[CERPEN] Kursi Dingin di Ujung Senja
![]() |
ilustrasi kumpulan kenangan (pexels.com/Nur Yilmaz) |
Tangan hangat dan sedikit kasar menepuk lengannya pelan. Pria itu membuka mata mendapati istrinya duduk di pinggir kasur dan tersenyum ke arahnya. Pria itu, Yani, memahaminya. Segeralah dirinya bangkit dan menyusul istrinya ke dapur, mengambil dua piring seng gambar kembang sepatu untuk mewadahi nasi. Porsinya seperti kuli—seperti kebanyakan pria; tiga sampai empat centong—dan istrinya, Laras, hanya satu setengah centong nasi. Saat sedang memanaskan lauk semalam, suara pentungan dan teriakan para pemuda desa meramaikan sahur di pukul tiga itu.
Yani membenarkan sarung di pinggangnya. Kemudian, ia duduk berseberangan dengan Laras yang menuangkan sayur dan lauk untuk Yani dan dirinya sendiri. Tahu, tempe, sambal bawang, dan lalapan; daun singkong dan labu siam yang direbus. Meskipun begitu, Yani berterima kasih dan menyantapnya lahap. Laras akan membalasnya tersenyum sembari mengunyah dengan lambat. Setelah selesai, selagi Laras membawa piring kotor, Yani akan membenahi kursi-kursi; merapatkannya di bawah meja. Laras ramping, lemak di tubuhnya tidak terlalu banyak sehingga kursinya cepat mendingin, tidak seperti Yani—kursinya panas seperti habis dierami.
Saat pagi yang cerah tiba, Yani akan bersih-bersih halaman sambil bersenandung. Sesekali mengobrol dengan Laras yang duduk di kursi teras. Laras sedang tidak enak badan, jadi Yani memintanya untuk istirahat saja. Kendati demikian, tetangga di sekitar rumahnya memandangnya aneh—mungkin sinis dan iri dengan interaksi suami istri ini yang mereka pikir sedang bermesraan di bulan puasa.
Azan Magrib berkumandang. Yani dan Laras menyiapkan makanan untuk berbuka puasa. Tadi sore, Bejo, teman mancing Yani, mengantarkan semangkuk es campur buatan istrinya. Dia senang tentu saja, tetapi Bejo bertingkah tidak seperti biasanya. Yani berterima kasih dan bilang bahwa dia serta Laras akan menikmati es campur tersebut. Namun, saat dia melihat ke arah Bejo, wajah pria itu pucat seperti kurang darah. Yani berharap dia baik-baik saja.
Laras hanya mengangguk, seolah paham. “Mungkin karena sedang puasa. Bapak juga biasanya lemas,” goda Laras.
“Padahal yang hari ini lemas itu Ibu,” balas Yani sambil tertawa.
Laras meminta Yani lanjut pergi ke surau untuk salat Tarawih berjemaah. Sejujurnya, Yani masih belum puas makan. Namun, melihat istrinya yang bahkan tidak melunturkan senyuman, Yani tak sampai hati untuk mengeluh. Jadi, ia ke belakang rumah dan menimba air di sumur. Yani segera mengambil sajadahnya dan berjalan menuju masjid setelah pamit kepada Laras—istrinya itu mengangguk lesu, sepertinya masih tidak enak badan.
Bokong Yani seperti sudah gatal untuk beranjak dari duduknya, padahal imam belum selesai berdoa. Namun, nanti Laras akan marah dan mendiamkannya kalau ia berani begitu. Pikirannya mengkhawatirkan istrinya yang sejak pagi ini lemas dan kelihatan lesu. Para jemaah pun bubar, kecuali beberapa ibu-ibu desa yang menetap untuk tadarus Al-Qur’an malam itu.
Yani melewati gardu pos ronda yang masih ramai seperti biasa. Ada enam orang pria yang duduk dengan format serupa; menekuk satu kaki ke dada. Mereka mengelilingi kartu-kartu familier dan puntung yang menggunung dalam gelas plastik. Salah satu dari mereka mengangkat tangan, melambai kepadanya.
“Pak Yani, sini gabung! Sudah lama kami tidak lihat Bapak.”
“Iya nih, biasanya Bapak sampai pagi main di sini,” tambah yang lainnya.
Yani jelas mengenal mereka. Ia tertawa dan menggeleng. “Wah, maaf ya, Bapak-Bapak, istri saya menunggu di rumah. Nanti saya kena marah.”
Tepat saat Yani menyelesaikan alibinya, ekspresi bapak-bapak di pos ronda itu berubah. Sangat sulit dibaca. Yani sampai mengira ada yang salah dengan pemilihan kata atau nada bicaranya. Karena merasa ada yang tidak beres, Yani bergegas pulang ke rumah tanpa mau tahu reaksi selanjutnya dari kumpulan pria tersebut.
Tidak seperti biasanya, Laras duduk di depan, di teras. Lampunya tidak dinyalakan. Padahal, sudah pukul setengah 9 malam. Yani semakin khawatir.
“Assalamu’alaikum, Ibu, kenapa kok duduk di luar? Dingin, Ibu lagi masuk angin, loh.” Yani mendekatinya.
Laras tersenyum kecil saat suaminya meraih lengan kurusnya, menurut untuk masuk ke rumah. Istrinya mengenakan daster kesayangannya, robek di bagian kelimannya—warna cokelat dengan motif batik kawung. Pria itu mengantarkan ke kamar tidur mereka, kemudian ke dapur untuk membuatkan segelas teh hangat. Laras meluruskan kaki di ranjang, menatap jauh dengan ekspresi yang sukar dijelaskan.
Akan tetapi, saat Yani kembali, Laras tidak ada di mana pun. Jejaknya seperti hilang diraup malam. Yang tersisa hanyalah kosong, gelap, dan tubuh menggigil Yani yang nyaris meluncur ke lantai. Air mata seperti curug membasahi daster cokelat; tanpa sisa kehangatan. Malam itu takbir dikumandangkan di berbagai sudut.
***.
Seorang pemuda baru saja datang ke desa itu, namanya Aidil. Tuntutan pekerjaan yang membuat ia akhirnya menyewa rumah di sana. Rumah sederhana yang hanya akan ditinggali olehnya. Ia punya tetangga bernama Yani. Pria itu cukup ramah kepadanya walaupun Aidil sendiri tidak ingin berpikir yang tidak-tidak. Tidak ingin dianggap sebagai orang baru yang lancang karena melihat Yani sebagai orang aneh.
Suatu pagi hari yang mendung, Aidil bersiap berangkat bekerja; mengeluarkan motor ke teras. Dirinya melihat Yani yang memegang sapu lidi di halamannya. Pria itu tersenyum, untuk suatu alasan; yang entah apa itu—wajahnya tampak layu, “Mau berangkat kerja, ya, Mas Aidil? Pagi sekali.”
Aidil balas tersenyum. “Iya, Pak. Kalau berangkat lebih pagi bisa lebih santai.”
“Wah, betul sekali. Saya harus menjaga istri karena entah kenapa dia tidak enak badan hari ini.” Pria itu menghela napas. Aidil mengangguk paham.
“Semoga beliau segera sehat ya, Pak,” ujar Aidil penuh perhatian.
Yani mengaminkannya sebelum berbalik mendekat ke teras rumahnya. Kala itu, Aidil terlalu fokus memanaskan motor, selagi mesinnya siap—seolah menunggu roti dalam oven; Aidil mengambil tas kerja dan helm. Sempat terpikir olehnya untuk pamit dengan Yani karena suara sapu lidinya terdengar; begitu juga dengan tawanya. Aidil berpikir pria itu sedang berbincang dengan seseorang.
Akan tetapi, tidak ada siapapun di sekitarnya. Hanya udara kosong.
Aidil terus mencoba berpikir positif. Mungkin—semoga kemungkinan besar, Yani memang memiliki proses berpikir yang unik sehingga senang berbicara sendiri. Seperti berdiskusi dengan dirinya sendiri. Yani pastilah seorang pemikir yang penuh ide cemerlang. Atau, itulah yang diharapkan Aidil karena ingin menjadi orang yang terus berprasangka baik. Karena suatu hari, perkataan seorang warga nyaris membuyarkan segalanya.
“Semakin ada yang tidak beres sama itu orang,” ujar seorang wanita paruh baya saat Aidil sedang membeli telur di warung untuk sahur. Dia menggeleng diam-diam karena ini masih di bulan Ramadan.
“Itu, Pak Yani, makin aneh saja saya lihat-lihat,” lanjutnya. Antena imajiner Aidil berdiri saat nama Yani disebut.
“Ssst! Jangan malah gibah, Bu Iyah. Ini masih bulan puasa.” Pemilik warung menginterupsinya. Namun, Ibu itu, Iyah, malah semakin ekspresif, bahkan Aidil mulai melihat gestur yang aktif. Wanita itu mencondongkan tubuh, matanya menyipit, suaranya setengah berbisik; dengan suara keras—entahlah.
“Loh? Saya kan berbicara fakta! Dia sebut-sebut tentang istrinya berkali-kali; misalnya, buka puasa sama istrinya. Terus ya, saya dengar bapak-bapak di pos ronda dengar dia pulang dengan alasan takut dimarahi istrinya. Normalnya itu agak lucu dan membuat iri … tetapi kalau Pak Yani yang bilang ….”
Ucapannya menggantung di udara, memperagakan orang menggigil kedinginan, “malah jadi seram.”
Aidil mulai tidak tertarik dengan obrolan ini. Ibu ini jelas sekali hanya tidak suka seorang pria yang sangat dekat dengan istrinya. Meskipun Aidil sendiri, selama sebulan pindah ke desa ini belum pernah berpapasan dengan istri Yani. Setelah membayar telurnya, Aidil bergegas untuk pulang. Lalu, wanita tadi berceletuk di belakangnya.
“Mas Aidil belum tahu, ya?”
Pemilik toko menghela napas. “Bu Iyah … sudah, ya.”
Iyah berdecak. “Ya, itu karma untuk Pak Yani sendiri, karena selama hidup, dia tidak pernah memperlakukan istrinya dengan baik! Tahu rasa dia setelah kehilangan.”
Perkataan Iyah terngiang di kepalanya sampai ke rumah. Lalu keesokannya, dia mendengar sendiri dari mulut bapak-bapak saat selesai Tarawih. Istri Yani, Laras, sudah meninggal dunia sekitar dua bulan lalu. Tidak tahu apa yang memicu perilaku Yani tersebut. Namun, semakin banyak informasi yang Aidil ketahui. Misalnya, Laras stres akut hingga sakit. Tentu saja karena kelakuan suaminya yang di luar nalar. Jadi, banyak yang berasumsi bahwa Yani seperti ditampar akal sehatnya saat istrinya wafat. Kalau itu benar, Aidil sampai mengelus dada dan beristigfar.
Seminggu setelahnya, Yani tidak pernah muncul untuk sekedar menyapu halaman. Saat ada yang memeriksa, ternyata ia sakit dan hanya sanggup berbaring di ranjang. Terus-terusan menangis dalam tidur, memanggil nama istrinya dengan putus asa. Tidak selera makan, tubuhnya seperti kulit di atas tulang.
Bulan itu adalah Ramadan terakhirnya. Hari itu adalah hari kesepuluh setelah Idulfitri. Dengan sisa-sisa penyesalan dalam bayang-bayang, Yani menyusul istrinya.
***
Tentang Penulis
Valya Hanindita Agustin atau biasa dipanggil Valya, lahir di Tegal, 17 Agustus 2002. Penulis pemula yang mulai aktif menulis cerita bergenre fantasi dan drama dengan nama pena Lya Han. Suka game RPG serta penggemar cerita bertema fantasi dan aksi. Menulis adalah caranya berbagi imajinasi. Bisa kunjungi Instagram-nya: @vlyaway.
Posting Komentar