[CERPEN] Kunci Bahagia
![]() |
ilustrasi bunga matahari (pexels.com/Hiếu Hoà ng) |
“Mangkat meng sawah, Mbah?” sapaku pada seorang kakek yang melintas depan rumah, lengkap dengan caping dan cangkul di tangannya.
“Nggih, Nduk. Mbah arep meng sawah ki,” jawabnya hangat.
Meski ini tanah Kalimantan, banyak warga desa kami berasal dari Jawa. Mereka adalah bagian dari program transmigrasi tahun 90-an. Termasuk keluargaku.
Aku baru saja menyelesaikan studi sarjanaku, menjadi lulusan pertama di keluarga. Rasanya tak bisa digambarkan dengan kata-kata, tangis bahagia Bapak dan Mama saat wisuda masih terpatri jelas di ingatanku. Mereka orang tua yang hebat dan luar biasa bagiku. Mereka bukan sarjana, tetapi merekalah guru terbaik dalam hidupku yang mampu mengantarkanku sampai menjadi sarjana.
Setelah lulus, aku punya bayangan: kerja, lanjut kuliah S-2, membahagiakan orang tua, dan jadi orang yang bermanfaat. Namun, hidup tak semudah itu. Aku pernah mendaftar CPNS dan gagal. Lamar kerja ke sana-sini, belum ada yang nyantol. Hari-hari pun berlalu dan tanpa sadar, sudah lebih dari setengah tahun aku menganggur.
Di sela waktu senggang, sering kali muncul pertanyaan dalam kepala: “Kenapa ya aku belum juga dapat kerja?” Ditambah lagi, pertanyaan dari orang-orang yang kebetulan bertemu di jalan, “Sudah kerja belum?” Kalimat itu terdengar biasa, tetapi jika terus-menerus, perlahan menekan perasaanku.
“Ma, ternyata cari kerja nggak semudah yang aku pikir. Susah ya, Ma,” keluhku suatu sore.
Mama tersenyum lembut. “Nak, sabar, ya. Insyaallah, nanti pasti ada jalan dan waktunya. Semangat terus.”
Malam itu, kami sekeluarga berkumpul di ruang tamu. Televisi menyiarkan sidang isbat penetapan awal Ramadan. Ketika pengumuman disampaikan, “1 Ramadan 1446 H jatuh pada hari Sabtu, 1 Maret 2025,” serempak kami mengucap syukur.
“Alhamdulillah, besok puasa!”
Kami bersiap pergi ke musala untuk Tarawih pertama. Suasana musala malam itu lebih hidup dari biasanya. Warga dari RT 1 sampai RT 3 memenuhi ruang salat. Aku bersyukur, tahun ini bisa menjalani Ramadan di kampung halaman, bukan lagi di perantauan.
Pukul 04.00 Wita, aku keluar kamar menuju dapur. Aroma masakan Mama menyeruak, rasa yang kurindukan ketika tinggal di kosan dulu. Aku segera membantu menyiapkan sahur.
“Teh sudah, nasi sudah, cemilan ringan sudah, air putih juga sudah,” gumamku sambil memastikan semuanya tertata rapi di meja.
Tak lama, Mama datang membawa lauk dan sayur hangat.
“Nak, bangunkan Bapak dan Ahmad, ya,” ucap Mama.
“Iya, Ma. Siap!” balasku semangat.
Aku mengetuk kamar Bapak dan Adik, menyanyikan panggilan sahur ala-ala supaya mereka cepat bangun. Kami pun makan sahur bersama.
“Sahur tahun ini bareng Mama, Bapak, dan Adik,” ucapku dalam hati penuh syukur. Suasana ini sangat berbeda dari tahun-tahun sebelumnya saat aku sahur sendirian di perantauan.
Mama membuka obrolan. “Alhamdulillah, tahun ini bisa sahur bareng. Biasanya cuma bertiga, ya walaupun lauknya sederhana, kalau makan bareng tetap terasa nikmat.”
“Iya, Ma. Dulu di kos kadang sahur sendiri atau makan bareng sama ibu kos. Sekarang bisa sahur bareng lagi, rasanya beda banget.”
Ya, kebersamaan sederhana seperti ini adalah bentuk kebahagiaan yang sering luput kusadari.
Ramadan berjalan sepuluh hari. Namun, rasa gelisah soal pekerjaan masih sering datang, terutama saat malam tiba dan aku sendiri dalam hening. Pikiran soal masa depan terus mengganggu.
Suatu malam, aku terbangun pukul 03.30 Wita. Aku teringat nasihat seseorang, pada sepertiga malam terakhir, Allah sangat dekat dengan hamba-Nya. Aku mengambil air wudu, lalu menadahkan tangan dalam keheningan.
Angin malam terasa lembut menyentuh wajah. Suasana sunyi membuatku merasa sangat dekat dengan-Nya. Aku curahkan segalanya, rasa gelisah, harapan, syukur. Tanpa disadari pipi mulai basah dengan air mata, lalu teringat akan doaku dahulu. “Semoga setelah lulus, aku bisa kembali bersama keluarga.”
“Ya Allah, mungkin ini cara-Mu mengijabah doaku,” bisikku lirih. Tiba-tiba aku sadar, bukankah apa yang kupinta dulu sudah terkabul? Aku bisa sahur dan berbuka dengan keluarga. Aku tidak sendirian. Aku dikelilingi cinta.
Pagi menjelang, semburat jingga muncul di ufuk timur. Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah, aku membuka WhatsApp. Di sana, aku melihat status teman yang sedang kerja di perantauan. Caption-nya tentang rindu kepada keluarga membuat hatiku terenyuh.
Dalam hati, aku berbisik, “Ya Allah, ternyata aku yang lupa bersyukur. Ternyata, Engkau telah menjawab doaku.”
Sejak saat itu, aku mulai memahami. Rezeki bukan hanya tentang pekerjaan dan uang, melainkan juga tentang waktu, waktu untuk bersama orang-orang tercinta. Kesehatan, kehadiran mereka, dan rasa damai di tengah keluarga adalah karunia yang tak bisa ditukar apa pun.
Aku berjanji pada diriku, mulai hari ini aku harus lebih bersyukur. Apa pun yang Allah takdirkan, itu pasti baik. Karena bahagia, sejatinya bukan tentang memiliki segalanya, melainkan tentang menghargai yang telah kita miliki.
***
Tentang Penulis
Rahimatun Nisa, lulusan Fakultas Kehutanan dari Kalimantan Selatan. Ia memiliki ketertarikan dalam bidang kepenulisan dan literasi, serta tengah mengembangkan diri di bidang tersebut. Baginya, menulis merupakan sarana untuk berbagi makna sederhana dari perjalanan hidup.
Posting Komentar