[CERPEN] Tuhan, Aku Pulang!

Daftar Isi
ilustrasi sebuah sajadah (pexels.com/Arif Syuhada)

Malam sudah larut, saat ini aku tidur bersesak-sesak di lantai beralaskan tikar, di kamar calon pelajar bersama anak-anak lain. Aku luruskan badan, melepaskan lelah seharian melakukan perjalanan panjang. Namun, mataku belum berminat untuk tidur. Mataku sibuk menatap langit-langit kamar dan pikiran melayang entah ke mana.

Menuju ke sini tidak pernah terbayang dalam daftar wish list hidupku. Hidup yang dulu bebas hendak ke mana, bebas melakukan apa pun dan sesuka hati, sekarang lebih memilih hidup terkekang dengan berbagai aturan yang bagiku tak masuk akal. Aneh, bukan?

Sejenak aku terdiam, memikirkan kejadian beberapa minggu lalu. Perempuan itu? Mengingatnya, hatiku sejuk seketika.

***

“Ya Allah! Maaf, Mbak. Nggak sengaja,” ucapnya dengan lembut sembari membereskan air mineral dalam botol yang tumpah. Aku melihatnya dalam keadaan panik plus ketakutan. Sejenak aku terdiam, memperhatikan untaian tasbih yang masih tergenggam erat.

“Kau pikir, ini jalan nenek moyangmu?” Suara keras nan menggelegar itu mencuri perhatianku. Aku mendongak, menatap dengan intens dua preman yang menatap perempuan berhijab lebar ini dengan garang.

“Maaf, Bang. Saya perlu uang ini buat beli susu adik saya, Bang,” ucap perempuan berhijab lebar itu dengan penuh kecemasan.

“Alah! Kau pikir kami juga tak butuh uang?” Tak henti-hentinya gerakan tangan bak orang meminta-minta itu.

“Kerja dong, Bang!” Suaraku yang keras menghentikan aksi tangan sang preman tersebut. Ia pun menatap diriku dengan senyum miring terukir.

“Gadis manis! Sering-sering lewat sini, ya!” Preman itu pun mencolek pipi kananku dengan entengnya.

Aku terkejut saat pipiku dicolek seenak jidatnya. Mataku menyala, kedua tanganku terkepal kuat dengan kemarahan yang tak terkendali. Dengan gerakan cepat, aku memukul preman itu tepat di hidungnya.

Bugh!

Perempuan berhijab lebar itu memelotot kaget.

“Berani Abang menyentuh saya, habis Abang di tangan saya!” Mataku pun memelotot garang bagai elang hendak menelan hidup-hidup mangsanya.

“Bangsat!” teriak preman itu tak terima. Aku yang mendengar hanya tersenyum sinis. Terbiasa di sarang preman, tak pernah diriku dilecehkan seperti ini. Namun, apa sekarang? Mereka hanya sampah masyarakat yang berani menginjak harga diriku.

Preman itu mengangkat kaki, hendak menerjang diriku. Namun, dalam sekejap aku langsung menangkisnya dan dalam hitungan detik tak terbaca, aku membalas dengan tendangan tepat mengenai ulu hati preman itu hingga ia terjatuh.

Perempuan berhijab lebar itu panik. “Mbak, a−” Belum selesai perempuan berhijab itu mengucapkan kalimatnya, bola matanya membulat sempurna. Apa yang dilihatnya? Preman itu tersungkur ke aspal?

Semua orang mulai berkerumunan, mencegah aksi preman yang meresahkan itu walau sedikit ragu. Mereka bukan takut pada preman itu, melainkan pada pemimpinnya. Suasana yang tadinya tenang, berubah jadi tegang dan ribut.

Sementara itu, wajah preman itu sudah merah padam disertai tetesan darah di hidung. Melihat itu, hatiku tak tersentuh sedikit pun. Dadaku masih terengah-engah dengan mata yang masih merah membara.

“Awas kau!” Preman itu menunjukku garang. Aku balas acuh tak acuh sembari melihatnya berlalu pergi.

“Mbak nggak apa-apa, kan?” tanya perempuan berhijab itu. Terpancar aura penuh kasih sayang di raut wajahnya.

Semua yang datang menanyakan keadaanku. Setelah memastikan aku baik-baik saja, semua bubar satu per satu dan tak henti-hentinya mereka mengumpat akan keberadaan preman meresahkan itu.

“Nggak apa-apa, Mbak. Sudah biasa aku,” jawabku seadanya. Toh, memang tidak ada yang sakit ataupun berdarah.

“Maaf ya, Mbak. Gara-gara aku, Mbak jadi begini,” ucap perempuan berhijab itu lagi.

“Udah, nggak usah dipikirkan. Mau ke mana?” tanyaku mengalihkan pembicaraan.

“Mau ke pengajian bentar, Mbak. Jam segini ada tausiah dekat masjid sana.” Perempuan itu mengarahkan jari telunjuknya di seberang jalan dan benar, aku melihat rumah Allah itu berdiri kokoh di sana.

Deg!

Aku terdiam, ada sesak yang menjalar di sekujur badan, ada sesuatu hal yang menyentuh sanubari. Aku sadar itu apa, tetapi apa aku layak ke rumah-Nya yang suci?

“Terima kasih sudah menolongku ya, Mbak. Maaf aku merepotkanmu, Mbak.” Ucapan perempuan itu yang langsung mengusir lamunanku.

Kami pun berbincang-bincang sejenak sembari melangkah ke rumah Allah itu. Namun, langkahku terhenti di teras masjid dengan alasan ada keperluan.

***Malam semakin larut, tetapi mataku tak kunjung terpejam. Sebentar lagi mau memasuki bulan suci Ramadan. Aku memilih membentuk diri di rumah tahfiz ini selama bulan puasa. Aku ingin merasakan hidayah setelah sekian lama tak tentu arah di dunia yang fana ini.

Perempuan sepertiku yang terbiasa merokok, mabuk-mabukan, suka berantem dalam menyelesaikan masalah, apa masih bisa mendapat hidayah di bulan yang penuh berkah ini? Apa aku bisa mendapatkan pintu maaf-Mu, ya Rabb?

Pelan, tetapi pasti, aku terbuai ke alam mimpi.

Keesokannya, pagi-pagi sekali, masih dalam keadaan mata setengah sadar, aku sudah bangun dan bergegas ke musala untuk melaksanakan salat Subuh berjemaah.

Seketika, aku terdiam di teras musala. Apa aku pantas? Yang aku tahu, Allah Maha Pemaaf, itulah yang membuatku berada di sini, tinggal bagaimana aku kuat dan tidak goyah dalam menggapai rida-Nya. Aku merasa sangat bersyukur atas kesempatan yang telah diberikan kepadaku untuk memperbaiki diri dan mendekatkan diri kepada-Nya.

Aku ingat akan perkataan-Nya dalam Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqarah: 173). Aku merasa bahwa Allah selalu memberikan kesempatan kepada hamba-Nya untuk memperbaiki diri dan kembali kepada-Nya.

Aku berusaha untuk kuat dan tidak goyah dalam menggapai rida-Nya. Semoga aku dianugerahi kekuatan dan kesabaran dalam menjalani hidup ini. Aku juga akan berusaha untuk melakukan amal-amal baik dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang buruk di masa lalu.

Aku percaya bahwa dengan kesabaran dan kekuatan, aku dapat menggapai rida-Nya dan menjadi hamba yang lebih baik. Aku juga percaya bahwa Allah selalu bersama dengan hamba-Nya yang beriman dan beramal saleh.

Aku terus melangkah memasuki rumah Allah yang suci. “Tuhan, aku pulang,” ucapku dalam hati saat membuka pintu musala pertama kali.

***

Tentang Penulis

Salmiati lahir di Padang. Hobi dari kecilnya membaca dan saat ini sedang belajar menulis. Jika ingin mengenal lebih jauh tentang penulis, silakan berkunjung ke media sosialnya. FB: Salmiati, IG: salmiati_hasa

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar