[CERPEN] Ramadan untuk Briella
![]() |
ilustrasi berbuka puasa (pexels.com/Thirdman) |
Hatinya mencelus, bukan karena suasana baru yang ada di hadapannya, melainkan berita yang Eyang bawa tadi pagi sebelum mengajaknya ke sana.
“Menikah? Dengan seorang ustaz? Yang bahkan nggak aku kenal sama sekali, Eyang? Eyang cuma ngancem aku kayak biasa, kan?” cecar Briella, menatap frustrasi pada eyangnya.
Sejak kecil, Briella terbiasa dengan kesepian. Ayahnya seorang anggota TNI yang kerap ditugaskan di berbagai pelosok negeri. Ibunya, seorang dokter militer, tak kalah sering berpindah-pindah medan tugas juga. Rumah bagi Briella adalah omelan dan cerwet hangat Eyang, yang selalu ada menemaninya. Namun, kehangatan Ramadan ala keluarga muslim utuh hanya ia dapat dari cerita teman-temannya. Sahur dan berbuka seorang diri sudah menjadi rutinitasnya setiap bulan puasa. Bahkan, Briella menjalani puasa, hanya seperti sebuah formalitas saja sebagai orang yang beragama Islam. Ia tidak pernah mengerti makna Ramadan sesungguhnya.
Eyang menyadari kalau tidak akan terus bisa menjaga cucu kesayangannya itu lebih lama lagi. Selain karena usia yang sudah hampir satu abad, juga karena kesehatannya makin menurun. Tanpa sepengetahuan Briella, Eyang sudah menikahkan dirinya dengan seorang ustaz muda yang merupakan cucu dari sahabat karibnya, seorang pemilik pesantren modern.
Pernikahan itu bahkan telah sah secara agama dan negara, diwakilkan oleh wali nikah tanpa kehadirannya. Briella merasa dunianya runtuh. Ia tak punya pilihan selain menerima kenyataan ini.
Hari ini tepat sebulan setelah akad. Setelah Eyang menjelaskan semua tentang pernikahannya, beliau mengajak Briella menemui pria yang sudah berstatus sebagai suami itu.
Seorang pria muda yang usianya tidak terpaut terlalu jauh dari Briella menyambut mereka di halaman ndalem pesantren, bersama dengan seorang pria lain yang langsung memeluk Eyang, dan seorang wanita anggun mengenakan gamis hitam dan hijab besar.
“Assalamu’alaikum,” sapa Eyang semringah, sementara Briella masih terpaku di tempatnya. Pria yang menatapnya dengan teduh dan menenangkan itu pun sama, tak bergerak sedikit pun.
“Briella Althafunissa?” Suara berat yang cukup ia kenal itu makin memberi Briella jawaban atas kebingungan dan keterkejutan yang ada di kepalanya saat ini. Namun, suaranya tercekat di tenggorokan, untuk sekedar merespons sapaannya saja ia kesusahan.
“Aku tahu kamu pasti bingung, aku akan jelasin semuanya. Bisa kita bicara di dalam?”
“J−jadi kamu tahu semuanya? Di sini cuma aku yang nggak tahu apa-apa, padahal aku yang jadi tokohnya?” ucap Briella akhirnya. Dadanya bergemuruh hebat menahan emosi, kalau tidak sadar sedang berada di pesantren, pasti ia sudah tantrum hebat. Seorang gadis barbar seperti Briella sama sekali belum ada planning untuk menikah di usianya yang baru saja menginjak 24 tahun. Ini seperti sebuah jebakan untuknya.
“Nduk, Kenindra juga baru tahu siapa calon istrinya ya saat hari H akad.” Eyang mencoba meluruskan. Briella sudah ingin mendebat lagi, hanya Kenindra mengisyaratkan untuk berbicara berdua. Ia lebih tahu bagaimana berbicara dengan gadis manja dan keras kepala itu.
“Aku tahu ini berat buat kamu, eyang-eyang kita hanya ingin mengusahakan yang terbaik untuk semuanya. Aku bisa menjelaskan pelan-pelan semua yang ingin kamu tahu, “ terang Kenindra pelan, setelah mereka mengambil tempat yang nyaman untuk berbicara berdua, yaitu di dalam sebuah rumah bergaya Amerika klasik yang berada di belakang ndalem. Rumah yang tak lain adalah desain dari Briella, yang dulu sempat ia rancang saat keduanya masih terlibat cinta monyet di SMA.
“Kamu dulu menghilang gitu aja tanpa ada kata-kata pamit ataupun pisah, sekarang tiba-tiba saja muncul seenaknya sebagai suami aku? Mau kamu jelaskan semuanya dari mana? Hm?” seru Briella dengan napas yang memburu. Ia tidak bisa lagi menguasai dirinya dan tentu saja masih belum bisa menerima apa yang ada di hadapannya saat ini. Bahkan, jilbab yang tadi pagi terpaksa ia kenakan sekarang sudah terlepas berantakan.
“Aku minta maaf, dulu saat lulus SMA, Wyang langsung memboyongku ke Kairo. Aku kuliah di sana dan baru kembali ke Indo setahun lalu. Saat itu juga awal aku kenal eyang kamu.” Kenindra terus sabar menjelaskannya. Ia sadar betapa dulu sangat menyakiti Briella.
Perlahan tangan Kenindra terulur untuk membantu merapikan jilbab yang Briella kenakan. Hal itu membuat jantung Briella berdebar kencang, darahnya berdesir hebat. Pria cinta pertamanya, yang sempat memorakporandakan hatinya dulu, kini kembali dalam wujud seorang ustaz muda penuh kharisma, bahkan statusnya adalah seorang suami sekarang.
Kenangan masa SMA menyeruak dalam benak Briella. Kenangan tentang cinta monyet yang manis, tentang janji-janji yang terucap di bawah langit senja, dan tentang perpisahan yang tiba-tiba dan menyakitkan saat Kenindra harus pergi ke Kairo. Selama bertahun-tahun, ia selalu bertanya mengapa Kenindra tak pernah menghubunginya lagi.
Ternyata, takdir memiliki rencana yang jauh lebih manis. Eyang, dengan segala kebijaksanaannya, telah merajut kembali benang cinta yang sempat terputus. Pernikahan yang awalnya terasa seperti paksaan, kini terasa seperti jawaban atas kerinduan yang selama ini terpendam dalam dada keduanya.
Hari-hari berlalu perlahan. Kenindra tidak memaksa Briella untuk segera menerima pernikahan ini. Ia memperlakukannya dengan penuh sayang dan pengertian. Mereka mulai nyaman untuk berbincang tentang banyak hal, kecuali masa lalu mereka. Kenindra menceritakan tentang kehidupan pesantren, tentang adab dan ilmu dasar di sana dan banyak hal baru yang Briella tahu.
Briella seperti memasuki dunia baru dalam hidupnya, suasana sepi dalam dirinya, hiruk pikuk kota dengan seabrek aktivitas padatnya kini berubah menjadi suasana hangat, tenang, dan penuh kebersamaan.
Dan, yang paling terpenting, Kenindra menjelaskan bab Ramadan dengan segala hal sakral di dalam Islam. Membuka hati Briella untuk mulai meresapi dan menjalani Ramadan sebagai bulan yang sangat mulia, bukan hanya perihal puasa menahan lapar.
Untuk pertama kalinya Briella berbuka bersama, berada dalam satu meja makan yang dihuni oleh enam orang. Semuanya saling membantu menyiapkan buka puasa bersama dan saling bercerita banyak hal sebelum mulai makan, sungguh visualisasi dari cerita-cerita Ramadan yang biasa hanya Briella dengar dari teman-temannya.
Ramadan tahun ini menjadi Ramadan yang berbeda bagi Briella. Ia tidak lagi sendiri. Ada keluarga baru dan Kenindra di sisinya, bukan hanya sebagai seorang suami, tetapi juga sebagai cinta pertamanya yang selalu ada di hati. Mereka sahur bersama dengan santri-santri pesantren, berbagi hidangan berbuka yang sederhana, tetapi penuh kehangatan, dan mengikuti tadarus bersama di masjid. Briella akhirnya merasakan kehangatan Ramadan yang selama ini hanya bisa ia bayangkan.
Eyang tidak hanya mengembalikan seseorang yang penting dalam hidupnya. Beliau juga memberikan Ramadan yang sangat berarti.
***
Tentang Penulis
Saraswati atau banyak yang lebih mengenalnya dengan panggilan Yazh. Perempuan kelahiran Purbalingga yang berzodiak Aquarius ini sangat menyukai senja. Ia sudah menyukai dunia literasi sejak SMA, tetapi baru mulai berani memublikasikan karyanya pada akhir 2023, yaitu menulis fiksi di sebuah platform novel online. Kalian bisa berkunjung di akun Instagram-nya @yazh_arsakha.
Posting Komentar