[CERPEN] Lentera Kasih Sahabat
![]() |
ilustrasi persahabatan (pexels.com/fauxels) |
Tradisi itu mereka sebut “Ramadan Bertiga”. Bahkan saat SMP, mereka membuat janji di bawah langit Ramadan, sambil duduk di tepi lapangan masjid bahwa mereka akan selalu bersama, apa pun yang terjadi.
“Kita harus sahabatan selamanya,” kata Dina waktu itu. Tangan mereka saling menggenggam di sajadah yang tergelar.
Akan tetapi, Ramadan tahun ini terasa berbeda.
Salsa, kini berusia 17 tahun dan duduk di bangku kelas 11 SMA, mulai menyadari perubahan pada Dina. Awalnya hanya dianggap sebagai kebetulan, Dina menolak dua kali ajakan ngabuburit, katanya sedang banyak tugas. Namun, setelah minggu pertama Ramadan berlalu, perubahan itu semakin kentara. Dina jarang membalas chat grup, tak pernah ikut berburu takjil, bahkan ketika ikut Tarawih, ia lebih memilih duduk di saf terpisah, lalu buru-buru pulang sebelum sempat diajak mengobrol.
“Aku heran dengan sikap Dina akhir-akhir ini,” kata Salsa pada Rani suatu sore. Mereka duduk di bangku taman dekat masjid, menunggu waktu berbuka. “Dina bukan Dina yang biasa.”
Rani mengangguk, ia pun menyadarinya. “Mungkin dia sedang ada masalah di rumah? Mungkin itu yang menjadi sebab Dina seperti menghindari kita. Dia butuh ruang untuk sendiri.”
“Kalau iya, kenapa dia nggak cerita ke kita?” lanjut Salsa. Sebagai sahabat, sudah seharusnya saling berbagi suka maupun duka. “Apakah Dina tidak mempercayai kita?”
Salsa merasa tak tenang. Ia merasa dikhianati oleh keheningan Dina. Bagi Salsa, persahabatan mereka tidak hanya tentang kebersamaan di waktu senang, tetapi juga tentang saling percaya, bahkan dalam diam sekalipun. Akan jahat apabila sahabat hanya ada ketika senang, sedangkan dalam duka sahabat bagai benda tak kasatmata yang tak nampak keberadaannya.
“Kita harus membicarakan hal ini dengan Dina. Aku benar-benar tidak nyaman dengan situasi ini,” ujar Salsa yang kemudian disetujui oleh Rani.
Dalam menghadapi permasalahan, diam bukanlah solusi yang tepat, justru dengan diam, masalah itu tidak terselesaikan bahkan dapat memperburuk keadaan. Ikuti naluri dalam hati dan biarkan akal yang mengatur caranya. Yang terpenting tidak ada keterdiaman dalam menghadapi permasalahan.
Kesadaran akan pentingnya keterbukaan dalam hubungan, seperti halnya persahabatan, Salsa dan Rani sepakat untuk membicarakan hal ini dengan Dina. Akhirnya, di malam ke-27 Ramadan, setelah Tarawih, ketika melihat Dina yang sedang berjalan cepat ke arah gerbang, mereka buru-buru mencegatnya.
Salsa mengadang langkah Dina, kemudian berujar, “Din, bisa ngobrol sebentar?” Sebenarnya ini lebih ke permintaan dibanding pertanyaan. Salsa dan Rani menunggu jawaban Dina dengan penuh harapan bahwa Dina mau mengobrol bersama mereka.
Dina tampak kaget ketika jalannya dicegat, langkahnya terpaksa berhenti. Menyadari kedua sahabatnya akan mempertayakan sikapnya akhir-akhir ini, Dina meremas sajadah di genggamannya sambil menundukkan. Ia takut, juga gelisah.
“Din ….” Rani berucap dengan nada memelas. Ia sedih melihat Dina tidak menyahuti permintaan Salsa. Dina hanya diam tanpa menatap mereka.
Dina merasa tak tega melihat sahabatnya memohon, akhirnya ia mengangguk setuju. “Baiklah, ayo.”
Salsa dan Rani tersenyum senang mendengar jawaban Dina. Dengan semangat, mereka menggandeng tangan Dina, berjalan beriringan dengan Dina di tengah-tengah. “Aku bahkan merindukan hal sekecil ini, berjalan bersama kalian,” ujar Salsa menatap kedua sahabatnya yang diangguki Rani.
Sementara Dina, hanya mampu menyahut dalam hati, “Aku juga sangat merindukannya, bahkan mungkin ini terakhir kali aku bisa berdiri di tengah-tengah kalian, aku pasti rindu.” Dina mengerjapkan matanya yang tiba-tiba berair.
Sampai di bangku samping masjid, suasana sedikit sepi. Tersisa orang-orang yang menghabiskan malam dengan beribadah dan bermunajat kepada-Nya: membaca Al-Qur’an, berzikir, ataupun beriktikaf. Ketiga sahabat itu duduk bersebelahan di bangku kosong itu. Situasi terasa canggung, tidak ada yang memulai pembicaraan, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Keheningan di antara mereka ditemani bacaan ayat suci yang menyejukkan jiwa. Salsa memecah keheningan itu dengan bertanya kepada Dina, “Kamu nggak cerita apa-apa ke aku atau Rani. Tapi sikap kamu jelas ada yang salah, kamu berubah. Ada apa?”
Dugaan Dina tepat, sahabatnya benar-benar menanyakan sikapnya. Ia menghela napas, tangannya saling meremas seolah berusaha menenangkan hati yang diselimuti rasa takut. Dina sadar, ia tak bisa menyembunyikan ini terus-menerus dan membiarkan hubungan persahabatannya menggantung.
“Aku mau pindah.” Dina menjeda perkataannya, menatap ekspresi penuh tanda tanya di wajah sahabatnya.
“Papa dapat mutasi ke luar kota. Setelah Lebaran … aku akan tinggal di sana dan sekolah di sana.” Dina menunduk takut-takut. Sahabatnya pasti marah padanya.
Salsa dan Rani terdiam. Kata-kata itu seperti petir di siang bolong, begitu mengejutkan mereka.
“Kenapa nggak bilang dari awal?”
“Aku takut. Takut kalian marah. Takut suasana Ramadan kita rusak. Aku juga nggak siap ninggalin semuanya, termasuk kalian.”
Salsa menghela napas panjang. Di satu sisi, ia kecewa, tetapi di sisi lain, ia bisa melihat ketakutan di mata sahabatnya itu. Ketakutan yang sama seperti yang ia rasakan—takut kehilangan.
Rani menggenggam tangan Dina yang saling meremas. “Dina, kenapa harus takut? Kita sahabat, hadapi semuanya bersama-sama. Aku mengerti bagaimana perasaanmu, tapi aku dan Salsa begitu khawatir dengan sikapmu akhir-akhir ini. Lain kali, jangan memendam semuanya sendiri, ya. Aku merasa tidak becus melihatmu menahan ketakutan sendirian. Ada aku dan Salsa, semuanya akan baik-baik saja.”
Salsa membenarkan ucapan Rani. “Rani benar. Kami tidak marah dengan pindahanmu yang tiba-tiba ini. Justru yang aku sesali adalah sikapmu yang hanya diam membiarkan semuanya.”
Dina menunduk merasa bersalah. “Aku tidak sadar jika sikapku membuat kalian sedih. Aku hanya terfokus pada ketakutanku, jadi aku hanya diam dan berusaha menghindari kalian.” Hatinya sakit, begitu juga sahabatnya. Mereka sama-sama terluka, terluka dalam diam.
Malam takbiran tiba. Setelah percakapan malam itu, Salsa, Rani ,dan Dina sepakat untuk berkumpul kembali di masjid yang sekaligus menjadi pertemuan yang entah kapan bisa dilakukan lagi. Gema takbir berkumandang dari pengeras suara masjid. Suara petasan dibunyikan oleh anak-anak, lentera-lentera gantung berayun pelan, menemani langkah orang-orang yang bersiap menyambut Hari Raya.
Salsa, Rani, dan Dina duduk di pelataran masjid, mengenang masa-masa kecil mereka yang penuh warna. Mereka membawa tiga kotak kecil, isi dari ‘Janji Ramadan’ yang mereka buat dulu: foto-foto lama, surat kecil yang mereka tulis untuk masa depan, dan gelang persahabatan yang sudah usang warnanya.
“Aku tahu kita nggak bisa menahan waktu,” kata Dina, “tapi aku harap, kita bisa menahan rasa ini. Rasa sayang, sebagai sahabat.”
Rani tersenyum. “Jarak itu cuma soal peta. Tapi sahabat tinggal di hati.”
Salsa mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Kita tetap sahabat. Selamanya. Janji kita masih berlaku walau langit Ramadan nanti kita pandangi dari kota yang berbeda.”
Rani mengeluarkan lampion yang ia bawa dari rumah. “Tada! Aku bawa ini.” Salsa dan Dina terpesona menatap cahaya lampion yang indah.
“Ayo, kita terbangkan!” Dina begitu bersemangat dan berdiri lebih dulu. Salsa dan Rani tertawa senang melihat semangat Dina. Mereka tahu pasti bahwa Dina begitu menyukai momen menerbangkan lampion.
Lingkaran kecil terbentuk, dengan lampion berada di tengah yang siap diterbangkan. Ketiga sahabat itu menggenggam lampion dengan erat. “Meskipun nantinya kita akan jauh, hati kita tetap bersama. Hanya soal jarak, jangan sampai merusak hubungan persahabatan kita. Jangan lupa tetap berkabar, ya. Dan yang paling penting, adalah janji Ramadan kita.”
“Kita akan bersahabat selamanya!” seru mereka lantang bersama-sama. Lampion pun diterbangkan dengan semangat.
Di tengah malam yang penuh gema takbir, mereka bertiga berpelukan. Menatap lampion yang terbang, diiringi gema takbir yang merdu. Tiga hati yang tetap terpaut, dalam damai dan haru, di bawah langit Ramadan yang menjadi saksi persahabatan mereka sejak kecil. Janji mereka abadi, pun seperti persahabatan mereka. Hingga dewasa, hingga tua, dan hingga akhirat nanti.
***
Tentang Penulis
- Anastasya Aryani, lahir di Purwokerto. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Saat ini penulis sedang menempuh pendidikan tinggi di UIN Saizu Purwokerto. Tumbuh menjadi sosok yang suka membaca dan menulis. Penulis bisa dihubungi melalui e-mail spesialliterasi@gmail.com atau Instagram @binarrenjana__.
- Khadijah Ath Thahirah, atau biasa memakai nama pena Devisha. Perempuan kelahiran Jakarta ini merupakan seorang guru TK yang memiliki minat besar pada literasi dan ingin menjadi penulis yang dapat menginspirasi wanita Indonesia agar menjadi wanita tangguh.
- Nur Aisyah Rahma Fadila, atau biasa dipanggil Ikan karena Pisces. Kelahiran Magetan, Maret 06. Penulis sedang berjuang untuk karya dan pendidikannya. Ingin membangun generasi muda yang terus eksis tanpa spotlight. Mari berteman dengannya di sosial media IG @aisss.nrhmfdl_.
Posting Komentar