, mana panas gini.”

Julia mendengkus sambil bangun dari rebahannya. “Kau lupa ya lagi puasa?”

Ketut menutup botolnya dan meletakkannya di samping kaki. “Kamu yang lupa, aku kan nggak puasa. Lagian aku udah nahan buat nggak minum, tapi nggak ke tahan, deh. Maaf ya, Jul. “

Mau marah pun juga percuma. Suasana hening beberapa detik, Julia mengetuk-ngetukkan jarinya di paha, mencoba meredam emosi. 

“Tut, emang nggak ada tempat lain gitu untuk minum? Sengaja banget kayaknya kamu.” Julia mendengkus sebal. 

Ketut menggaruk rambutnya bingung. “Tadinya sih, mau minum di dalem, tapi kok bisa aku lupa ya ada sesuatu tadi.”

“Sesuatu gimana maksudmu?” tanya Julia penasaran

“Kamu tau nggak tadi waktu aku dari warung beli terasi, aku tuh liat anaknya Bu Ida yang cewek itu lagi gandengan sama cowok.”

“Anaknya Bu Ida yang rumah gedongan itu?” tanya Julia semakin penasaran.

“Iya, kayaknya mereka pacaran deh, Jul. Setau aku si cewek itu kan udah punya pacar. Pacarnya anak kampung sebelah yang kerja di bengkel itu.”

Julia semakin dekat ke arah Ketut. “Sok tau kamu, Tut. Emang tau dari mana kamu? Kamu kan ke mana-mana sama aku. “

“Is, gini-gini aku masuk grup gosip yang isinya emak-emak julid. Seru tau ngegosip.” Ketut semakin semangat untuk bergosip. 

Bukannya heran, Julia malah tertawa terbahak-bahak dengan tingkah Ketut yang di luar nalar. Temannya yang satu ini memang diam-diam menyesatkan, tetapi seru menurut Julia. 

Saat sedang asyik-asyiknya bergosip, orang yang dari tadi mereka bicarakan malah nongol begitu saja.

“Hai, Julia, Ketut. Seru banget nih kayaknya,” tanya Dewi, orang yang mereka bicarakan. 

Keduanya bertatapan seolah saling melempar pertanyaan ‘Bagaimana kalau Dewi mendengar obrolan kita?’. 

Buru-buru Ketut menjawab, “Eh, hai, Mbak Dewi. Mbak Dewi dari mana? Kok cantik banget?”

Dewi ikut naik ke teras dan duduk lesehan bersama keduanya. “Ini loh habis nganter makanan  ke rumahnya Pak RT.”

Julia langsung ikut nimbrung mengalihkan pertanyaan tadi. “Wah, masakan Bu Ida emang  juara deh, nggak heran kalau banyak yang pesen.”

“Kalian belum jawab pertanyaanku tadi, lagi bahas apa kalian? Kayaknya asik banget.”

Ketut yang merasa suasana semakin canggung hanya nyengir kuda. “Ini loh, kami tadi lagi bahas, em … anu … trend baju Lebaran tahun ini. Iya kan, Jul.”

Julia yang namanya disebut pun ikut mengangguk cepat seperti boneka dashboard yang ada di dalam mobil. “Iya betul. Kan bentar lagi Lebaran.”

Walau kurang puas dengan jawaban keduanya, Dewi memilih bangkit, hendak melangkah pulang. 

“Oh, kirain kalian lagi ngomongin aku, soalnya aku dengar kalian bawa-bawa namaku di dalam obrolan kalian.”

Ketut dan Julia saling sikut, panik setengah mati. 

“Salah dengar nih, Mbak Dewi,” ucap Ketut, mencoba meyakinkan Dewi. 

Dewi mengangguk dan berpamitan pulang pada keduanya. 

Mereka bernapas lega karena Dewi akhirnya pergi.

“Kamu sih, Tut, ngajak gibah. Untung orangnya nggak dengar. Kalau sampe dengar bisa berabe.”

“Ya mana aku tau kalau tuh orang bakal lewat sini. Lagian tumben banget lewat jalan sini, biasanya nggak pernah muter sini.” 

“Ya suka-suka dialah, emangnya ini jalan punya kita,” kata Julia yang kembali rebahan. 

Suasana hening sejenak karena keduanya sama-sama diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. 

Hingga tiba-tiba …. 

“Jul, Jul coba deh kamu liat ke sana,” ucap Ketut sambil menunjuk ke arah warung yang letaknya di pinggir jalan. 

Julia mengikuti arah yang ditunjuk Ketut. “Eh, ya ampun, itu kan Kak Nelson. Tapi kok dia kayak lagi galau gitu?”

“Iya, ya, samperin sana, Jul. Ini peluang nih buat kamu deketin dia.”

Julia tampak berpikir, mau ia datangi atau tidak orang yang lagi galau itu. “Nggak deh, entar kalau aku diusir gimana?”

Ketut menepuk penuh semangat pundak Julia agar temannya itu bisa lebih dekat dengan orang yang disukainya. 

“Ya belum dicoba mana tau. Entar kalau kamu diusir tinggal pergi aja.” 

Akhirnya, dengan penuh percaya diri, Julia hampir saja berjalan ke arah warung itu. Belum jauh berjalan, ternyata ada seorang wanita yang lebih dulu menghampiri laki-laki itu.

Langkah Julia langsung terhenti saat melihat wanita itu duduk di hadapan Kak Nelson. 

Ketut yang berdiri di sampingnya ikut mengamati heran. “Waduh … siapa, tuh?”

Julia menelan ludah, seketika merasa ragu saat melihat wanita itu terlalu akrab dengan Kak Nelson. Merasa insecure karena wanita itu jauh lebih cantik darinya. 

“Gimana nih, masih mau nyamperin?” tanya Ketut.

Julia menggeleng dan menghela napas pasrah. “Kayaknya enggak, deh. Kamu liat aja, itu pasti pacarnya. Mana cantik banget, sedangkan aku cuma butiran kerikil jalanan,” ucapnya dengan senyum penuh paksaan. 

Bukannya kasihan dengan nasib percintaan Julia, Ketut malah tertawa terbahak-bahak, merasa lucu dengan raut muka temannya. 

Dengan santainya Ketut merangkul bahu Julia sok menguatkan. “Udah yuk, kita pulang lagi. Mending kita ngegosip daripada pusing mikir cinta-cintaan.”

Julia mendelik tak suka. “Cukup kita ngegosipnya. Dosaku udah banyak tau gara-gara kamu.”

Seperti biasa, Ketut hanya nyengir tidak jelas. Namun, sebelum mereka berbalik, tiba-tiba Kak Nelson menoleh dan sempat beradu pandang dengan Julia.

***

Tentang Penulis

Ketut Ariyanti atau yang sering disapa Ketut, memiliki hobi membaca novel juga senang menulis sebuah puisi. Lahir pada tahun 2003 yang kini baru saja berusia 22 tahun. Tidak ada yang istimewa untuk diceritakan karena hidup bukan untuk mengadu nasib. 

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar