[CERPEN] Siluet di Tengah Keramaian

Daftar Isi
ilustrasi sibuk (pexels.com/DSD)

Kota itu tak pernah benar-benar tidur. Dentuman laju kereta, deru mesin mobil yang saling serobot di persimpangan, dan riuh rendah suara manusia yang berlarian mengejar waktu. Semuanya menyatu menjadi simfoni monoton yang mengisi setiap sudut metropolitan. Di antara gedung-gedung pencakar langit yang memantulkan cahaya neon, Raka berjalan seperti biasa, tas kerja hitam tergenggam di tangan kanan, mata tertuju pada trotoar yang dipenuhi bayangan orang-orang lalu lalang. Ia bagian dari keramaian, tapi selalu merasa seperti siluet: hadir, namun tak pernah benar-benar terlihat.  

Setiap pagi, Raka melewati rute yang sama. Dari apartemen sempitnya di lantai 7, turun menggunakan lift yang sesak dengan aroma parfum dan kopi, lalu berjalan kaki lima menit ke stasiun MRT. Di kereta, ia menjadi satu dari puluhan kepala yang menunduk, mata terpaku pada layar ponsel. Kadang, ia bertanya pada diri sendiri: Apakah ada yang akan menyadari jika ia menghilang besok? Tapi pertanyaan itu selalu tenggelam dalam gemuruh roda kereta yang melaju cepat.  

***

Perasaan terasing itu mulai menggerogoti Raka sejak setengah tahun lalu. 

Saat itu, acara meeting kantor, seorang rekan kerjanya tiba-tiba menyapanya “Kamu tipe orang yang mudah dilupakan, ya?” 

Kalimat itu diucapkan sambil tertawa, tapi seperti pisau yang mengiris tipis jiwanya. 

Sejak itu, ia mulai memperhatikan betapa jarang orang mengingat namanya, betapa mudahnya kehadirannya berlalu begitu saja di tengah badai kesibukan. Di dunia yang menuntut setiap orang bersinar, Raka merasa seperti bayangan yang tersembunyi di balik cahaya terang.  

Malam itu, setelah pulang kerja, ia tidak langsung pulang. Raka memutuskan berjalan kaki lebih jauh. Kakinya menuntunnya ke taman kota yang sepi, jauh dari keriuhan kota. Di bangku kayu yang lapuk, duduk seorang remaja dengan jaket hoodie merah. Wajahnya tertutup debu, tapi matanya tajam seperti elang. 

“Boleh numpang duduk?” tanya Raka. Remaja itu hanya mengangguk.  

“Lo nggak takut sama gue? Kata orang-orang, gue ini preman,” ujar remaja itu tiba-tiba, suaranya parau.  

Raka mengernyit. “Kamu bukan preman. Cuma… kesepian. Kayak aku.” Entah mengapa Raka tiba-tiba saja berucap demikian.

Remaja itu terdiam, lalu tertawa getir. 

“Gue lari dari rumah setahun lalu. Ortu mau gue jadi dokter, tapi gue lebih suka nge-rap di jalanan. Sekarang, mereka bahkan nggak mau lihat gue.”  

Dialog singkat itu menghentak Raka. Berapa banyak orang yang terpaksa menjadi ‘siluet’ hanya karena tak sesuai ekspektasi orang lain? 

***

Pertemuan-pertemuan tak terduga terus terjadi. Suatu hari, di kedai kopi dekat kantor, Raka bertemu seorang wanita paruh baya bernama Bu Tari. Saat hendak membayar, tak sengaja Raka melihat foto dalam dompet wanita itu. Foto seorang gadis muda dengan seragam perawat. 

“Ini saya 30 tahun lalu,” katanya dengan senyum muram. 

“Dulu saya perawat, tapi setelah suami meninggal, keluarga minta saya jual warung. Kata mereka, jadi ibu rumah tangga lebih terhormat,” lanjut wanita itu.

Raka hanya mengangguk. 

Di halte bus, Raka juga berbincang dengan seorang pria bernama Farid, karyawan bank yang selalu tersenyum lebar. 

“Setiap malam, saya minum obat antidepresan,” kata Farid tiba-tiba. 

“Di kantor, saya harus jadi ‘si periang’, padahal…” Ia tak menyelesaikan kalimatnya.  

Setiap cerita itu seperti cermin retak yang memantulkan potongan diri Raka. Ia mulai sadar: di kota yang mengagungkan kesempurnaan ini, banyak orang menyembunyikan luka di balik senyuman.  

***

Puncaknya terjadi di suatu Senin pagi. Saat berjalan ke kantor, Raka melihat seorang anak perempuan berusia lima tahun menari di tepi jalan. Ia melompat-lompat, mengejar bayangannya sendiri di bawah sinar matahari, tertawa renyah seperti gemerincing lonceng. Beberapa orang meliriknya aneh, tapi si anak tak peduli. Raka justru terpana: Kapan terakhir kali ia merasa sebebas itu?

“Maaf, Bang! Neng mau jadi penari!” seru si anak tiba-tiba, lalu berlari menghampiri seorang wanita yang sedang berjualan kue. 

Raka terdiam. Dalam kebebasan polos anak itu, ia melihat refleksi dirinya yang paling jujur: keinginan untuk menari di tengah dunia yang memaksanya berdiri kaku.  

***

Malam itu, Raka membuka lemari lama di apartemennya. Di balik tumpukan kertas laporan kantor, tersembunyi buku sketsa berdebu. Halamannya dipenuhi gambar-gambar abstrak yang ia buat semasa kuliah, coretan liar tentang laut, hutan, dan wajah-wajah tanpa mata. Jari-jemarinya gemetar memegang pensil. Untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, ia menggambar lagi.  

Garis-garis hitam di atas kertas itu perlahan membentuk siluet: wajah remaja hoodie merah, kerut wajah Ibu Tari, senyum palsu Farid, dan tawa anak penari. Di sudut kanan, Raka menulis, “Kami mungkin bayangan, tapi bayangan hanya ada ketika ada cahaya.” 

***

Kini, setiap akhir pekan, Raka duduk di sudut taman kota yang sama. Di depannya, buku sketsa terbuka. Orang-orang mulai berhenti, mengamati, bertanya. Ada yang bercerita, ada yang diam. Seorang nenek bahkan menangis saat Raka menunjukkan sketsa wajahnya. “Persis seperti almarhum suami saya menggambar,” bisiknya.  

Raka tetap bekerja di kantor, tetap berdesakan di MRT, tapi rasanya tak lagi sama. Ia tak lagi peduli apakah orang mengingat namanya. Yang ia tahu, setiap garis yang ia gambar adalah suara yang akhirnya keluar dari bisu. Di tengah kota yang terus berlari, Raka telah menemukan cara untuk berhenti, dan dalam diam, ia mulai mendengar gemuruh cerita-cerita lain yang selama ini tersembunyi.  

Di suatu senja, saat matahari memantulkan siluet ribuan orang di trotoar, seorang wanita muda mendekati Raka. 

“Gambar-gambar ini buatanmu?”

Raka mengangguk. 

“Sangat indah,” katanya sambil menunjuk sketsa wajah-wajah di buku itu.  

Raka tersenyum dan berkata, “Ini bukan hanya tentang aku. Ini tentang kita semua.”  

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa bayangannya sendiri tak lagi gelap.

***

TENTANG PENULIS

Desinta Mega merupakan seorang pengajar serabutan sekaligus content writer. Saat ini tergabung dalam komunitas Kawan GNFI dan Ufuk Literasi. Beberapa artikelnya telah dimuat di berbagai media daring. Tertarik menulis fiksi karena gemar mengamati kondisi kanan-kiri.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar