[CERPEN] Hantu Penguntit

Table of Contents
Ilustrasi horor (pexels.com/Photo By: Kaboompics.com)
Rei menutup pintu kamar kosnya dengan perlahan, seolah tak ingin membangunkan malam yang tengah beribadah. Jam dinding berdetak pelan, 21.15, saat Samarinda terbagi dua bagian, separuh berzikir dengan khusyuk, sementara separuh lainnya larut dalam mimpi. Dari kejauhan, gema Tarawih dari Islamic Center menyatu dengan desir angin yang membawa sisa tawa dan aroma ragam gorengan takjil di tepian Sungai Mahakam. Rei melangkah perlahan, menembus lorong gang sempit ditemani redup lampu jalan..

Di tepian, bangku kayu tua itu telah lama menjadi saksi rutinitas Rei. Setiap malam, ia duduk menghadap Mahakam, memejam sejenak, lalu membuka buku catatan sekolahnya, buku biasa yang ia isi dengan observasi kecil: pola bintang malam yang gemerlap riang, suara cicit jangkrik yang seperti musik latar, atau detak mesin perahu yang membelah sunyi. 

Akan tetapi, malam itu, di bangku yang sama, tergeletak sebuah buku bersampul kulit catatan cokelat tua yang lusuh. Kertasnya tipis, seperti sering disentuh tangan gugup. Di pojok halaman pertama tertulis: 

“Mahakam – 18 Ramadhan, 21.00.”

Alis Rei bertaut. Ia tidak pernah ditemani seorang pun di bangku ini, pun tak pernah meninggalkan buku lain di sini. Tangannya menyentuh sampul, dingin dan asing. Tanpa berpikir panjang, ia membuka halaman kedua.

“Rei duduk di bangku, tangan memegang erat tasnya. Wajah tenang, mata menerawang ke arah Mahakam.”

Jantungnya seperti diremas. Itu … barusan. Persis lima menit yang lalu. Namun, siapa yang menulis? Rei tak ingat melihat siapa pun di sekitarnya sejak ia datang. Semuanya terlalu sunyi. Dan entah kenapa, kalimat itu terasa seperti ditulis oleh makhluk tak kasatmata, sesosok hantu penguntit.

Malam tiba-tiba terasa lebih sunyi dari biasanya. Rei berdiri dengan tergesa, menatap sekeliling, tak ada siapa pun, hanya suara air dan lampu jalan yang redup. Buku itu ia dekap erat. Tanpa menoleh ke belakang, ia meninggalkan bangku itu dan mempercepat langkah pulang, napasnya berpacu dengan bayangan-bayangan yang mulai berbisik di benaknya.

Setiba di kamar kos, ia duduk di pojok tempat tidur, lampu kamar menyorot halaman-halaman buku misterius itu. Ia membukanya perlahan, berharap menemukan petunjuk, nama, coretan tangan, bahkan goresan yang tak sengaja.

“Siapa yang nulis ini …?” bisiknya pelan, lebih pada dirinya sendiri daripada siapa pun. Apakah ada seseorang yang mungkin saja tengah menatapnya dari balik halaman yang belum terbuka?

Hari demi hari berlalu. Seperti sebuah kebiasaan yang tak diundang, buku itu selalu muncul kembali di bangku kayu yang sama. Entah Rei datang lebih awal, entah terlambat beberapa menit, buku itu tetap menunggunya, terbuka pada halaman berbeda, seakan tahu persis waktu kedatangannya. Tiap lembar menyimpan jejak dirinya yang tak pernah merasa ia tinggalkan:

“19 Ramadhan, 20.45 – Rei menunduk membaca ayat Al-Qur’an di masjid kecil dekat tepian.”

“20 Ramadhan, 21.10 – Rei berdiri di bawah lampu tepian, wajahnya tegang, bayangan samar di belakangnya.”

Catatan itu bukan lagi sekadar pengamatan, mereka mulai terdengar seperti narasi dari seseorang yang mengikuti, menyatu dengan langkahnya.

“Tarikan napas panjang saat ia menahan kantuk yang datang seperti gelombang pasang di sungai.”

Rei merasa dicekam sesuatu yang tak terlihat. Detail-detail kecil yang tertulis, cara ia menggeser kaki, posisi tas yang berubah, atau helai rambutnya yang jatuh ke dahi, terlalu akurat untuk ditebak. Ini bukan tulisan asal-asalan. Ini pengamatan. Pengintaian. 

“Bukankah ini tindak kriminal?” gumam Rei.

Akhirnya, Rei mulai menyelidiki dari tempat terdekat. Hasilnya nihil, bahkan penjaga parkir yang biasa mangkal tiap malam pun mengaku tak pernah melihat siapa-siapa duduk di bangku itu selain Rei. Satu-satunya petunjuk hanya dari sebuah CCTV toko kelontong yang posisinya agak miring. Di layar, sosok Rei duduk sendiri, lama, tak bergerak. Tak ada siapa-siapa di sekitarnya. Namun suara, itu lain cerita.

Rei menaruh perekaman kecil di tasnya. Rekaman suaranya memperdengarkan hal aneh: suara goresan pena di atas kertas, pelan, teratur, nyaris seperti seseorang sedang menyalin sesuatu dengan tenang. Namun anehnya, di momen itu, Rei tidak mengingat pernah menulis apa pun. Dan, di video? Ia hanya duduk, menunduk, diam seperti patung. Suara dan gambar tidak sejalan. Ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan secara logika. Buku itu bukan lagi misteri, ia mulai terasa seperti beban. Beban yang datang tanpa permisi, tetapi mengganggu ketenangan yang seharusnya suci.

Malam demi malam, Rei tetap kembali ke tepian. Seperti ada sesuatu yang mengikat langkahnya, membisikkan bahwa jawaban ada di sana, di balik suara air yang tenang dan halaman-halaman yang belum terbuka.

Tanggal 22 Ramadan, ia kembali menemukan buku itu dalam posisi berbeda, bukan tergeletak di bangku, melainkan bersandar rapi di bawah lampu tepian, tepat di tempat bayangan dirinya tercatat sebelumnya. Halaman yang terbuka tak lagi hanya mendeskripsikan gerakan atau posisi tubuh. Kini, kalimat-kalimatnya menyentuh sisi dalam yang tak pernah ia bagi ke siapa pun.

“Ia mengingat wajah ayahnya, kabur di antara suara gemercik air sungai. Sebuah ingatan yang belum selesai, yang tetap hidup di sela-sela jeda waktu. Ia bergumam, andai saja Ayah tidak meninggalkanku saat itu.”

Rei membeku. Ia tidak pernah menceritakan apa pun tentang ayahnya, tidak pada siapa pun. Ingatan itu terlalu jauh, terlalu sunyi. Ia masih kecil saat ayahnya pergi merantau dan tak pernah benar-benar kembali. Tidak ada perpisahan yang jelas, tidak ada kejelasan apa pun. Hanya kehilangan yang diam-diam tumbuh jadi ruang kosong di dalam dada. Ia duduk di bangku itu dengan punggung yang lebih berat. Tangannya menggenggam buku, tetapi pikirannya melayang entah ke mana. 

Keesokan harinya, ia kembali memutar ulang rekaman dari perekam saku yang ia bawa dua malam lalu. Di tengah suara jangkrik dan angin malam, muncul sepenggal suara yang tak ia kenali.

“Tulislah. Kau harus tulis semuanya, sebelum terlambat.”

Suara itu lirih. Seperti suaranya sendiri. Ia menelan ludah. Kalau benar itu yang ia alami, semua catatan itu selama ini ditulis oleh tangannya sendiri, tanpa ia sadari. Namun, kalau begitu, siapa yang memutuskan, lalu kapan dan di mana bukunya muncul?

Pikiran itu menghantamnya lebih keras dari yang ia kira. Kalau benar dirinya pelakunya, ada bagian dari dirinya yang hidup terpisah, bersembunyi di antara ayat-ayat yang belum selesai ia pahami. Dan, jika Ramadan adalah bulan penyucian, mungkinkah Tuhan sedang memaksanya bertemu dengan bayangan yang selama ini ia hindari?

Malam 27 Ramadan tiba dan langit Samarinda terbentang begitu luas, tak berawan, penuh dengan cahaya rembulan yang menusuk kesunyian. Rei duduk di bangku yang telah menjadi saksi dari perjalanan panjang batinnya. Hening yang semula menenangkan kini terasa penuh ketegangan, seolah malam itu menyimpan rahasia yang harus diungkap.

Rei membuka buku itu untuk terakhir kalinya. Tangannya gemetar, tetapi ia tahu, ini adalah saat yang tidak bisa ia hindari. Setiap kata yang tertulis adalah bagian dari misteri yang telah mengguncang hidupnya, dan kali ini, dia harus menulis dengan jujur, tanpa menutupi apa pun.

“Aku di sini, menunggu jawaban tentang siapa yang mengikuti. Semalam, aku merekam suara, tapi tidak ada siapa-siapa kecuali aku sendiri.” Rei menulis dengan hati yang berdegup keras. Ia merasakan setiap ketukan pena sebagai cermin dari hatinya yang hancur.

Akan tetapi, saat ia menulis kalimat itu, sebuah bisikan halus terdengar di telinganya, seperti suara yang datang dari dalam dirinya, dari kedalaman hati yang terkunci rapat.

“Tulislah. Kau harus tulis semuanya, sebelum terlambat.”

Suara itu tak dapat dipastikan berasal dari siapa, apakah itu suara dirinya sendiri ataukah suara dari masa lalu yang terlupakan. Rei membuka matanya. Di samping bangkunya, di tempat yang biasa ia duduki, ada selembar kertas putih yang tergeletak. Ia meraihnya dengan hati yang berdetak semakin cepat. Di kertas itu tertulis, dengan tinta merah yang menyala di kegelapan malam: “Tulislah, sebelum kau terlambat. Maafkan dirimu!”

Jantung Rei berdegup keras. Semua organ tubuhnya terasa kaku, seperti waktu berhenti. 

“Apa yang sedang terjadi?” Rei bergumam, suaranya pecah. Pandangannya kabur, jantungnya hampir meledak. Sesuatu yang mengerikan mulai terungkap dan dirinya tahu, jawaban itu adalah miliknya sendiri.

Rei membuka buku itu sekali lagi, matanya menyapu setiap kata yang pernah ia tulis. Ia merasakan kesedihan yang tak terucapkan, trauma yang telah lama terkubur. Buku itu bukan hanya sekadar catatan, ia adalah cermin yang memperlihatkan bagian dirinya yang ia lupakan.

“Aku mengaku,” Rei menulis dengan tangan yang gemetar, “selama ini, aku yang memicu ketakutan dan misteri ini. Aku tidak bisa memaafkan semua trauma dan kesalahanku sendiri. Aku selalu membohongi diriku, seakan itu semua tidak pernah terjadi. Padahal, itu bukanlah solusi. Aku harus bisa memaafkan masa kecilku yang penuh dengan dendam itu, pula masa remajaku yang nakal. Setelah itu semua, aku bisa berubah.”

Saat kalimat itu tertulis, sebuah perasaan lega yang mendalam menghampiri dirinya. Ia menutup buku itu dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Buku itu tak lagi menakutkan. Tidak ada lagi misteri yang harus diselesaikan. Namun, saat Rei beranjak dari bangku dan berbalik untuk pergi, sebuah suara tiba-tiba menggema dari dalam dirinya. Seperti bisikan yang datang dari kedalaman jiwanya, suara itu menguatkan dirinya. Ia menyadari bahwa Ramadan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus. Ramadan adalah saat untuk membersihkan batin, untuk berhadapan dengan masa lalu, dengan luka yang tersembunyi, dengan sisi gelap yang tidak ingin kita akui.

Langit Samarinda di atasnya tampak begitu cerah, rembulan yang purnama memantulkan cahayanya ke permukaan Mahakam. Angin malam menyentuh wajah Rei, seolah memberi tanda bahwa perjalanan batin ini telah selesai. Ia telah menemui hantu penguntit yang selama ini ia hindari; masa lalunya sendiri.

***

Tentang Penulis

Muhammad Ziyad Abdillah, seorang guru dan penggiat pendidikan. Baginya, “Luka tidak boleh dilupakan. Ia diingat, dimaafkan, dan dijadikan pijakan untuk langkah berikutnya”.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar