[CERPEN] Pesan Cinta di Ujung Ramadan

Table of Contents
ilustrasi menulis pesan melalui surat (pexels.com/Castorly Stock)
Ramadan 1446 H datang disambut tanpa rencana istimewa oleh Nayya dan keluarganya. Awal bulan suci terasa berat, membalut hari-hari mereka dengan bayang-bayang krisis global yang ikut mengguncang kestabilan ekonomi keluarga. Penghasilan pas-pasan hanya cukup untuk kebutuhan harian, tetapi Nayya selalu yakin: Allah tak akan pernah meninggalkan hamba-Nya. 

Dengan iman yang tegar, Nayya menerima takdir dengan lapang dada. Dia percaya, rezeki Allah akan datang pada waktunya, seberat apa pun ujian yang mendera mereka. Keputusannya dan suami untuk tidak mudik ke kampung halaman, di sebuah desa kecil di Pulau Sumatra pun diambil dengan ikhlas. Tidak hanya terbentur dengan harga tiket mahal, tetapi waktu yang terbatas dan tubuh yang letih menjadi alasan yang tak terbantahkan, membuat mereka memilih harus menetap di kota pada Lebaran tahun ini. 

Akan tetapi, di dalam diamnya, Nayya terus bermunajat kepada Allah Swt. Doa-doa panjangnya terus mengalir pelan dalam setiap sujud. “Ya Rabb, jika Engkau izinkan kami membahagiakan kedua orang tua kami saat hari kemenangan nanti, bukakanlah jalan dari arah yang tak kami sangka.” 

Allah telah menyiapkan rencana yang lebih indah bagi Nayya dan keluarganya. Allah menjawab doanya itu dengan cara-Nya. Menjelang akhir Ramadan, datanglah rezeki tak terduga, seperti fajar yang merekah di balik malam kelam. Tiket telah tersedia, waktu yang tersisa sangat bersahabat, dan hati pun dilapangkan. Allah menggerakkan semesta untuk memudahkan langkah mereka pulang melalui tangan-tangan tak kasatmata. 

Kini, Nayya dan suaminya tengah duduk dalam kendaraan menuju kampung halaman, membawa serta harapan dan rencana: membahagiakan orang tua tercinta, baik di pihaknya maupun ibu sang suami. Hati mereka mengembang, penuh syukur dan bahagia. 

Setelah melalui perjalanan yang panjang, akhirnya di sinilah Nayya dan suami. Berada di rumah tua yang menyimpan sejuta kenangan, pelukan hangat dari orang tua Nayya menyambut mereka. Namun, waktu beristirahat harus berganti rumah. Mereka harus pamit menuju kediaman ibu mertua karena kamar-kamar di rumah orang tua Nayya telah lebih dulu diisi oleh saudara dan keponakan yang mudik lebih awal. Meski berat, Nayya tahu, ini juga bagian dari berkah silaturahmi. 

Hati Nayya sempat gelisah menuju kediaman ibu mertuanya. Hadiah apa yang bisa dia bawa untuk sang ibu mertua? Kepulangan mereka yang mendadak tak memberi waktu banyak untuk persiapan. Namun, Allah sekali lagi menunjukkan kasih-Nya. Saudara laki-lakinya mengirim hadiah Lebaran yang tak disangka. Alhamdulillah, Nayya akhirnya bisa membeli biskuit kesukaan sang ibu dan menyisihkan sedikit uang belanja untuk sajian Lebaran. 

Di rumah suaminya, sambutan pun tak kalah hangat. Mata Emak bersinar penuh haru, pelukannya menenangkan, dan tawa keponakan-keponakan menjadi lagu yang mengiringi kedatangan mereka. 

Besok adalah 1 Syawal 1446 H. Hari kemenangan. Suara takbir berkumandang setelah azan Magrib, menjadi tanda bahwa berakhirnya hari terakhir berpuasa di bulan Ramadan. Selepas berbuka dan makan malam bersama di rumah orang tua Nayya, suasana rumah berubah syahdu. Wangi rendang, gulai ayam dan lontong sayur bercampur dengan aroma nostalgia masa kecilnya.

Malam itu, setelah lelah silaturahmi, Ibu dan Apak mengumpulkan seluruh anak dan menantu. Ruang tengah menjadi lingkaran cinta, tempat keluarga berkumpul dengan rasa penuh haru. Awalnya tak ada yang tahu apa yang akan disampaikan, tetapi tatapan mata Ibu dan Apak penuh isyarat firasat Nayya mengatakan bahwa ini bukan sekadar obrolan biasa. 

“Kami sudah tua,” ucapnya dengan suara berat, tetapi  penuh keyakinan. “Tak seorang pun tahu kapan Allah akan memanggil kami.” 

Nayya membeku. Kata-kata itu menghantam hati Nayya seperti datangnya badai di tengah kesunyian. Ruangan yang semula dipenuhi canda mendadak menjadi lautan bisu. Wajah-wajah saudara Nayya berubah pucat. Seperti halnya Nayya, mereka tahu, ini bukan percakapan biasa. 

Apak dan Ibu kemudian menjelaskan bahwa mereka ingin membicarakan tentang warisan, tentang harta yang kelak akan ditinggalkan, dan bagaimana mereka ingin semuanya diatur sesuai syariat Islam. Mereka tak ingin sengketa atau luka di antara anak-anak yang mereka cintai. 

Akan tetapi, sebelum itu, Apak menambahkan satu hal yang membuat semuanya tercenung: dia mengingatkan mereka semua, terutama para menantu laki-laki dan anak laki-laki, tentang sighat taklik talak yang tertulis dalam surat nikah. 

“Jangan pernah lupa,” kata Apak, suaranya bergetar dan tegas. “Kalian mengucapkan janji agung di hadapan Allah. Itu bukan sekadar ritual. Itu adalah sumpah yang Allah saksikan, berupa tanggung jawab, amanah, perlindungan bagi istri kalian.”  

Nayya melihat beberapa menantu laki-laki dan abangnya menunduk, mendengarkan dalam-dalam. Nayya tahu, mereka semua sedang menimbang kembali beratnya amanah itu. Nayya merasa sangat bangga kepada Apak. Betapa dia peduli pada keberlangsungan rumah tangga anak-anaknya, bahkan sampai pada detail sighat taklik yang sering terlupakan. 

Lalu, Ibu pun menambahkan, dengan nada lembut dengan sarat makna. 

“Tidak ada rumah tangga yang sempurna. Kalian semua membawa kelebihan dan kekurangan masing-masing, tetapi jangan pernah lupa untuk selalu rukun, saling menerima dan memaafkan. Jangan terlalu cepat menyerah hanya karena satu atau dua luka kecil.” 

Kalimat itu seperti pelita yang menyala dalam hati Nayya. Ia merasa bangga memiliki orang tua yang tak hanya bijak dalam kata, tetapi juga dalam cinta. 

Masyaallah, betapa dalamnya cinta kedua orang tua Nayya. Tak hanya kepada Nayya dan saudaranya sebagai anak, tetapi juga kepada rumah tangga yang dibangun anak mereka. Mereka tidak hanya ingin melihat anak-anaknya bahagia, tetapi juga ingin kebahagiaan itu berakar kuat dan tumbuh dalam cahaya sakinah, mawadah, dan rahmah. 

Kemudian, Ibu mengeluarkan kotak kecil dari lemari yang ada di kamarnya. Di dalam kotak itu, perhiasan emas yang selama ini Ibu simpan dengan baik. Dia memberikannya satu per satu dompet kecil berisi perhiasan emas itu kepada anak perempuan dan menantu perempuan. Tangan Nayya gemetar saat menerimanya. Perhiasan itu terasa hangat, seolah membawa jejak tangan Ibu yang dahulu menyusui, membimbing, dan merawat Nayya dan semua saudaranya. Perhiasan itu bukan sekadar logam mulia, ia menyimpan kenangan, doa, dan cinta tak terhingga. 

Akan tetapi, di balik kehangatan itu, ada rasa sakit yang tak terlukiskan. Nayya masih menyimpan luka atas kehilangan orang yang tercinta. Mendengar orang tuanya berbicara tentang perpisahan membuat dada Nayya terasa sesak. Dia belum siap untuk kehilangan lagi.

“Tidak sekarang. Jangan sekarang, ya Allah …,” batinnya berbisik lirih. Namun, siapa manusia yang bisa menunda takdir? 

Air mata jatuh perlahan hingga isak tangisnya terdengar makin deras dan mengguncang tubuhnya. Nayya bangkit dan memeluk erat ibunya, seolah ingin membekukan waktu.  

“Maafkan aku, Bu, Apak … jika selama ini aku selalu membuat kalian susah hati ….”

Malam itu, dalam perjalanan balik menuju rumah mertuanya, Nayya hanya diam. Angin malam membelai wajahnya, membawa pesan rindu dan refleksi. Suaminya memahami dan tanpa kata, dia memperlambat laju motor mereka.

Keesokan harinya, setelah matahari pagi menembus jendela rumah dan gema takbir mulai meredup, Nayya duduk sendirian di beranda. Dompet kecil itu hanya dilihatnya tanpa dibuka sama sekali. Hati Nayya masih perih dan pikirannya dipenuhi tanda tanya. 

Lalu terlintas dalam ingatannya khotbah terakhir Rasulullah saw. di Padang Arafah. Wasiat terakhir beliau bukan tentang harta, melainkan tentang nilai hidup. Di dalam khotbah itu, beliau menyampaikan pesan-pesan mendalam kepada umatnya. Beliau tahu, ajalnya sudah dekat, dan ingin meninggalkan wasiat terakhir, tetapi bukan tentang harta, melainkan tentang nilai-nilai yang harus dipegang umat Islam sepanjang zaman. 

“Wahai umatku, dengarkanlah baik-baik kata-kataku. Sebab aku tidak tahu apakah aku masih bisa bertemu dengan kalian setelah tahun ini ….” 

Dan, Nayya pun menangis, seperti cermin dari malam kemarin, saat Apak dan Ibu mengatakan bahwa mereka tak tahu kapan Allah akan memanggil. Ada kesamaan yang tak bisa dia mungkiri. Keduanya menyampaikan pesan perpisahan dan berkeinginan memastikan bahwa yang mereka tinggalkan adalah kebaikan, kedamaian, dan nilai-nilai keislaman yang akan hidup jauh bagi anak-anak dan keturunannya setelah mereka tiada. 

Rasulullah saw. tidak meninggalkan emas atau istana, tetapi teladan, kasih, dan akhlak mulia.  

Begitu pula orang tua Nayya. Mereka memang tak memberi warisan materi yang berlimpah, tetapi mewariskan lebih dari itu. Warisan berupa nilai, cinta, dan tanggung jawab sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan sunah.

Malam harinya, Nayya kembali berdoa. Kali ini dengan lebih tenang. “Ya Allah,” pintanya lirih, “jika ini adalah bentuk cinta mereka, bimbinglah aku untuk menjadikannya sesuatu yang Engkau ridai.” 

Dalam keheningan malam itu, Nayya menemukan jawaban. Mungkin sebagian dari perhiasan ini bisa menjadi tabungan masa depannya. Mungkin juga bisa dijadikan sebagai modal usaha kecil yang bermanfaat tidak hanya bagi keluarganya, tetapi juga orang lain. Bisa jadi, satu bagian bisa dijadikan wakaf untuk pondok pesantren atau yayasan pendidikan Islam. Yang pasti, Nayya ingin menjadikannya sebagai bagian dari amal jariah bagi kedua orang tuanya 

Nayya kini mengerti bahwa setiap pemberian memiliki makna lebih dalam jika kita melihatnya dengan hati yang lapang meskipun pemberian itu datang dengan air mata dan rasa takut kehilangan. Mungkin, dengan inilah cara Allah mengajarkannya tentang arti kehilangan, penerimaan, dan keberkahan di balik setiap takdir-Nya. 

Lebaran tahun ini, Allah memberi Nayya begitu banyak kejutan tak terduga. Bukan berupa hadiah besar atau perjalanan mewah, melainkan momen yang menyentuh relung terdalam dan mampu mengubah pandangan hidupnya. Nayya diberi kesempatan untuk pulang ke kampung halaman, menyentuh tanah kelahiran, memeluk orang tua dan mertuanya serta menerima pesan cinta terakhir yang mungkin tak akan terulang. 

Nayya tidak tahu apakah ini Lebaran terakhir baginya bersama mereka. Namun, Nayya tahu satu hal, “Aku harus menjadikan setiap detik yang tersisa sebagai ladang amal dan menjadi jalan untuk mencintai lebih dalam, serta sebagai cara untuk lebih dekat kepada-Mu.” 

Nayya pun tahu, selama dia menjaga amanah ini dengan hati yang bersih dan niatnya lurus, cinta orang tuanya seperti cinta Rasulullah saw. kepada umatnya akan selalu hidup dalam setiap langkahnya, abadi dalam nilai kehidupan, suci dalam niat, dan mengakar di dalam hati yang bertauhid.

***

Tentang Penulis

Cindiana Famelia memiliki nama pena Melia, adalah seorang ibu rumah tangga yang aktif menulis kisah inspiratif dan artikel baik di blog ataupun media online. Beliau sering mengangkat kisah-kisah keluarga, cinta, dan kehidupan dengan sentuhan reflektif dan spiritual. Bagi Melia, menulis adalah cara meregulasi emosi, merawat kenangan, dan menebar kebaikan melalui untaian kata.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar