[CERPEN] Zahir dan Zahra

Daftar Isi
ilustrasi adik dan kakak (pexels.com/Ferdy Jayadi)

Langit mulai menggelap. Suara kumandang azan sudah terdengar  dari segala arah. Waktu magrib telah tiba. Beberapa orang pergi ke masjid terdekat dan beberapa orang sudah siap menyantap makanan di hadapannya. 

Seperti Zahir dan Zahra. Mereka kakak beradik yang tinggal di sebuah rumah kumuh di pelosok kampung pinggiran kota, dengan jendela yang ditutup oleh kain dan atapnya yang sudah berlubang.

“Widih … Kakak dapet ayam goreng ini dari mana? Kakak nyuri, yaaa?” tuduh Zahra pada kakaknya dengan setengah terkejut.

“Apa sih kamu ini, ngomong sembarangan. Udah tau Kakak kerja, malah dituduh nyuri. Udah cepet makan aja, kalo nggak mau biar Kakak yang habiskan.” Zahir mengambil semua ayam goreng di plastik itu, tetapi Zahra menepisnya dan merebutnya. Kemudian, ditaruhnya di piring makannya.

Zahir dan Zahra hanya hidup berdua. Mereka berasal dari panti asuhan, tetapi di saat dia diadopsi, mereka malah tertipu oleh orang tua angkat dan dijadikan budak. Lalu, mereka kabur dan tinggal di rumah kosong di salah satu kampung yang sangat terpencil dari pusat kota ini. 

Zahir sebagai seorang kakak bekerja serabutan di kampung tersebut. Namun, Zahra tidak tahu apa sebenarnya yang dikerjakan Zahir karena yang dia tahu, kampung ini hanya tempat tinggal para preman pasar. Zahra takut kakaknya diajak melakukan hal-hal yang salah akibat lingkungannya.  

Zahir dan Zahra adalah anak kembar. Mereka baru berusia 15 tahun yang seharusnya bersekolah, tetapi malah harus bertarung dengan waktu demi mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri. Zahra hanya berdiam diri di rumah itu, menata barang yang perlu dibereskan. Dengan rumah seadanya seperti rumah peninggalan korban banjir, karena tembok rumah selalu terlihat sangat kotor, Zahra jadi selalu ingin membersihkannya. 

Di bulan Ramadan kali ini Zahra banyak melamun karena dia jadi merindukan suasana di panti tahun lalu. Dia bisa sekolah, memiliki banyak teman, bahkan tidak perlu bersusah payah seperti ini. Di sana, dia bisa bermain sambal mengasuh adik-adik yang ada di panti itu, sedangkan Zahir biasanya pergi bersama Pak Haji untuk belajar mengaji dan hal-hal positif lainnya. 

“Kak, kenapa kita nggak kembali ke panti?” tanya Zahra saat mereka berjalan beriringan pulang dari salat Tarawih. 

Yang pergi ke masjid hanya sedikit, bisa dihitung jari. Kebanyakan dari mereka hanya menongkrong di sebuah pos dan bermain kartu, berjudi, hingga meminum alkohol. Terkadang Zahra bergidik takut melihat mereka hingga tidak berani keluar rumah sendiri tanpa Zahir.

“Kalau kita ke panti, pasti orang-orang jahat itu bisa kembali ngambil kita, Ra,” jelas Zahir.

“Kita bisa bilang ke Pak Haji atau Bu Ratna, Kak. Kita ceritain gimana mereka memperlakukan kita.” 

“Kita cuma anak kecil, Ra. Zaman sekarang kita nggak bisa semudah itu berbicara tanpa ada bukti. Gimana kalau orang jahat itu menuntut kita? Kamu tau sendiri gimana berpengaruhnya dia di kota ini. Kakak takut itu sampai terjadi.” Zahir kembali memberi tahu Zahra. Zahra hanya mengembuskan napas kasar.

“Yang sabar dulu ya, Ra. Kakak bakal usahain semuanya buat kita. Semoga di Idulfitri nanti, kita bisa pindah dari kampung ini. Kakak ada rencana mau tinggal di kota.” 

Zahra tertawa mendengar itu. “Kak Zahir ada-ada aja. Kita baru berusia 15 tahun, emang bisa begitu? Lagian aku penginnya baju baru, Kak. Masa Hari Raya nanti kita pake kaos partai gini terus, nggak ada fashion-nya.”

“Ah, kamu mah, Dek. Aamiin-in aja dulu kali, baju mulu yang kamu omongin dari kemarin. Nanti juga kebeli. Tenang aja, besok Kakak juga kerja.”

“Kak, aku takut tau,” ucap Zahra, membuat Zahir menatapnya.

“Takut kenapa?”

“Kakak nggak kebawa sama lingkungan kampung ini, kan? Kerjaan masyarakat kampung ini tuh pada main judi, terus kadang maling juga. Kakak nggak kebawa gitu, kan?” 

“Astagfirullah, Zahra, kamu itu suuzan sama Kakak. Mana mungkin Kakak lakuin itu, memberi makan kamu dengan uang haram, nggak berkah itu, Ra.” 

Zahra hanya mengagguk mengiakan.  

Hari ke hari mulai berlalu, seminggu lagi hari Lebaran. Zahir menghitung tabungan uang selama dia bekerja. Dia tersenyum sambil melihat uang yang ada di tangannya. Dia bersyukur sekali bisa mendapatkan uang hasil kerja sendiri, apalagi di usianya yang masih remaja. Dia tidak pernah mengeluh atas apa yang terjadi padanya. Dia selalu melihat sisi baiknya. 

Dia bersyukur masih bisa bekerja halal di dalam lingkungan yang kebanyakan orang-orang menganggur dengan banyak gaya atau orang-orang dewasa yang sudah punya tanggung jawab yang malah bermain judi, yang berakhir petaka dengan hartanya juga keluarganya. 

Dan, Zahir juga tidak lupa bersyukur karena diperkenalkan dengan orang baik yang memberinya pekerjaan. Di balik banyaknya orang berpendidikan ramai-ramai mencari pekerjaan. 

“Kak, ayo kita berangkat beli baju baru!” ajak Zahra dengan antusias.

Zahir menggeleng sejenak sambil tersenyum. Kini dia merasakan kedewasaan mulai ada pada dirinya setelah nasib buruk yang menimpanya. Kini dia sangat senang bisa membelikan apa yang diinginkan adiknya. 

“Tapi jangan yang mahal, ya, kita tabung uangnya buat beli rumah, Ra,” ucap Zahir, membuat Zahra mendelik.

“Iya, iya, Kak, ayo cepet! Aku doain setelah beli baju, kita bisa beli rumah, aamiin.” Zahra setengah berteriak menyebutkan doanya dengan semangat, membuat Zahir terkekeh geli. 

Tiba-tiba suara pintu rumah diketuk, membuat mereka berdua teralihkan ke sumber suara itu. “Siapa, Kak?” tanya Zahra, membuat Zahir berdiri dari duduknya dan membuka pintu rumah yang jauh dari kata sempurna karena sudah banyak dimakan rayap. 

“Wa’alaikumussalam, iya. Ada yang bisa saya bantu, Pak?” tanya Zahir pada seorang pria bertubuh tinggi dengan baju seragam cokelat dan topi yang ia kenakan.  Beliau seorang polisi. 

Zahra melihat dari dalam ruangan, takut untuk pergi keluar. Dia bertanya-tanya dalam pikirannya, untuk apa seorang polisi ke sini. 

“Apa benar Adek bernama Zahir?” tanya polisi itu, membuat Zahir mengerutkan dahi, berpikir apa dia pernah membuat kesalahan. 

“Iya benar, Pak, saya Zahir. Ada apa, Pak?” tanya Zahir kembali. Namun, beberapa saat kemudian, bukannya mendapat jawaban dari polisi itu, tiba-tiba Zahir dipeluk oleh seorang wanita baya yang berusia 60 tahunan.

“Zahir cucu Omah. Omah udah lama nyari kamu, Nak,” ucap wanita itu sambil menangis dan memeluk Zahir erat. 

Zahra yang dari tadi berdiam di dalam rumah, kini keluar dan bertanya pada Zahir. “Ada apa, Kak? Nenek ini siapa?” Zahir yang masih dipeluk melihat ke arah Zahra dan hanya menggeleng.

Wanita itu melepaskan pelukan Zahir, lalu menatap Zahra dengan mata yang sudah berkaca-kaca. “Masyaallah … kalian kembar? Jadi aku punya cucu kembar?” ucapnya terharu. “Ya Allah, kamu mirip sekali dengan ibumu, Nak,” ucap wanita itu seraya mengelus wajah Zahra, lalu memeluknya.

“Zahir, Zahra. Kalian nggak apa-apa kan, Nak?” 

Zahir menoleh ke depan dan melihat Bu Ratna dan Pak Haji menghampirinya.

“Pak Haji? Bu Ratna!” Zahir memeluk mereka dengan semangat dan senang bercampur aduk dalam hatinya. 

“Iya, Zahir, kami mencari-cari kamu selama 2 minggu ini. Kami takut kalian kenapa-kenapa, untungnya saja tadi ada Pak Ustaz di sini yang memberi tahu bahwa ada remaja yang tinggal di sini bernama Zahir,” jelas Pak Haji, membuat dia melepaskan pelukannya.

“Maafkan Zahir, Pak. Zahir nggak kembali ke panti. Zahir takut orang-orang jahat itu kembali membawa Zahir sama Ara ke tempat mereka.” 

“Nggak apa-apa, Zahir. Maafkan Ibu sama Bapak, ya. Kami tidak benar-benar memastikan bahwa orang itu baik atau tidak sebelum menerima permintaan adopsi terhadap kalian. Yang Ibu mau cuma kalian tumbuh menjadi orang-orang hebat. Ibu hanya melihat sisi pengaruhnya di kota ini. Ibu pikir itu akan lebih baik buat masa depan kalian nanti.”

“Sudahlah, tidak apa-apa, ya. Sekarang kami sudah menemukan keluarga kamu, Zahir, Ara. Wanita cantik ini adalah omah kalian,” ucap Pak Haji dan wanita itu tersenyum senang melihat ke arah Zahir dan Zahra.

“Kenapa bisa?” tanya Zahra yang masih bingung dengan keadaan, begitu pun Zahir. Dia masih belum yakin bahwa wanita itu adalah keluarganya.

“Dulu orang tua kalian meninggal dalam kecelakaan mobil. Sebenarnya Omah juga kaget info ini baru datang setelah belasan tahun berlalu. Mungkin waktu itu kalian masih kecil sekali, dan kebetulan Omah sedang berada di luar negeri. Saat itu Omah tidak tau bahwa Omah sudah mempunyai cucu. Karena ayah kalian tidak menyukai Omah, jadi mereka menyembunyikannya.”

“Jadi saat kecelakaan tersebut,  tidak ada yang tau keluarga korban, dan Pak Polisi ini yang menitipkan kalian di panti asuhan kami,” sambung Bu Ratna dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Zahir dan Zahra pun menangis, lalu memeluk Omah. Akhirnya, mereka menemukan keluarga mereka walaupun mereka sudah tidak bisa melihat kedua orang tua mereka lagi. 

“Nggak kerasa kalian sudah pada besar, ya. Dulu saya menemukan kalian, usia kalian masih balita, sekitar 2 tahun,” ucap polisi itu dengan tersenyum hangat.

Omah melihat sekeliling lingkungan yang ditempati oleh cucunya itu, sangat miris dan tidak layak huni. Lalu, dia melihat cucu-cucunya yang berpakaian lusuh seperti anak jalanan.  

Seminggu telah berlalu. Idulfitri pun tiba. Zahir dan Zahra mengunjungi panti. Ramai sekali anak-anak menyabutnya, tidak lupa juga Bu Ratna dan Pak Haji. Mereka terkesima melihat penampilan Zahir dan Zahra. Akhirnya, doa-doa mereka terkabul dengan sempurna,  melihat Zahir dan Zahra mendapat masa depan yang cerah. 

Kini, Zahir pun memberi sedekah kepada anak-anak panti dari hasil kerjanya sendiri. Alhamdulillahnya, Zahir diberi tanggung jawab untuk membuka usaha sendiri di sebuah kafe yang dibangun omahnya untuk Zahir.

“Alhamdulillah … doa anak salihah seperti Zahra bisa terkabul ya, Kak.”

***

Tentang Penulis

Dina Novita, perempuan yang sebentar lagi akan menginjak usia 22 tahun ini seorang yang gemar sekali menulis cerita fiksi. Kalau ada ide cerita atau mood-nya sedang bagus, dia akan menuliskan apa pun kisah untukmu. Kalau penasaran, kamu bisa mengunjungi profil Instagram-nya @hi_din95. Sapa saja dia dan mintalah cerita sebelum tidur untukmu. Terima kasih.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

2 komentar

Comment Author Avatar
Lionara
Jumat, 02 Mei, 2025 Hapus
WEH BAGUS BANGET CERITANYA!! mohon di lanjut bagus banget buat di jadiin motivasi kaya tidak ada yang tidak mungkin segala sesuatu yang sudah di tentukan oleh sang maha pencipta. aku harap semoga ini ada lanjutannya pls??
Comment Author Avatar
Anonim
Jumat, 02 Mei, 2025 Hapus
Kayaknya untuk yang ini gak ada deh, tapi masih bnyak cerpen² yang lain yang gk kalah bagus nya.. boleh tuh d baca² siapa tau cocok 🦋