[CERPEN] Alya dan Takjil Kebahagian
![]() |
ilustrasi emoji tersenyum (pexels.com/Pixabay) |
“Kamu ini bisa saja. Saya percaya, kamu akan sukses suatu saat nanti.” Tegar dan ibu pasar itu saling bertukar senyum.
Tegar adalah anak jalanan yang pekerja keras. Semua pekerjaan pasti ia lakukan. Selama tidak bertentangan dengan prinsip dan norma yang ia yakini, pekerjaan apa pun akan dilayani. Layanan jasa yang ditekuninya adalah ‘SURUH OPO AE’, merupakan jasa suruhan: mengubur bangkai hewan, mengangkat barang, mengantar makanan, membersihkan kotoran kucing, mata-matain pacar, dan sebagainya.
Bagi Tegar, hidup di jalanan tidak serta-merta menggelandang, mengulurkan tangan, meminta-minta dengan dalih belas kasih. Tegar meyakini bila menginginkan sesuatu, harus diupayakan melalui cara yang halal.
***
Hari puasa pertama. Alya menolak ketika Mama ingin menjemputnya selepas pulang sekolah. Ia mengatakan kepada mamanya bahwa sedang ingin pulang sendiri bersama teman-teman dengan bus sekolah.
“Ya udah. Hati-hati, ya. Jangan menyendiri di tempat umum. Minta tolong satpam kalau mau nyebrang. Pokoknya kamu harus tetap waspada dan jangan mudah percaya dengan orang yang enggak dikenal.” Mama Alya berpesan kepada putrinya.
“Tenang saja, Ma. Nanti Alya minta tolong sama Kakak Baik Hati.” Alya mencium tangan Mama. Mendengar itu, mama Alya sedikit khawatir.
“Siapa kakak baik hati yang dimaksud Alya,” gumam Mama sedikit khawatir.
Sesampainya di sekolah, Alya turun dari bus dan berjalan memasuki kelasnya. Ia menerobos di antara sekelompok temannya. “Hai guys, selamat pagi. Selamat menunaikan puasa pertama,” sapa Alya berteriak gembira.
“Woi, kalem, dong! Masih pagi juga,” ucap salah satu temannya.
“Alya nih, selalu saja semangat menjalani hari,” sahut teman lainnya dengan sinis.
Alya tidak menghiraukan perkataan temannya. Dengan sigap, Alya membenarkan tas di pundak, berjalan tegak ke arah tempat duduknya dan siap mengikuti pelajaran.
Tiba saatnya, bel pulang sekolah berbunyi. Suara mesin bus sudah terdengar, bersiap untuk mengantar siswa pulang. Alya memasuki bus, tatapannya langsung tertuju pada Tegar yang terlihat tengah memijat kepala supir bus. Setelah itu, Tegar menerima uang sebagai imbalan. Melihat itu, Alya menyadari bahwa manusia ternyata punya cara masing-masing dalam bertahan hidup. Beberapa anak beruntung dilahirkan di tengah keluarga yang cukup materi. Sisanya, mereka dituntut untuk terus kuat dan berjuang dalam menghidupi kebutuhannya sendiri.
***
Sore harinya, saat Alya dan mamanya mencari takjil untuk berbuka puasa, Alya kembali melihat Tegar–anak jalanan–yang ia temui tadi pagi sedang ada di depan minimarket, ia tengah memandangi banyaknya orang yang berlalu lalang, sibuk mencari takjil. Hati Alya tergerak ingin sekali memberikan Tegar sedikit takjil yang telah dibelinya bersama Mama.
“Ma, aku mau ke minimarket sebentar, boleh?” tanya Alya kepada mamanya yang masih sibuk memilih takjil untuk berbuka puasa.
“Memangnya kamu mau beli apa, Sayang?” Mama Alya kembali bertanya.
“Bukan, Ma. Tadi aku melihat temanku ada di sana, aku mau menemui dia sebentar.” Alya juga bilang ke mamanya bahwa ia ingin memberikan takjil kepada temannya. Mama mengizinkan. Alya pun mengambil satu kresek takjil miliknya dan pergi menemui Tegar.
“Kak …,” panggil Alya. “Aku mau ngasih takjil buat buka puasa Kakak.” Alya menyodorkan kantong kresek yang dibawanya kepada Tegar.
“Eh, kamu? Banyak banget.” Tegar terkejut melihat isi kresek yang sangat penuh dengan makanan.
“Nggak apa-apa, buat Kakak,” jawab Alya dengan senyumnya. Alya pun duduk di samping Tegar.
“Kakak setiap buka puasa, cuma pakai air mineral?” tanya Alya sembari melihat sebotol air mineral di samping Tegar.
Tegar menggeleng. “Aku kadang makan juga. Tapi, emang akhir-akhir ini pekerjaanku lagi sepi. Jadi, harus hemat,” jawab Tegar dengan senyum palsunya. Namun, Alya tahu itu.
Mereka berdua saling berkenalan dan bercerita hingga pada akhirnya Alya harus pergi karena takut Mama mencarinya. Tegar pun mengucapkan terima kasih dan melambaikan tangan pada Alya yang sudah berdiri dari duduknya. Semenjak hari itu, Alya sering menghampiri Tegar di kursi minimarket untuk memberikan takjil dari uang jajan yang ia sisihkan diam-diam. Hal itu berlangsung hingga puasa kedua puluh.
“Kamu tidak perlu membelikanku makanan setiap hari, Alya, lebih baik uangnya kamu tabung,” ujar Tegar karena merasa tidak enak jika Alya setiap hari membelikannya takjil. Ia sudah berusaha menolak, tetapi Alya tetap bersikeras.
“Alya!” Tiba-tiba Alya mendengar suara Mama memanggilnya.
“Mama.” Alya terkejut saat mengetahui mamanya datang dengan wajah marahnya.
Tegar ikut berdiri dari duduknya. Mata mama Alya dan Tegar bertemu, seketika sekelebat ingatan masa lalu terlintas di benak keduanya, ingatan menyakitkan yang Tegar sendiri tidak sanggup menyuarakannya.
“Mama paham, ternyata diam-diam kamu menyisihkan uang jajan yang Mama kasih demi membelikan takjil untuk dia!” ucap mama Alya sembari tangannya menunjuk ke arah Tegar. “Dasar anak jalanan enggak tau diri. Kamu pasti nyuci otak anak saya supaya mau beliin kamu takjil, kan? Ngaku kamu!” Sebelumnya mama Alya diam-diam mengikuti Alya karena merasa curiga, mengapa putrinya setiap menjelang berbuka selalu keluar rumah dan selalu ada sisa uang saku di tasnya, padahal Alya tidak biasanya begitu. Ia selalu mengembalikan uang saku sisa kepada mamanya.
“Enggak, Ma. Ini bukan salah Kak Tegar. Emang aku yang mau beliin dia makanan.” Alya menarik tangan mamanya, berusaha menjelaskan.
“Cukup, Alya! Dia itu cuma anak jalanan yang kotor, pemalas, dan bisanya cuma minta-minta.” Mama Alya melepaskan tangan Alya.
“Maaf, Bu. Tapi saya tidak pernah minta-minta. Meski anak jalanan, saya tidak serendah yang Ibu pikir, permisi,” ujar Tegar membela dirinya sendiri, lalu berjalan pergi setelah mengembalikan takjil yang diberi Alya.
“Kak …,” panggil Alya merasa bersalah.
“Mamamu benar, Alya, sebaiknya kita tidak bertemu lagi mulai sekarang,” kata Tegar, ia benar-benar pergi.
***
Sudah lebih dari dua hari, Alya tidak lagi bertemu dengan Tegar. Ia sudah menyusuri berbagai tempat biasanya Tegar berada, terutama di depan minimarket. Alya ingin sekali mengetahui kabar Tegar sekarang, setelah kejadian saat itu ketika mama memarahi dan melarangnya dekat dengan Tegar.
Ke mana lagi aku harus mencarinya? Apakah Kak Tegar baik-baik saja? batin Alya sembari melihat sekelilingnya dengan perasaan cemas.
Hari mulai petang, menandakan waktu berbuka hampir datang. Alya masih belum menemukan keberadaan Tegar. Ia memilih untuk pulang terlebih dahulu, baru besok ia bisa mencari Tegar lagi. Di pertengahan jalan pulang, Alya tidak sengaja bertemu dengan dua orang anak jalanan yang menurutnya akan bisa memberitahukan di mana Tegar berada.
“Permisi, Kak. Boleh aku bertanya?” Alya mencoba menghentikan langkah dua orang anak jalanan itu. Mereka mengangguk.
“Apakah kalian mengenal Tegar?” Alya menatap kedua anak jalanan itu secara bergantian.
“Tegar?” Salah satu dari mereka bertanya kembali untuk memastikan.
Alya mengangguk. “Aku harap kalian mengenalnya, dia orang yang membuka jasa ‘SURUH OPO AE’ di daerah sekitar sini.”
“Iya, kami mengenalnya. Sudah dua hari ini Tegar sakit. Jika kamu membutuhkan jasanya, mungkin bisa lain kali saja. Tegar harus istirahat. Kami kasihan, dia berjuang hidup sendiri sampai tidak memedulikan kesehatannya.”
“Bukan itu.” Alya berpikir sejenak, kemudian mengucapkan, “Apakah kalian bisa mengantarkan aku ke rumahnya? Aku ingin sekali menjenguknya.”
Kedua anak jalanan itu mengangguk.
Alya mengajak anak jalanan itu ke rumahnya terlebih dahulu, menyuruh mereka menunggunya sebentar di depan gerbang. Tepat azan berkumandang, Alya berlari memasuki rumah, meneguk air putih yang ada di meja makan untuk menyegerakan berbukanya. Alya sama sekali tidak memedulikan Mama yang tengah menatapnya penuh pertanyaan. Dengan cepat Alya memasukkan makanan dalam beberapa paper bowl yang telah diambilnya sedari tadi, kemudian menutup dan memasukkannya ke tas. Tidak lupa ia juga mengambil beberapa botol air mineral yang sudah tersedia di rumahnya.
“Alya, kamu mau ke mana? Buat siapa makanan itu?” tegur mama Alya. “Jangan bilang itu untuk anak jalanan yang kemarin!”
Alya mengangguk.
“Mama tidak mengizinkan kamu bertemu dengannya lagi!” bentak Mama.
“Maaf, Ma. Alya ingin bertemu dengan Kak Tegar. Asal Mama tau, dia bukan anak jalanan yang ada di pikiran Mama. Dia sekarang lagi sakit. Alya ingin menjenguknya, Ma. Alya pergi. Assalamu’alaikum,” ucap Alya sembari melangkah keluar rumah.
Mama Alya tidak habis pikir dengan sikap Alya yang sudah berani membantahnya. Pikirannya beralih pada kejadian masa lalunya yang telah meninggalkan anak kandungnya sendiri di usia 6 tahun. Bagaimana bisa mereka bertemu lagi? Antara perasaan kesal dan menyesal, itulah yang tengah dirasakannya.
Diam-diam mama Alya membuntuti langkah Alya dari belakang hingga sampailah ia di sebuah rumah kecil di bawah jembatan. Ia mendapati Alya tengah mengobrol dengan Tegar yang tengah terbaring lemah di kardus. Melihat Alya yang sangat tulus memberikan makanan kepada Tegar, hati mama Alya tersentuh dan merasa menyesal telah meninggalkan anak kandungnya hidup dengan mantan suaminya.
“Pulanglah. Aku tidak ingin kamu dimarahi lagi,” ucap Tegar pelan.
Alya menggeleng. “Aku masih mau di sini, Kak.”
“Aku bisa mengurus diriku sendiri, pulanglah!” bentak Tegar. Alya tetap menggeleng.
“Biarkan Alya di sini dulu, biarkan dia merawat kakaknya,” ucap mama Alya yang didengar oleh Alya dan Tegar.
Mama Alya melangkah ke arah mereka berdua.
“Maksud Mama?” tanya Alya terkejut.
“Maafkan Mama telah menyembunyikan ini semua. Tegar ini adalah anak dari suami pertama Mama. Dia kakak tirimu. Setelah ini, Tegar bisa tinggal bersama kita di rumah.” Mama Alya menjelaskan. “Tegar, maafkan Mama yang sudah jahat kepadamu. Membiarkanmu hidup bersama ayahmu dan memarahimu. Mama menyesal.” Air mata menetes dari pelupuk mata Mama.
“Tegar sudah memaafkan Mama dari lama. Terima kasih masih menganggap Tegar sebagai anak Mama.” Tegar meneteskan air mata yang tidak kuasa dibendungnya. Mereka bertiga berpelukan.
Esok harinya, Alya bersama Mama dan Tegar berbagi takjil sebagai bentuk rasa syukur dan kebahagiaan yang dirasakan.
***
Tentang Penulis
- yusuftriambodo. Sebagian dari dirinya ingin membaca dan menulis. Namun, sebagian yang lain dari dirinya justru menciptakan mental block untuk menghalangi itu semua. Baginya, menulis adalah pekerjaan gampang sekaligus susah. Menjuarai festival cipta cerpen mahasiswa PGMI se-Indonesia tahun 2020. Selebihnya cukup kau baca melalui tulisannya.
- Nurul Lathifah, biasa dikenal dengan nama pena Lathifah SPM. Penulis amatir kelahiran 10 Juli asal Jawa Tengah ini menyukai dunia kepenulisan sejak SMP. Mempunyai harapan bisa bertumbuh dan memberikan banyak manfaat di setiap karyanya. “Baca, pahami, dan ciptakan pikiranmu sendiri”. Jejaknya bisa kalian temukan dalam akun Instagram @lathfa_ifaa.
- Fitri Naurah, gadis kelahiran 2008 yang memiliki nama pena Astra Lunar. Gadis penyuka kupu-kupu dan bintang ini berharap bisa menciptakan banyak karya yang bisa membuat orang tersenyum akan karyanya. Ia berharap dicintai lewat karya-karyanya. Naurah bisa ditemukan di akun Instagramnya yang bernama @astra.lunar.
Posting Komentar