[CERPEN] Orang yang Merugi di Bulan Ramadan
![]() |
| ilustrasi menggunakan media sosial (pexels.com/cottonbro studio) |
Entah sudah berapa lama waktu yang aku gunakan untuk bermalas-malasan hingga tak terasa azan Isya sudah berkumandang. Aku segera mematikan ponselku dan mulai beranjak bangun dari posisi ternyamanku, rebahan. Sebuah decakan kesal keluar dari mulutku. Bukan karena azan yang memanggil, melainkan kesal dengan diri sendiri yang lagi-lagi merasa malas untuk melaksanakan salat Tarawih. Apalagi, entah kenapa hari ini tubuhku terasa sangat lelah.
Nggak usah Tarawih aja kali, ya? Lagian hukumnya sunah, kan, batinku.
Suara ketukan dari arah pintu kamar sedikit mengagetkanku yang sejenak terlarut dalam pikiran. Aku menoleh ke arah pintu, lalu bergumam cemas, “Duh, itu pasti Ibu.”
Dan benar saja, saat kubuka pintu kamar, terlihat ibuku yang sudah siap dengan mukena yang terpasang di tubuhnya. Ibu pasti memanggilku untuk berangkat salat Tarawih bersamanya.
Sebelum Ibu sempat berucap, aku segera mengutarakan niatku dengan hati-hati. “Em …, Bu, aku hari ini nggak Tarawih, ya?”
“Kenapa? Lagi haid?” tanya Ibu. Oke, nadanya masih bersahabat.
Aku mengarahkan pandanganku ke samping kiri, mencoba menghindari tatapan Ibu. “Hari ini badanku rasanya capek banget, jadi hari ini libur dulu, ya?”
“Emangnya capek ngapain? Keseharian kamu cuma makan tidur aja di rumah, kuliah juga cuma beberapa jam, terus pulang tidur lagi. Bapak kamu yang seharian kerja aja masih bisa salat Tarawih. Masa kamu yang cuma makan tidur di rumah ngeluh capek,” cerca Ibu.
Aku memejamkan mata mendengarkan semua ocehan dari ibuku. Rasanya sangat menyebalkan mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Ibu di saat marah seperti ini. Semua kata yang diucapkan selalu menusuk. Lalu, yang paling penyebalkan adalah semua perkataannya itu benar dan aku tidak bisa mengelak.
Aku berdecak dalam hati. Selalu saja seperti ini. Padahal ini cuma perkara sepele, tetapi Ibu selalu membesar-besarkan masalah dan mengungkit keburukanku.
“Pokoknya hari ini aku nggak Tarawih,” putusku mutlak. Tanpa menunggu respons dari Ibu, aku segera berbalik dan masuk ke kamar.
“Dasar anak ini.” Ibu kembali berbicara. “Padahal Tarawih dan puasa di bulan Ramadan itu satu paket. Kalau kamu nggak Tarawih, puasa yang kamu jalani nggak akan sempurna.”
“Sudahlah, Bu.” Terdengar suara Bapak dari ruang tengah. “Mungkin Rara emang lagi capek sekarang, jadi jangan terlalu dipermasalahkan. Biarin dia istirahat. Lebih baik sekarang kita berangkat ke masjid sebelum keduluan ikamah.”
Tanpa perlu membantah, Ibu pun segera berangkat ke masjid bersama Bapak. Aku memghela napas saat suara langkah mereka mulai menghilang. Sebenarnya aku tahu bahwa perkataan Ibu memang benar, tetapi kenapa harus pakai marah-marah, sih? Kan jadi terasa menyebalkan.
Aku mulai membaringkan tubuh, mencoba mengistirahatkan diri. Aku tidak bohong saat mengatakan tubuhku lelah. Badanku terasa pegal-pegal, terkadang kepalaku juga terasa pusing saat digunakan untuk berjalan. Apakah alasan ini masih belum cukup digunakan untuk mengeluh? Aku juga bisa capek. Lagi pula, bukankah Tarawih itu hukumnya sunah? Kenapa jadi terasa wajib begini? Padahal kalau tidak dikerjakan juga tidak akan berdosa, tetapi Ibu memarahiku seakan aku akan berdosa kalau meninggalkan Tarawih.
“Ah, sudahlah …,” gumamku. Kenapa juga aku harus memikirkannya. Lebih baik aku scroll media sosial lagi untuk mengalihkan pikiranku. Kuraih ponsel yang berada di kasur, lalu kembali memainkannya. Aku kembali asyik menikmati berbagai konten yang muncul di beranda media sosial. Jemariku terus scroll dari satu konten ke konten yang lain, sampai akhirnya rasa jenuh mulai menyerang.
Aku menutup ponsel, meletakkannya sembarangan di sampingku, lalu menghela napas lelah. Sungguh membosankan. Bermain ponsel jenuh, tidak main ponsel, tidak tahu mau ngapain.
Aku mendengkus sebal. “Tau gitu mending ikut salat Tarawih aja tadi.”
Karena kepalang jenuh dan tidak tahu mau melakukan apa, akhirnya aku memutuskan untuk keluar rumah dan duduk di teras. Begitu sampai di teras, aku langsung duduk di kursi dan menyandarkan diri dengan nyaman. Aku memejamkan mata dengan perasaan tenang kala merasakan embusan angin yang menerpa wajah. Angin malam memang terasa dingin, tetapi juga terasa menenangkan. Rasa jenuh dan pikiran tidak tenang yang tadi kurasakan kini menghilang seolah dibawa pergi oleh angin malam. Sungguh menenangkan.
“Hayo, Kakak nggak Tarawih, yaaa?”
Rasa tenang yang sejenak kurasakan seketika hancur saat mendengar teriakan seorang gadis kecil dari kejauhan. Dari nada suaranya saja, aku bisa menebak siapa pemilik suara cempreng, tetapi imut itu.
Dan benar saja, saat membuka mata, aku bisa melihat gadis kecil itu berlari ke arahku. Mukena yang masih melekat di tubuhnya itu tidak membatasi tingkah aktifnya. Sesaat aku takut dia tersandung karena berlarian dengan mukena yang masih terpasang lengkap.
“Kenapa Kakak nggak Tarawih?” tanyanya lagi, setelah sampai dan duduk di sebelahku. “Padahal Hana tadi nungguin Kakak di masjid, loh.”
Aku tersenyum gemas melihatnya memasang wajah cemberut. “Maaf, ya. Kakak tadi kecapekan, jadi nggak bisa ikut Tarawih.”
Hana mengangguk, seolah memaklumi alasanku. Gadis kecil itu kemudian mendongak, menatapku dengan binar semangat di kedua matanya. “Tapi besok harus Tarawih, ya!”
Aku terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Inysaallah, kalau nggak ada halangan.”
Hana kembali memasang wajah cemberut. Sepertinya dia tidak suka dengan jawabanku. “Ih, pokoknya harus!” Dia kemudian bergumam, “Padahal Tarawih itu istimewa.”
Aku tersenyum, kemudian bertanya, “Oh, ya? Kenapa Tarawih itu istimewa?”
Hana terlihat sedikit tersentak. Mungkin dia tidak menyangka aku akan mendengar gumamannya dan bertanya. Namun, tak lama setelahnya, wajahnya kembali cerah.
“Karena cuma ada di bulan Ramadan!” Jawaban antusias itu membuatku tertawa karena merasa gemas.
“Terus ya, Kak.” Dia menambahkan lagi. “Kata Ibu, puasa itu nggak sempurna kalau malamnya nggak Tarawih,” katanya dengan nada bijaknya. Gadis itu diam sejenak dan melirik ke arahku dengan mata menyipit. “Hayo, berarti puasa Kakak nggak sempurna, dong!”
Aku tertawa kecil dan mengacak pucuk kepala anak itu yang tertutup mukena. “Pinter banget kamu, ya,” pujiku. Gadis itu kembali memasang wajah cemberut dan mengomel karena mukenanya jadi berantakan karenaku.
“Makasih ya nasihatnya, Ustazah Kecil,” ucapku dengan tulus. Hana langsung semringah mendengarnya. Bukan tanpa alasan aku memanggilnya dengan sebutan ‘Ustazah Kecil’. Itu karena cita-cita anak ini kelak adalah ingin menjadi seorang ustazah. Katanya, dia ingin menjadi orang yang bermanfaat di masa depan, makanya ingin menjadi ustazah.
“Sama-sama, Kakak! Besok harus Tarawih, ya!” Dia mengingatkanku lagi. Sedetik kemudian, gadis kecil itu menepuk keningnya. “Oh, iya. Hana harus siap-siap tadarus!”
“Kayaknya kamu semangat banget ibadah di bulan Ramadan. Kamu nggak pernah ngerasa capek atau jenuh?” tanyaku, penasaran. Aku salut dengan semangat dan antusias gadis kecil itu dalam menjalankan ibadah. Apalagi selama bulan Ramadan ini, anak itu sepertinya semakin kencang lagi ibadahnya. Padahal dia masih kecil, tetapi bisa begitu konsisten dalam beribadah.
“Harus semangat dong, Kak! Ramadan ini bulan yang istimewa. Hana nggak mau rugi karena menyia-nyiakan kesempatan. Cuma di bulan Ramadan, pahala Hana dilipatgandakan, terus doa Hana pasti bakalan dikabulin sama Allah.”
Seketika aku merasa speechless mendengar jawaban yang keluar dari mulut gadis sekecil ini. Aku terdiam selama beberapa detik, lalu bertanya, “Emang Hana mau minta apa?”
Gadis kecil itu tersenyum cerah sebelum menjawab, “Hana mau dicintai Allah, Kak. Hana juga mau dosa-dosa Hana dimaafin sama Allah. Makanya, Hana nggak mau menyia-nyiakan bulan suci Ramadan ini. Di bulan ini, Hana bisa lebih dekat lagi sama Allah.”
Masyaallah, ini beneran anak usia tujuh tahun? Kenapa pemikirannya sudah seindah ini? Aku bahkan tidak pernah sedikit pun tebersit untuk mendapatkan cinta Allah. Yang aku tahu, aku beribadah karena memang diperintahkan untuk beribadah, tetapi anak sekecil ini bisa berpikiran sejauh itu.
“Kak, Hana pulang dulu, ya! Dadah!”
Aku tersentak, tersadar dari lamunanku. Kulihat Hana sudah berlari tanpa menunggu balasan dariku. Anak itu benar-benar tumbuh dengan sangat baik. Orang tuanya pasti sangat bangga memiliki anak yang sehebat itu. Tidak seperti aku yang hobinya cuma makan, tidur, dan membuat Ibu emosi doang.
Mengingat kenyataan itu, aku pun tersenyum kecut. Melihat Hana hari ini menyadarkan aku pada dua hal. Pertama, aku adalah orang merugi di bulan Ramadan. Selama hampir setengah bulan Ramadan ini, aku selalu menyia-nyiakan waktuku. Aku tidak mempergunakan waktuku dengan baik untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Padahal bulan Ramadan ini adalah bulan umat Islam bisa mendapatkan pahala berkali-kali lipat dan pintu ampunan terbuka lebar. Parahnya lagi, aku malah merasa malas untuk salat Tarawih. Aku mengakui bahwa aku malas. Bahkan, mungkin rasa lelah hanya menjadi alasanku untuk tidak Tarawih.
“Perasaan tadi ada yang ngeluh capek.” Sindiran tajam yang tiba-tiba terdengar itu membuatku terkejut. Aku menoleh ke sumber suara dan ternyata itu Ibu yang baru saja datang dengan mukena yang masih terpasang di tubuhnya. Di samping kanan Ibu, ada Bapak yang terlihat menahan tawa. Aku sedikit syok melihatnya. Apakah ini lucu?
Mengabaikan sindiran Ibu dan tawa mengejek Bapak, aku pun memilih untuk menjadi anak baik dengan cara tersenyum ramah. Aku beranjak dari posisi duduk, meraih tangan Ibu, lalu mencium tangannya.
“Maafin Rara ya, Bu,” ucapku tiba-tiba. Hal itu sontak membuat ibuku terkejut dan memasang wajah kebingungan.
“Kamu habis kesambet, ya, Ra?” tanya Ibu dengan badan bergidik. Mungkin Ibu sedikit merinding dengan perubahan sikapku yang tiba-tiba.
Aku tidak menjawab dan hanya menampilkan senyum manis. Kulihat Ibu semakin kebingungan dengan tingkahku.
Ibu menoleh ke arah Bapak. “Anak kamu kenapa sih, Pak? Aneh, deh.”
Ya, dan kedua adalah sadar bahwa aku masih belum menjadi anak yang baik untuk mereka.
***
Tentang Penulis
Anis Nur Aisa yang biasa dipanggil Anis, lahir di Lamongan pada tanggal 18 Juni 2005. Memiliki hobi membaca, terutama membaca cerita fiksi dan sekarang tertarik untuk menjadi seorang penulis. Sangat menyukai cerita dengan genre misteri, aksi, dan fantasi. Membaca cerita fiksi merupakan rutinitas yang sangat dia sukai. Kalian bisa mengunjungi Instagram @benihaksara.

Posting Komentar