[CERPEN] Menyimpan Kenangan

Daftar Isi
ilustrasi sepeda menyimpan kenangan (pexels.com/Nguyen Ngoc Tien)
Suara azan itu bergetar, terucap tidak sempurna karena air mata yang berjatuhan. Suami Mbak Juwita menahan tangis, terekam jelas pada suaranya. Perlahan jenazah Bapak diturunkan ke dalam liang lahad. Modin memberi nasihat kepada pengantar sebagai pengingat diri bahwa kita pasti kembali. Doa-doa pun masih terucap setelah gundukan tanah bertabur bunga-bunga menemani kami untuk perpisahan ini. Aku menyeka air mata lagi. Beristirahatlah dengan tenang, Bapak. Tugasmu di dunia ini telah paripurna. 

Tamu-tamu masih terus berdatangan silih berganti dari kerabat dekat ataupun jauh. 

Tahlilan hingga tujuh malam mewarnai hari-hari di rumah kami. Desember itu menjadi kelabu, oleh kepergian sebelah sayapku. 

***

“Aku ingin ke desa,” ucap Bapak suatu hari. 

“Ngelunjak! Habis diajak jalan-jalan malah ingin ke desa!” Kakak perempuanku menyahut dengan nyinyiran. Dia memang agak sentimen. 

“Kalo nggak mau ngajak, ya diem aja kali! Nggak usah pake nyinyir,” gerutuku. “Mentang-mentang yang punya mobil,” lanjutku. 

Daripada meladeni Kakak, aku pergi saja ke teras atas. Meskipun pagarnya hanya terbuat dari batang bambu, aku suka sekali berada di sini. Duduk-duduk sambil menikmati cokelat hangat, sembari mengamati lalu-lalang orang-orang. Siapa tahu Virna, anak SMA yang jalannya cepat itu lewat. Aku selalu gemas jika melihat pipinya yang chubby, pengin mencubit. 

“Sudah, jangan es terus, nanti pilek!” Terdengar lagi suara Mbak Juwita. 

Aku kadang jengkel juga sama Bapak yang kadang sulit diberi tahu. Akan tetapi, tidak usahlah pakai dibentak-bentak. Tinggal pergi saja, gampang, kan? Itu menurutku, tidak menurut Mbak Juwita. Mulutnya itu seperti tidak ada remnya. 

“Nggak mau, beli aja sendiri! Kenapa sih sulit banget dibilangin? Nanti kalo sakit gimana? Air teh aja!”

Ada jeda beberapa menit. Dia diam. 

“Males, males, males!”

Serentetan omelan yang aku bosan mendengarnya membuat tekanan darahku naik. Ke mana sih, ibu yang biasanya menenangkan Mbak Juwita? Niat mau santai sambil menunggu Virna lewat malah kena polusi suara. Aku bangkit untuk meletakkan cangkir dan menuruni tangga.

“Udah, tinggalin aja kalo Bapak rewel! Nggak usah dibentak-bentak!” seruku pada Mbak Juwita. 

“Gimana mau diem? Dari tadi rewel terus.”

“Ibu ke mana, sih?”

“Bantuin masak ke rumah Bu Susi. Mau ada tahlilan.”

“Kenapa sih orang-orang itu sukanya ngerepotin tetangga?”

“Ya nggak apa-apa, kan gantian, Her. Sebagai tetangga kita harus tolong-menolong.”

“Maksudku kok nggak pesan aja? Kan praktis.”

“Bedalah, Her. Kalau masak sendiri itu bisa jadi banyak, harga juga lebih murah. Isian kotak bisa disesuaikan. Anggota keluarga lain bisa nyicipin. Kalau pesan kan udah dihitung, nggak bisa dicobain.”

“Kan tinggal pesan banyak.” Aku masih berusaha membantah. 

“Dananya bisa bengkak, gunduuul!” Mbak Juwita mendorong kepalaku. 

Akhirnya, aku tertawa. “Kalo nggak mampu, ya nggak usah masak banyak-banyak, lah. Toh, tahlilan yang penting doanya, bukan hidangannya.”

“Iya, tapi kan pengin sedekah atas nama anggota keluarga yang meninggal. Dah ah, aku mau nyuci. Males ngeladenin kamu, nggak selesai-selesai. Tuh, Bapak bikinin es teh daripada beli es serbuk di warung.” 

Aku merasa kurang sreg dengan adat tahlilan di sini. Kadang aku merasa keluarga seakan malah seperti “pesta” atas kematian anggota keluarganya dengan banyaknya hidangan. Kalau alasannya untuk sedekah atas nama si mayit, kan bisa diinfakkan buat bantu pembangunan masjid atau sekolah, biar jadi jariah. Bukan berlomba-lomba bagus-bagusan “berkat” saat tahlilan yang terkesan pamer itu. Ah, sudahlah, memang sulit melawan adat. 

***

Aku merasa Ibu menepuk-nepuk pipiku. 

“Sahur, Her. Ayo, bangun. Heri, Heri!”

Aku menggeliat malas. Berat sekali bangun di jam-jam seperti ini. Pantas pahalanya besar. 

“Iya, iya, Bu.”

“Awas ketiduran lagi, loh.”

Masih memejamkan mata, aku pun duduk di tepi tempat tidur. Hampir-hampir aku tertidur lagi kalau tidak mendengar suara Naldi—putra Mbak Juwita—yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Dia minta dibuatkan susu cokelat. 

“Bapak mana?” tanyaku sambil mengucek-ucek mata. 

“Cuci muka dulu, gih. Kok malah nanya Bapak?”

“Tuh, Bapak masih salat,” sahut Mbak Juwita. 

“Mas Hamdan?”

“Kamu kok jadi tukang absen sih, Her?” tegur Ibu. 

“Kan biasanya dia paling duluan duduk di meja makan.”

“Lembur,” jawab Mbak Juwita. 

“Kok lembur terus? Perlu dicurigai nih, Mbak.”

“Heriii, cuci muka dulu. Kamu mulai ngelantur,” tegur Ibu yang sedang memanaskan sesuatu di kompor. Kamarku jika dibuka pintunya maka terlihat dapur. 

Kulihat Mbak Juwita tertunduk sedih. Apakah ucapanku membuatnya curiga? 

“Ada apa, sih?” 

Bapak bertanya sambil membetulkan letak sarungnya dan bergabung bersama kami. 

“Cuma si Heri usil,” jawab Ibu. 

Kami sudah berada di meja dengan hidangan sahur. Ibu menghidangkan soto yang sudah dimasak untuk berbuka tadi. Ada juga tumis kangkung dan tempe goreng bagi Bapak. Beliau hampir selalu minta dimasakkan sayur. 

Suasana damai itu tiba-tiba dikejutkan oleh ketukan pintu ruang tamu. 

Mbak Juwita yang berjalan ke ruang tamu tiba-tiba berteriak. Kami semua saling berpandangan, lalu bangkit mencari tahu. 

Terlihat Mas Hamdan sedang teler sambil memeluk pundak dua orang cewek berpakaian tidak senonoh. 

Bapak yang biasanya kalem tiba-tiba menampar pipi Mas Hamdan. Kami sungguh tidak mengira suami Mbak Juwita yang selama ini terlihat baik ternyata jadi pemabuk. 

Mbak Juwita terus menangis dan memukuli lengan suaminya yang dibaringkan di sofa. 

“Kurang ajar, mentang-mentang sekarang banyak uang, kamu malah jadi begini!” 

“Kenapa ini, Mbak?” tanya Ibu kepada wanita yang mengantar. 

“Dia kalah taruhan. Hukumannya minum, tapi dia nggak kuat,” jawab salah satu cewek. 

“Oalah, ya sudah, makasih sudah mengantarkan.” 

Ibu terlihat bingung untuk bersikap. 

“Taruh aja di teras, biar dimakan nyamuk!” Bapak menunjuk ke arah luar. Napasnya terlihat memburu.

“Kami permisi dulu,” ucap kedua cewek itu bersamaan sambil berdiri dan berjalan keluar. 

Mbak Juwita mengusap air matanya. “Ayo, Her, kita ba-wa ke te-ras,” ucapnya terbata-bata. 

Aku terpaksa mengikuti perintah Bapak karena takut. Jujur, hingga usiaku 21 tahun, aku tidak pernah melihat Bapak semarah ini. 

Agak susah payah aku mengangkat tubuh Mas Hamdan. Mbak Juwita bahkan melepaskan kaki suaminya sebelum sampai di teras karena keberatan. Jadinya setengah kuseret. 

Sayup-sayup suara murrotal terdengar dari musala. Biasanya itu menjadi penanda waktu menunjukkan pukul 3.30. Aku memilih waktu terbaik untuk sahur, yaitu menjelang Subuh. 

Benarlah, begitu kuletakkan, denging nyamuk mulai mengganggunya. Aku berharap besok pagi kulitnya bentol semua. Sebagai adik Mbak Juwita, tentu aku juga ikut sebal. 

***

Kutaburkan bunga di atas makam. Ramadan tahun ini adalah puasa pertama tanpa Bapak. Aku menyesal karena tidak bisa menuruti keinginan yang ternyata menjadi permintaan terakhirnya. Aku menyesal tidak bisa memengaruhi Mbak Juwita dan Mas Hamdan. 

Sekelebat ingatan Bapak mengayuh sepeda dan memboncengku saat kecil tiba-tiba terlintas. Bayangan lain bermunculan di benak, membuat air mataku tidak dapat ditahan. Mbak Juwita dan Ibu masih khusyuk membaca Surah Yaasin di samping. Aku berjanji akan lebih banyak mengirimkan Al-Fatihah dan bersedekah atas namanya. Hanya itu yang bisa kulakukan setelah kepergiannya. 

***

Tentang Penulis

Putri Melati adalah penulis di aplikasi KBM App, Opinia, dan Medium. Wanita yang tinggal di Surabaya ini tergabung dalam beberapa grup kepenulisan, salah satunya komunitas Ufuk Literasi. Karya antologi yang sudah diterbitkan bersama komunitas ini ada dua, berupa cerpen dan quotes. Informasi tentang tulisan, foto, dan videonya bisa dijelajahi dengan mengetik: putrimelati_123 di Google.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

1 komentar

Comment Author Avatar
Sabtu, 03 Mei, 2025 Hapus
Alhamdulillah, cerpenku ikut meramaikan ufuk literasi