[CERPEN] Jingga Di Langit Aceh
![]() |
ilustrasi langit jingga (pexels.com/MICHAEL MCGARRY) |
Damar adalah mahasiswa semester akhir Jurusan Sastra Inggris. Lelaki itu seperti tak terpisahkan dari hari-hari Dira di kampus. Mereka berdua aktif di Komunitas Menulis, wadah yang mempertemukan minat dan bakat mereka dalam merangkai kata. Berbagai proyek komunitas telah mereka lalui bersama, mulai dari diskusi buku, workshop kepenulisan hingga penerbitan antologi sederhana. Keduanya selalu menemukan kecocokan dalam ide dan gagasan, menciptakan kolaborasi yang produktif dan menyenangkan.
Di tengah kesibukan organisasi dan tugas kuliah, tanpa sadar sebuah kedekatan istimewa terjalin di antara mereka. Obrolan ringan tentang buku dan film sering berlanjut menjadi diskusi mendalam tentang mimpi dan harapan. Sering kali, tatapan mata mereka bertemu lebih lama dari sekadar sapaan biasa, menyiratkan sebuah pemahaman tanpa perlu diucapkan. Namun, baik Dira maupun Damar memilih untuk mengabaikan debar aneh yang sesekali hadir di dada mereka. Ada tembok tak kasatmata yang mereka bangun, entah atas nama pertemanan, entah alasan lain yang belum sepenuhnya mereka pahami.
Bagi Dira, Damar adalah sosok yang menginspirasi. Kecerdasannya dalam berbahasa Inggris dan ide-ide kreatifnya selalu memukau. Dia menikmati setiap diskusi dengan Damar, merasa ada energi positif yang menular setiap kali mereka bersama. Namun, dia juga menyadari adanya batas yang tak boleh dilampaui. Dia takut perasaannya yang mulai tumbuh subur akan merusak keindahan persahabatan yang telah terjalin.
Sementara itu, Damar diam-diam mengagumi ketenangan dan kepekaan Dira dalam merangkai kata. Tulisan-tulisan Dira selalu menyentuh hati, penuh dengan makna dan keindahan bahasa. Dia merasa nyaman berada di dekat Dira, seolah menemukan teman bicara yang benar-benar memahami dirinya. Namun, dia juga memiliki pertimbangannya sendiri untuk tidak mengungkapkan apa yang dia rasakan. Sebagai mahasiswa tingkat akhir, fokus utamanya adalah menyelesaikan skripsi dan mempersiapkan diri untuk jenjang berikutnya. Dia tidak ingin urusan hati menjadi distraksi yang bisa menghambat langkahnya. Apalagi, Dira terlihat sebagai sosok muslimah yang taat. Maka dari itu, Damar ingin fokus sambil meyakinkan perasaannya dahulu.
***
Memasuki bulan Ramadan ini, sebuah keputusan bulat terlintas di benak Dira. Dia merasa perlu menjaga jarak dari Damar. Suasana Ramadan yang penuh dengan kekhusyukan dan ibadah, terasa kurang selaras dengan gejolak perasaan yang mulai dia rasakan. Dia takut, semakin sering bertemu Damar, perasaannya akan semakin dalam dan justru mengganggu konsentrasinya dalam berpuasa dan beribadah. Selain itu, jauh di lubuk hatinya, Dira juga menyimpan ketakutan akan penolakan dan potensi sakit hati jika perasaannya hanya bertepuk sebelah tangan.
Ramadan ini, dia ingin fokus membersihkan hati dan pikiran, menjauhkan diri dari segala hal yang berpotensi menimbulkan fitnah dan keraguan, termasuk kedekatannya dengan Damar. Tentunya keputusan Dira ini tidaklah mudah karena pertemuan mereka tidak bisa dihindari. Komunitas Menulis memang sering membuat pertemuan dan melakukan mentoring, tujuannya agar setiap anggota selalu semangat dalam melahirkan karya luar biasa.
Damar terpilih menjadi ketua panitia, sedangkan Dira terpilih menjadi sekertaris. Dengan adanya tanggung jawab yang harus dilakukan, Dira merasa makin berat untuk memberikan jarak kepada Damar. Dira mengingat kembali keputusan yang sudah diambil untuk meneguhkan hatinya, interaksi dengan Damar pun sebisa mungkin sangat dibatasi oleh Dira.
“Teman-teman panitia inti buka bersama alumni, saya harap nanti setelah pertemuan bisa berkumpul sebentar untuk membahas hal-hal yang penting mengingat acara akan diadakan seminggu lagi.” Damar meminta waktu kepada teman-teman panitia inti yang lain.
“Baik, Kak.” Jawaban kompak dari teman panitia lainnya, termasuk Dira, terdengar.
***
“Assalamu’alaikum warrahmatullah wabarakatuh. Terima kasih untuk teman-teman yang bersedia meluangkan waktu. Supaya rapat lebih efisien, pembahasan rapat kali ini akan membahas tentang anggaran, tempat acara, dan bagaimana isi acara buka bersama akan berlangsung.” Damar membuka rapat.
Rapat berjalan kondusif, tetapi gejolak perasaan Dira tetap ambyar meskipun saat rapat sangat tenang. Satu per satu pembahasan rapat mendapat kesepakatan, hanya untuk pemilihan tempat masih belum mendapatkan tempat yang pas. Ada dua pilihan tempat yang harus disurvei dulu untuk mengetahui daya tampung pengunjung dan menunya.
Kelompok pertama, terdiri dari ketua Damar dan sekretaris Dira, memilih untuk mensurvei Pendopo MZ Coffee, sebuah kedai kopi sederhana yang terletak dekat Masjid Oman. Suasana di dalamnya nyaman dengan harga yang terjangkau dan lokasinya strategis, banyak orang melewati tempat ini, terutama saat berbuka puasa.
“Tempat ini cocok buat ngumpul sambil bagi-bagi takjil nanti. Harganya ramah di kantong pula!”
“Iya, apalagi dekat masjid, pasti ramai. Kalau kita bikin acara di sini, bisa sekalian berinteraksi sama warga sekitar.” Dira menyetujui.
Sementara itu, kelompok kedua wakil dan bendahara pergi ke Tempat Lepas Senja, sebuah kafe outdoor dengan pemandangan langsung ke arah matahari terbenam. Suasana romantis, tetapi harga menu sedikit menguras dompet.
Caca berkata, “View di sini keren banget! Tapi harganya agak berat, ya ….”
Teuku ikut menimpali, “Kalau buat acara santai mungkin bisa, tapi harus cari sponsor dulu biar nggak tekor.”
Meski berbeda lokasi dan suasana, kedua kelompok sepakat bahwa masing-masing tempat memiliki keunikan sendiri. Tinggal disesuaikan dengan kebutuhan acara mereka nanti.
“Kak, untuk kelompoknya apakah tidak bisa diganti saja? Saya dengan Caca saja, Kak Damar dengan Kak Teuku.” Dira menyuarakan keberatannya karena tidak ingin terkesan menjaga jarak dengan Damar.
“Tidak bisa, Dira, kenapa harus laki-laki dan perempuan yang survei, karena terkadang kita laki-laki tidak sedetail perempuan mensurvei seperti ini,” jawab Teuku lugas yang diiyakan oleh teman-temannya. Mau tidak mau, akhirnya Dira setuju dengan pembagian kelompok tersebut.
Pukul 10.00 WIB Dira sudah sampai di Pendopo MZ Coffe. Dia memasuki pintu masuk, ternyata Damar sudah lebih dulu datang dan mengobrol dengan salah satu pegawai. Damar yang menyadari kehadiran Dira langsung menyapa sambil menyuruh Dira untuk langsung duduk di meja yang Damar dan pegawai tersebut tempati. Dira mulai mengikuti dan masuk dalam obrolan tersebut untuk memastikan satu dan lain hal sampai yang diperlukan mereka dapatkan.
Survei selesai pukul 11.15 WIB dan mereka langsung menghubungi kelompok 2 untuk memastikan apakah mereka sudah selesai. Setelah survei di masing-masing tempat dan berdiskusi sebentar di telepon, diputuskan Pendopo MZ Coffe menjadi tempat acara.
***
Hari-hari pun berlalu. Acara buka bersama alumni telah berjalan. Suasana semakin ramai saat waktu berbuka semakin dekat. Anggota komunitas dan alumni mulai membagikan takjil kepada para pejalan kaki dan pengendara yang melintas di depan Pendopo MZ Coffee. Damar turun ke jalan dengan nampan berisi kurma dan minuman, sementara Dira dengan lembut membagikan bungkusan kue kepada anak-anak kecil yang antre beberapa takjil dan menghampirinya.
“Anak manis, ini takjilnya. Silakan berbuka.” Dira mengulurkan tangan dan memberikan kotak kue
“Terima kasih, Kakak Cantik,” ucapnya sambil tersenyum dan berlari bersama temannya.
Damar memandang Dira dengan mata berbinar.
Dia selalu begitu … peduli dan tulus, pikirnya.
Saat Dira berbalik, matanya tak sengaja bertemu dengan Damar. Sekejap, ada kehangatan yang mengalir di antara mereka seperti percikan yang tak bisa disembunyikan. Dira cepat memalingkan wajah, tetapi senyum kecil mengembang. Damar hanya diam dan tersipu, lalu menguatkan tekad dalam hati.
Aku harus ungkapin perasaan ini. Nggak bisa ditunda lagi.
Di tengah keramaian, Damar hanya fokus pada Dira yang terlihat tetap tenang dan anggun dalam balutan gamis biru laut yang dikenakannya. Gemuruh yang ada di hati Damar semakin menjadi-jadi, keinginannya untuk selalu dekat dengan Dira serasa tidak bisa dibendung.
***
Malam terakhir Ramadan, Dira duduk di teras rumahnya, merenung. Ponselnya bergetar, pesan dari Damar.
“Dira, selamat menyambut Idulfitri. Minal aidzin wal faizin. Semoga amal ibadah kita diterima.”
Dira membalas dengan singkat. “Aamiin. Terima kasih, Kak Damar. Semoga kita semua diberikan keberkahan.”
Damar kembali mengirim pesan lagi.
“Ada sesuatu yang ingin kubicarakan. Bisakah kita bertemu setelah Lebaran?”
Jantung Dira berdebar. Damar meminta izin datang ke rumahnya di hari kedua Lebaran. Dengan gemetar, dia mengiakan.
***
Hari kedua Lebaran, Dira memakai gamis putih terbaiknya. Damar tiba dengan koko putih dan sarung Aceh. Setelah menyapa keluarga Dira, dia meminta bicara empat mata.
Di teras rumah, Damar menarik napas dalam-dalam.
“Dira, aku tidak ingin hubungan kita hanya berhenti di pertemanan. Aku ingin melamarmu, dengan restu orang tuamu.”
Dira terkejut, matanya berkaca-kaca. “Aku … butuh waktu untuk memikirkannya,” jawabnya pelan.
Damar mengangguk. “Aku mengerti. Tapi izinkan aku jujur. Aku tidak ingin menunda hal baik.”
***
Setelah berdiskusi dengan orang tua, yang ternyata sudah memperhatikan keseriusan Damar, Dira menerima lamarannya. Di sebuah sore cerah, Damar datang dengan keluarganya dan cincin lamaran.
“Dira, izinkan aku mendampingimu, tidak hanya di dunia kepenulisan, tapi juga dalam kehidupan.”
Dira tersenyum. “Iya, aku bersedia.”
Di bawah senja Banda Aceh, dua insan yang dipertemukan oleh kata-kata akhirnya memulai babak baru dengan ikatan yang lebih suci, lebih abadi.
“Selamat datang, cinta, di antara deretan huruf yang kutuliskan tentangmu.”
***
Tentang Penulis
- Misnati adalah wanita asal Provinsi Banten kelahiran 2007. Dia mulai terjun ke dunia kepenulisan sejak akhir 2021. Dia sangat suka menulis karya berbentuk cerita dan tulisan motivasi. Dia memiliki beberapa karya di Wattpad (@JasjusOlen) yang bisa dibaca. Berkenalan lebih lanjut dan lihat karya lainnya melalui Instagram @__ntyyyyy atau @jasjusolen_.
- a_ariviyana adalah seorang ibu muda dengan dua orang putri. Beliau juga seorang karyawan di salah satu perusahaan swasta di bidang properti. Beliau lahir di Banyuwangi tahun 1995 dengan nama Atiyah Ariviyana M.Nur, anak pertama dari tiga bersaudara. Beberapa karya beliau dapat anda nikmati di Medium.com (a_ariviyana) dan Wattpad (@a_ariviyana).
- Syazwa Nur Maulidina seorang mahasiswa aktif Pendidikan Sejarah di Universitas Syiah Kuala, memiliki minat membaca dan menulis. Aktif mengikuti berbagai kegiatan penulisan di beberapa komunitas. “Setiap kalimat adalah pengabdian, setiap paragraf adalah langkah menuju perubahan.” Kalian bisa menyapa medsosnya @syazwaaanm_ @penasyaz_.
Posting Komentar