[CERPEN] Kendalaku adalah kendaliku
![]() |
ilustrasi bunga dan buku (pexels.com/cottonbro studio) |
Namaku Aditya Pratama, berusia 20 tahun. Aku merantau di salah satu kabupaten paling barat di daerah Jawa Timur. Tak kusangka, tempat ini menjadi tempat pertemuanku dengan dia yang ternyata aku jatuh cinta padanya dari pandangan pertama.
Aku duduk di atas motor matic tua berwarna ungu dengan aksen putih, mengenakan helm merah keoranyean yang sudah sedikit pudar dimakan waktu. Seperti biasa, aku berangkat bekerja. Bukan ke kantor mewah atau tempat berpendingin ruangan, melainkan ke pinggir jalan, di mana aku berjualan ayam goreng.
Namun, entah kenapa, pagi ini terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengusik hati, semacam firasat yang sulit aku jelaskan. Seperti ada kejutan yang menunggu di ujung jalan, sesuatu yang mungkin tak pernah aku duga sebelumnya.
Aku menyusuri jalanan basah, pikiranku mela
yang ke sosok yang sudah lama diam di sudut ingatan. Seorang gadis yang pertama kali kutemui saat masih berjualan di dekat sekolahnya. Gadis yang tanpa sadar selalu berhasil mencuri perhatianku.
Dia manis seperti gula, dan lucu dengan caranya sendiri. Tubuhnya berisi, pipinya bulat mengembang, dan hidungnya yang mungil semakin menambah kesan menggemaskan. Aku masih ingat bagaimana seragam batiknya, dengan warna coklat mendominasi, berpadu dengan motif yang—entah kenapa—selalu mengingatkanku pada sayuran sawi. Sesuatu yang mungkin biasa bagi orang lain, tapi bagiku, justru itu yang membuatnya berbeda.
Hijabnya menjuntai lebar, mengikuti aturan sekolah Islam yang ia tempati. Dan entah sejak kapan, aku mulai menunggu kehadirannya. Hanya sekadar melihatnya berjalan melewati gerobak kecilku sudah cukup membuat hariku terasa lebih ringan.
Hari ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, aku berharap akan ada secuil kisah manis yang mungkin datang tanpa aba-aba. Atau setidaknya, aku bisa melihatnya sekali lagi, meski hanya sekilas.
Meskipun bulan Ramadan, tapi target buka kedai ayam goreng tetap dibuka pagi, hanya saja lebih siang dari hari biasanya.
Saat aku baru saja menyebrangi jembatan gantung perantara desaku dengan desanya, aku tak sengaja melihat motor matic merah dominan putih terparkir di depan toko sebelah jembatan, atau jalanan yang menjadi saksi pertemuanku dengannya.
Saat aku menyadari hal tersebut, dengan cepat aku memutar balik untuk berhenti di toko tersebut untuk alasan membeli bensin, padahal aslinya ingin memastikan kalau itu memang benar-benar motor dia, gadis yang aku damba.
“Bensin yang besar pinten, Pak?” tanyaku sambil berusaha melihat di dalam.
“Yang besar delapan belas ribu, Mas,” kata Bapak penjual bensinnya.
Saat itu juga aku melihat dia keluar dari toko dan memasukkan susu kotak dan satu jajan snack ke dalam tas yang ia tenteng di pundaknya. Aku melihatnya seperti salah tingkah. Dia tertawa, begitu lucunya dia saat salah tingkah. Rasa ingin menggodanya pun meronta-ronta dalam diri.
“Loh.” Begitulah yang aku dengar suara yang keluar dari bibir mungilnya yang pucat.
Pikirku dia sedang datang bulan dan menahan sakit perut dari efeknya. Makanya dia membeli sekotak susu dan snack untuk camilan. Padahal ini adalah bulan Ramadan, di mana semua manusia beragama Islam wajib berpuasa.
Tapi kok tumben dia berangkat siang? Kulihat kartu ujian terjuntai di lehernya, oh mungkin ujian, pikirku.
Dia langsung terburu-buru naik ke motor dan memasang helm hitam kesayangannya itu.
Aku berjalan menuju depan lewat sampingnya, jiwa jahilku pun keluar. “Kenapa coba senyum-senyum?”
“Enggak,” ucapnya mengelak dan berusaha menutupi pipinya yang memerah.
Lucu. Dia langsung menyalakan mesin motornya dan berkata, “Duluan, Mas!”
Dia segera menancapkan gas motor dan aku masih memandanginya.
Singkatnya begitu, setidaknya rasa rindu yang tahan selama tiga bulan ini telah terobati meski hanya sesaat. Melihat senyumannya membuat hati ini merasa lega, setidaknya dia baik-baik saja.
Dengan cepat aku membayar bensin dan berangkat kerja. Senyumku tak pudar mengingat tingkahnya yang lucu, aku berharap kita bisa bertemu kembali, ya.
***
Hari demi hari, aku tak pernah melihat dia lagi. Padahal aku selalu berangkat sesuai dengan jam terakhir pertemuanku dengannya. Rasanya aku sangat rindu dengannya, setelah tiga bulan tak ada pertemuan, kini tak lagi ada pertemuan lagi.
Suaranya yang merdu, lekukan senyuman manis itu terus membayangi pikiranku.
Suatu sore, aku pergi ke toko seberang desa untuk membeli beberapa kebutuhan warung. Tak kusangka, di sanalah aku melihatnya lagi.
Tapi kali ini, dia tak sendiri.
Dia duduk di atas motor, berboncengan dengan seorang pria yang tampak akrab dengannya. Pria itu tersenyum lebar, tangannya dengan santai memegang kemudi, sementara dia tertawa pelan, menutup mulutnya seakan malu. Aku tertegun.
Dada ini seketika sesak. Ada sesuatu yang terasa patah di dalam diriku, sesuatu yang bahkan tak bisa kuterjemahkan dengan kata-kata. Aku ingin berpikir positif, ingin menganggap pria itu hanya teman biasa, tapi cara mereka tertawa bersama, cara pria itu menepuk pundaknya dengan ringan, membuatku sadar akan sesuatu yang menyakitkan.
Mungkin selama ini aku hanya berharap sendirian.
Aku menunduk, berpura-pura sibuk memilih barang di rak toko. Aku tak ingin dia melihatku di sini. Aku tak ingin dia tahu bahwa aku baru saja menyaksikan sesuatu yang mengubah segalanya.
Aku menggenggam erat barang yang kupilih, lalu berjalan ke kasir dengan langkah yang terasa berat. Saat aku keluar dari toko, mereka sudah pergi, meninggalkan jejak yang tak bisa kuhapus begitu saja.
Untuk pertama kalinya, aku merasa kehilangan sesuatu yang bahkan tak pernah kumiliki.
Dengan segera aku pergi dari tempat itu menuju taman kecil di tengah sawah dekat rumah. Aku duduk termenung. Suara lantunan ayat suci Alquran di masjid terdengar menenangkan. Untuk ke sekian kalinya, aku harus jatuh cinta sendirian. Kupikir dari sikapnya yang sering salah tingkah itu bisa benar-benar menjadi bukti bahwa ia juga menyukaiku, ternyata tidak.
***
Hari-hari berikutnya aku menjalani semuanya seperti biasa. Di bulan suci Ramadan ini aku ingin memfokuskan diri pada ibadah terlebih dahulu. Pikirku, setelah bulan Ramadan aku ingin melamar gadis itu karena ia juga sudah lulus sekolah, tapi semuanya sirna begitu saja.
Saat hendak berangkat kerja seperti biasanya, aku melihat kerumunan orang-orang di depan perempatan setelah jembatan gantung perantara desa. Terlihat jelas darah berceceran dimana-mana dan mataku tertuju pada gadis yang aku cinta.
“Pak, ini ada apa?” Aku segera turun dan ingin membantu gadis itu namun dicegah.
“Jangan langsung diangkat, Mas. Tunggu petugas kesehatan datang dulu saja,” titah salah satu Bapak-Bapak yang ada di situ.
Terdengar bisik-bisik gadis malang itu ternyata korban tabrak lari saat ia hendak menyebrang. Padahal pagi itu tampaknya tak terlalu ramai, namun ternyata orang tak bertanggung jawab yang mengendarai mobil itu sedang mabuk.
Tak berapa lama, petugas kesehatan dan ambulan tiba di tempat kejadian perkara. Aku masih diam tak berkutik apa-apa.
Rasanya ingin tertawa atau menangis, semua tak bisa dikendalikan. Semua tercampur rata di satu sisi buruk yang tidak bisa aku terima.
Saat aku hendak beranjak pergi, sosok lelaki yang aku lihat berboncengan dengan gadis itu terlihat tersenyum sinis melihat gadisku terbujur tak berdaya.
Aku memandang curiga, apa dia dalang di balik semua ini? Aku terus memperhatikan sesekali memainkan ponsel genggamku yang sudah mulai retak-retak layarnya.
Saat melihat lelaki itu tersenyum sinis, aku merasakan sesuatu yang aneh dalam dirimu. Ada sebuah ketakutan, tapi juga perasaan puas yang sangat sulit dijelaskan. Aku menggenggam erat ponsel yang ada di tanganku, menatap layar yang sudah retak-retak, tempat di mana aku beberapa hari lalu menerima pesan dari nomor yang tak dikenal.
“Kau ingin dia kembali padamu? Pastikan dia tidak bisa bersama orang lain.”
Sebuah pesan singkat, misterius, namun berhasil membuat otakku berputar liar. Awalnya, aku hanya bercanda dengan pikiran itu, pura-pura ingin mengganggunya, dan membuatnya sadar akan perasaanku. Tapi rasa sakit karena melihatnya dengan pria lain itu membuatku berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap. Aku ingin memberinya pelajaran. Aku ingin dia mengetahui, bahwa aku ada, bahwa aku lebih dari sekadar penjual ayam goreng di pinggir jalan.
Jadi aku memantau pergerakannya. Aku selalu mengawasi dari kejauhan di mana ia akan melewati jalan itu. Aku tahu dia selalu ragu-ragu saat menyebrang. Aku tahu bahwa pagi itu, ada seseorang yang bisa kubayar untuk membuat sedikit kekacauan.
Aku tidak berniat membunuhnya. Aku hanya ingin dia terluka, dan aku akan berpura-pura untuk sigap untuknya.
Tapi sekarang, melihatnya tergeletak tak berdaya di jalan, tubuhnya bersimbah darah, aku merasakan sesuatu yang pernah kurasakan sebelumnya. Ini bukan kemenangan. Ini bukan kebahagiaan. Ini adalah ketakutan.
Aku melangkah mundur, merasa tubuhku bergetar. Apa yang sudah kulakukan? Aku ingin menolongnya, tapi aku juga takut orang-orang akan menyadari kebenarannya. Aku menatap pria yang tenggat waktu berboncengan dengannya, dia masih tersenyum tipis.
Lalu dia membisikkan sesuatu dengan suara pelan saat melewatiku. “Kerja bagus, Kawan!”
Aku tersentak, jadi ... dia tahu? Atau mungkin lebih dari itu? Dia merencanakan semuanya, dan aku hanya menjadi bidak manipulasi?
Jantungku berdegup kencang. Ini bukan hanya kecelakaan. Ini permainan. Permainan yang bisa saja telah kulangkahi terlalu jauh.
Dan kini, aku tidak tahu bagaimana cara keluar darinya.
Aku merasa bersalah. Seharusnya di bulan ini memperbaiki diri, malah memperburuk diri.
***
Tentang Penulis
Ni Hao! Nur Aisyah Rahma Fadila yang biasa dipanggil Aisyah merupakan salah satu penggemar menulis. Penulis sekarang berusia 19 tahun. Berbagai macam kegagalan dalam menulis telah dilewati. Jangan lupa mampir baca cerita The Power of Penjual Ayam Kentucky, ya. Mari berteman denganku di sosial media @aisss.nrhmfdl_. See u!
Untuk menambah pengalaman hehe
Jahat banget orang yang suka tapi lebih besar ambisinya.