[CERPEN] Satu Hari Setelah Kau Pergi
![]() |
ilustrasi perempuan bersedih (pexels.com/RDNE Stock project) |
Di tengah kerumunan orang melayat, terlihat seorang wanita paruh baya sedang menatap liang lahat. Sekilas, aku merasakan keikhlasan yang luar biasa dari tatapannya. Tatapan itu membuatku semakin mengecil. Lamat-lamat kuperhatikan gerak-geriknya sampai pemakaman ini tak terasa sudah selesai. Beliau kini bersimpuh tepat di sebelah batu nisan Almarhum. Tangannya membelai lembut batu nisan seolah itu adalah wajahnya. Aku hanya bisa mengamati dari jauh, merasa tak pantas untuk mendekat. Hubungan kita... entahlah, apa artinya bagiku?"
Langit mulai berganti warna, diiringi bayangan panjang di atas tanah pemakaman yang basah. Orang-orang sudah beranjak pergi, menyisakan gundukan tanah merah yang masih basah. Dengan langkah bergetar aku berjalan menuju wanita paruh baya itu. Seolah takut mengganggu kesunyian yang sakral ini, aku hanya diam membeku di sisi pusaranya. Wanita itu kemudian menoleh, matanya berkaca-kaca, tapi tatapannya lembut. "Siapa kamu, Nak?" tanyanya dengan suara serak.
"Saya... saya teman beliau," jawabku, dengan suara tercekat. "Saya hanya ingin mengucapkan selamat tinggal."
Wanita itu mengangguk, lalu kembali menatap nisan. "Ketahuilah, dia sosok yang sangat berharga"
Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. "Saya... saya juga merasa kehilangan," ucapku akhirnya, meskipun kata-kata itu terasa hambar dan tidak cukup.
"Kamu mengenalnya dari mana?" tanyanya, menatapku dengan rasa ingin tahu.
Aku ragu sejenak. "Kami... kami rekan sejawat," jawabku, menyembunyikan kebenaran bahwa hubungan kami lebih rumit dari itu. Kami pernah dekat, sangat dekat, tapi kemudian sesuatu terjadi, sesuatu yang membuat kami menjauh. Aku tidak pernah tahu bagaimana memperbaikinya, dan sekarang... sudah terlambat.
Wanita itu mengangguk lagi, seolah mengerti tanpa kata-kata. "Dia sangat bersyukur dikelilingi teman-teman yang baik," katanya.
Aku menelan ludah. "Saya... saya menyesal tidak bisa menjadi teman yang lebih baik," ucapku, dengan suara bergetar.
Wanita itu tersenyum tipis. "Jangan salahkan dirimu, Nak. Hidup memang seperti ini. Kita tidak pernah tahu kapan waktu kita tiba. Tugas kita hanyalah berusaha menjadi lebih baik setiap harinya."
Kami terdiam lagi, larut dalam kesedihan masing-masing. Aku menatap nisan itu, mencoba membayangkan wajahnya, senyumnya, tawanya. Tapi yang terbayang hanyalah kekosongan, lubang yang menganga di hatiku. Hubungan kita... entahlah, apa artinya bagiku? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku akan merindukannya. Jikalau waktu bisa diputar aku enggan mengenalnya supaya aku tak pernah merasakan kehilangan dengan melebihi hidupku sendiri.
Matahari hampir terbenam, mewarnai langit dengan warna jingga dan ungu. Wanita itu berdiri, membelai nisan sekali lagi, lalu berbalik dan berjalan pergi. Aku mengikutinya, tanpa tahu ke mana kami akan pergi, atau apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang aku tahu, aku tidak ingin sendirian. Tidak malam ini.
Aku berhenti mengikuti Wanita Paruh Baya itu setelah Ia masuk ke dalam rumah. Dalam hati ingin rasanya menjadi bagian dari keluarga itu. Namun Aku hanyalah seseorang Anak Perempuan yang diberi suka cita sekaligus duka dan nestapa semasa hidupnya dan setelah kepergiannya.
***
TENTANG PENULIS
Yeni, Mahasiswa Semester 2 jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Suka genre angst dan penggemar karya kak Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie.Terus semangat kuliah (walaupun tidak suka matkul Morfologi) dan belajar menulis.
Posting Komentar