[CERPEN] Safar dan Teman dari Surga
![]() |
ilustrasi muslimah (pexels.com/Cedric Fauntleroy) |
“Assalamu’alaikum warahmatullah …. Assalamu’alaikum warahmatullah ….” Salat Zuhur selesai aku tunaikan. Musafir begini, aku selalu membawa sajadah kecil dan mukena terusan putih favoritku. Bekas air wudu yang sempat menyejukkan kulit dan sebagian kepala perlahan lenyap.
Gerah, asli gerah …. Hawa pendingin ruangan tidak sampai ke belakang musala tempatku bersandar di tembok. Sejujurnya kalau ini bukan hari Jumat, aku lebih suka menempuh jarak lebih ke masjid kampus. Berusaha mengalihkan perhatian, tanganku sudah membuka aplikasi Al-Qur’an Kemenag yang direkomendasikan guru ngajiku.
“Ugh …,” Tenggorokanku tercekat. Lidahku kelu, mataku hanya bisa menatap sayu baris pertama halaman baru itu. Rasa hati ingin melanjutkan membaca Surah Yusuf, apalah daya, dahaga segera menyergap!
Duh! Mokel nggak, ya?
Iya, deh. Udah nggak kuat aku, haus banget!
Nggak! Nanggung, emang mau puasa bedug?
Iya ….
Nggak!
Eh, tapi katanya Mama aku nggak apa-apa mokel. Kan, aku termasuk musafir….
Celingukan, aku berusaha mencari sesuatu yang biasanya bertengger di teras musala. Nihil, tanganku refleks menepuk jidat. Sial! Aku membodohi diri sendiri dengan harapan palsu. Tubuhku semakin lemas terkulai, pasrah ditopang tembok bagian belakang musala.
Bro, ini kan puasa! Ya kali, ada air galon nangkring! Palingan pengurus musalanya juga udah mudik!
Kantuk dan lelah mulai melingkupiku. Mataku terpejam, berusaha tidur sejenak. Namun, derap kaki dan suara mahasiswi lain yang salat membuat istirahatku tidak begitu pulas. Dahiku berkedut-kedut. Pusing, capek, lemah, letih, lesu … lengkap udah penderitaanku!
Semakin gelisah, aku melirik jam di ponselku secara berkala dalam kurun waktu 30 menit. Ragaku sempat terhuyung begitu bangkit. Sensasi puasa di tengah cuaca yang terik nan membakar ini begitu menantang untukku yang terbiasa dengan rindangnya Malang.
***
Tap-tap-tap!
“Mbak Anastasya, ya?” sapa Bapak Ojol itu dengan ramah di gerbang masuk sepeda motor. Aku mengangguk.
“Bapak putar balik aja dulu, biar lebih mudah, Pak,” kataku tenang. “Nanti rutenya lewat jalan di depan gerbang paling pojok dekat Bank BNI itu, ya, Pak.”
Sepeda motor mulai melaju. Pandangan mataku menelusuri jalan ini dengan saksama. Jalan kenangan saat aku masih menjadi mahasiswa baru. Iya, tak salah lagi! Masih ada swalayan, sudah bertambah area perumahan juga.
“Nah, dekatnya minimarket itu, Pak. Yang banyak motornya,” ucapku lantang sambil menunjuk dengan tanganku. Sepeda motor perlahan berhenti dan aku bernapas lega. Akhirnya sampai lagi aku di tempat ini setelah beberapa bulan.
“Sebenarnya, saya kalau nggak puasa dari kampus bisa aja jalan, Pak. Berhubung puasa, saya nggak kuat,” begitu turun dan menyerahkan uang pembayaran, aku berbagi sedikit rasa penatku dengan Bapak Ojol itu.
“Iya, Mbak. Lumayan jaraknya soalnya ….”
Lengkingan suara motor itu terdengar semakin menjauh. Aku menatap lekat rumah sewa yang menjadi basecamp Komunitas Pemuda Muslim yang lekat dengan mural pada dindingnya. Terpampang jelas grafiti Al-Aqsa yang terlihat gagah dan keren itu. Sudah dua tahun aku mengenal perkumpulan ini.
“Assalamu’alaikum, saya mau ambil hadiah,” kataku di depan pintu. Terlihat mas-mas sedang menghitung dan menyiapkan stok untuk bagi-bagi makanan gratis yang akan dilaksanakan setelah salat Asar nanti. Mungkin kalau bukan karena menang kuis series Restu itu, aku tidak membayangkan aku bisa berada di tempat ini lagi.
“Wa’alaikumussalam … oh, Mbak Tasya, ya?” Salah satu mbak yang anggun dengan hijab merah mudanya menghampiriku.
“Bener, Mbak. Saya jauh-jauh dari Lawang ke sini, habis ada acara di kampus.”
Tidak ada yang menyangka bahwa basecamp yang masih berdiri dengan segala aktivitasnya ini terancam terhenti operasionalnya akhir September lalu karena biaya sewa yang naik hampir dua kali lipat. Masih jelas dalam ingatanku, aku begitu panik mendengar kabar H-7 pelunasan dan berusaha menyelamatkan tempat ini melalui tulisan blog dan menginisiasi kampanye daring via Instagram. Alhamdulillah, beberapa komunitas kepenulisan yang aku hubungi bersedia mengulurkan tangan juga. Setidaknya, hingga 2027 tempat ini masih bisa menjalankan kegiatannya.
Ragaku mengikuti mbak berhijab merah muda itu. Memang, Komunitas Pemuda Muslim ini menempati rumah sewa ukuran standar. Namun, fasilitasnya sudah dilengkapi dengan masjid, tempat wudu, dapur, toilet, ruang produksi konten, kantor, perpustakaan, kafe, dan gerai ayam cepat saji. Begitu menakjubkan dampak yang dihasilkan dari basecamp ini: mulai dari tempat nongkrong anak muda, ngaji, konseling, hingga beribadah.
“Gimana rasanya ketemu salah satu pemerannya? Kayak ketemu artis beneran, nggak?” tanya mbak berhijab merah muda itu dengan senyuman manis. Laki-laki yang baru saja mengabadikan momen penyerahan hadiah itu memang salah satu pemeran dalam series tersebut.
“He=he … iya, Mbak,” jawabku sekenanya sambil berusaha menjaga jarak untuk menghormati salah satu brand ambassador komunitas itu. “Maaf banget ya, Mbak … saya nggak bisa ikut bagi-bagi makanan gratis soalnya harus cepet-cepet pulang, takut dicariin ortu.”
“Iya, nggak apa-apa. Oh, iya. Saya juga lulusan situ. Baru wisuda tahun lalu, bulan Oktober.”
Mataku terbelalak begitu mbak berhijab merah muda itu menyebutkan jurusannya. Bentar, kok sama kayak jurusanku?
Benar! Mbak tersebut adalah kakak tingkat yang sejurusan denganku! Suasana mendadak heboh. Aku sampai hampir terduduk di lantai, tenggelam dalam perasaan mendebarkan yang muncul begitu saja. Namun, kami seperti terkoneksi dan saling menemukan satu sama lain dalam momen itu. Namanya juga sejurusan.
“Kalau mau balas dendam, nggak apa-apa, kok!” seloroh salah satu mas yang sedang istirahat dari proses packing paket makanan gratis. Aku tertawa pelan, berusaha memproses kejutan yang disiapkan Allah padaku ini. Gini banget, ketemu sama kakak tingkat yang angkatannya dulu ngospek aku…. Nyatanya udah lama satu komunitas. Untuk menjaga privasi, mari kita sebut saja beliau Mbak Aurel.
“Mbak Aurel, boleh saya lihat perpustakaannya? Katanya raknya ada yang dimakan rayap?” Aku berusaha mengalihkan ke hal lain yang membawaku kesini. Sebagai mantan ketua perpustakaan kelas semasa SMA, pemerhati literasi, dan penulis, tentu aku harus memastikan kabar menyedihkan itu dengan mata kepalaku sendiri.
Perpustakaan kecil tersebut sekilas masih sama seperti sebelumnya. Salah satu rak sudah berganti ke rak besi, sedangkan rak yang lainnya masih bercat putih dan terbuat dari kayu. Bagi orang biasa, mungkin ini pemandangan yang wajar. Namun, untukku yang pernah mengunjungi perpustakaan ini sebelumnya … jelas ada yang perlu dibenahi.
“Yang ini, Dek, yang raknya masih ada rayapnya.” Mbak Aurel menunjuk rak putih kayu itu. Aku manggut-manggut dan meminta izin untuk mengambil foto kondisi terkini perpustakaan tersebut.
“Oh iya, Mbak. Kalau yang rak besi ini seperti yang ada di ruang baca fakultas kita dan rak putih kayunya kayak yang ada di perpustakaan pusat. Sebenarnya bisa dikasih penahan buku dari besi biar nggak nyentuh raknya. Jadi bukunya diminimalisir dari rayap,” ujarku, memberikan saran dari pengalamanku.
Selama perjalananku keluar basecamp, aku juga bercerita tentang berbagai struggle. Mbak Aurel menyemangatiku dan meyakinkanku bahwa semuanya pasti terlewati. Matanya berkilat-kilat, kata-katanya menggetarkan hatiku. Sembari berpamitan, aku mengucapkan salam perpisahan juga terima kasih kepada beliau dan kakak-kakak yang lain.
Bus yang membawaku dari Terminal Bungurasih ke Pasar Lawang menjadi tempatku merenung. Kalau Mbak Aurel bisa, insyaaallah aku juga bisa. Mungkin selama ini Allah masih ngasih aku kesempatan bukan karena kesulitanku, tapi karena amal kebaikanku di masa lalu dan doa keluarga juga orang-orang yang peduli sama aku. Rasanya di bulan Ramadan ini, Allah mau nunjukin kalau pahala jariyah is real….
“Assalamu’alaikum,” ucapku dengan suara lebih pelan dari biasanya. Kutemukan Mama dan adikku sedang memasak di dapur. Akhirnya, aku sampai juga di rumah.
Kira-kira, petualangan apa yang menantiku di safar selanjutnya?
***
Tentang Penulis
Anastasya Pratiwi senang bisa menyapa kamu lewat karya ini! Rutin upload di blog dan medsos sejak SMA,\ muslimah introver yang merasa hidupnya hambar kalau belum berkarya ini berharap buah pikirnya bisa bermanfaat bagi para pembaca. Tasya bisa dihubungi melalui Instagram @tasyasays dan e-mail: itstasyasays@gmail.com.
Posting Komentar