[CERPEN] Ramadhan, Jiwa yang Tangguh di Perantauan

Table of Contents
ilustrasi laki-laki di perpustakaan pexels.com/Mikhail Nilov)
Ramadan harus menjemput bulan suci kali ini dengan tugas kuliah yang seabrek, deadline yang meraung-raung minta dikumpul, dan project organisasi yang mendesaknya agar bisa memanajemen waktu dengan baik.

“Mokel yuk, Ram!” ajak salah satu teman sebangku Ramadan.

“Gue baru mokel kalau udah azan Magrib,” jawab Ramadan tak acuh dan masih fokus mengerjakan project organisasi yang akan dikumpul sore nanti.

Aqil, teman sebangku Ramadan bermuka masam.

“Gue ingin nyebat ini. Asam banget mulut gue.”

Ramadan mengalihkan fokusnya dan melihat temannya yang sudah lesu di jam 1 siang. “Lo nggak sahur, bro?”

“Nggak, gue bahkan nggak niat puasa karena begadang ngerjain laporan sampai subuh karena tau besok paginya kuliah,” jawab Aqil santai.

“Gue  juga begadang. Tapi, ya tetap sahur. Itulah tantangannya di bulan Ramadan, lo bisa nahan nafsu atau enggak. Bukan hanya nafsu makan. Lo ngajakin gue mokel, padahal aslinya lo emang nggak niat puasa. Artinya lo memang nggak puasa sebenarnya. Mokel itu cuma buat orang yang puasa.” Ramadan berdecak. Aqil yang mendengar ceramah Ramadan itu hanya terkekeh.

“Tapi, serius deh, lo kuat banget, Ram, puasanya. Gue nggak mendiskriminasi gender ya, tapi spesies laki-laki itu memang normalnya kebanyakan nggak puasa nggak, sih? Ibarat kata nih, cowok-cowok itu memang pada dasarnya bandel di masa mudanya. Kalau mokel mah, nggak melanggar hukum. Liat tuh, kantin masih banyak penghuninya laki-laki, bahkan nyebat. Lagian, dosa itu hubungan Tuhan dan masing-masing pribadi,” terang Aqil sembari menyilangkan kedua tangan, menatap kantin yang mulai ramai di balik pintu kelas yang terbuka.

“Berarti yang lo liat mah cowok yang bandelnya aja. Kalau muslim mah nggak bakalan mandang cewek atau cowok. Kalau udah tahu puasa wajib, ya mau lo sebandel apa juga pasti bakalan puasa. Dengan menormalisasikan, berarti lo sedang mencari pembenaran atas apa yang sebenarnya nggak normal dilakukan, hanya melihat banyak fenomena yang terjadi di sini. Menurut lo itu nggak adil, karena lebih banyak cowok yang nggak puasa ketimbang yang puasa, padahal puasa itu wajib, tapi mereka masih nyaman-nyaman aja hidupnya nggak puasa.”

“Nah, itu dia! Gue itu sebelum kuliah, tiap tahun puasanya nggak ada yang bolong. Tapi semenjak merantau dan kuliah di sini, gue culture shock melihat kantin yang ramai di bulan Ramadan, apalagi siang bolong gini.” Aqil mengelus perutnya ketika melihat seorang penjual menyajikan makanan di salah satu meja. “Enak banget tuh baksonya ditemani es teh.” Spontan Aqil meneguk salivanya.

Ramadan tertawa, kemudian membereskan barang-barangnya. Aqil yang mendengar grasak-grusuk di sampingnya menoleh dan mengernyit heran. “Lo mau ke mana?” tanya Aqil.

“Gue nggak bisa maksa, tapi setidaknya gue udah ingetin lo. Gue bisa nemenin lo di kantin kalau emang lo udah nggak bisa nahan lapar,” jawab Ramadan santai.

Mata Aqil berbinar-binar mendengar itu dan tiba-tiba lesu, lapar dan capeknya menguap begitu saja. Di pikirannya saat ini, ilustrasi gambar menu Bakso Kocak Mba Ratu, Nasi Goreng Nyambar Ibu Wati, Seblak Nyablak Mas Joko, dan Ayam Geprek Dulu Baru Mikir Pak Joni berkeliling ria di imajinasi Aqil, bahkan berebut meminta menu apa yang harus disantapnya siang ini.

***

Ramadan tertawa terbahak-bahak melihat beberapa kantong plastik yang dipegang oleh Aqil. Mereka saat ini menyusuri lorong dan Aqil terlihat mencolok karena bawaannya itu, apalagi kantong plastik bening, bisa dilihat siapa saja bahwa kresek belanjaannya itu dipenuhi makanan.

Aqil yang tidak tahan dengan lirikan-lirikan itu langsung berlari ke kelas, untung saja jarak kantin dan kelas tidak terlalu jauh. Ramadan yang ditinggalkan memegangi perutnya, berusaha mengontrol tawanya karena masih teringat kejadian di kantin tadi yang mengurung niat Aqil untuk mokel hanya karena celetukan anak kecil.

“Ibu, alhamdulillah puasaku sampai sekarang nggak ada yang bolong!” celetuk anak kecil yang ada di salah satu stan kantin. Aqil sedang menunggu pesanannya dan Ramadan duduk di salah satu bangku yang tak jauh dari stan itu.

“Bagus, teruskan!” jawab ibunya, tersenyum yang sibuk menyiapkan pesanan Aqil.

“Kamu masih kelas 2 SD dan kalau sudah tidak tahan, mau makan, bilang, ya! Ini kan kamu latihan karena kamu sepakat tahun depan bakalan sama sekali nggak ada yang bolong.” 

Aqil yang terlihat sibuk main game sebenarnya mencuri dengar percakapan Ibu Wati dan anaknya itu, apalagi anaknya itu juga terlihat masih energik sepulang sekolah di tengah teriknya matahari—ditandai dengan seragam sekolah merah putihnya yang masih melekat dan anak sekecil itu juga membantu ibunya di stan. Anak kecil yang diketahui bernama Aldo—sering kali Aqil mendengarnya dipanggil demikian, kini membantu ibunya membungkus makanan yang dipesan oleh Aqil.

“Ini pesanannya, Kak!” seru Aldo menghampiri Aqil.

Dengan senyum polos yang menampilkan deretan giginya, Aldo menambahkan, “Terima kasih, Kak. Selamat berbuka!” Aqil menyeringai malu, berharap lantai menelannya saat ini juga apalagi yang antri bukan dia seorang tapi ada beberapa cewek juga.

Tentu saja suara Aldo bisa didengar oleh Ramadan, beruntung di bangku itu hanya dia seorang yang mendengarnya.

***

Kejadian itu mengurungkan niat Aqil untuk mokel, apalagi pada saat Aldo dengan polosnya berkata demikian, Aqil sudah telanjur menyiratkan sesuatu bahwa pesanan itu untuk makanan berbuka puasa nantinya dan cewek-cewek yang mengantre itu hanya ber-oh ria dengan senyum kikuk yang misterius.

“Kenapa nggak makan bareng kita tadi, Qil?” seru Devan melihat tentengan Aqil.

Aqil tersenyum kecut dan duduk di bangkunya. “Tiba-tiba gue dapet hidayah biar nggak jadi mokel, bro!” 

“Ya elah, padahal baru juga mau gue panggil lo buat nyebat di luar.”

Ramadan yang menyusul masuk di kelas menyeringai. “Lain kali, bro, kita nyebatnya.”

“Lo mah nggak bakalan gue tanya karena pasti lo puasa. Tumbenan aja gue liat Aqil, kayaknya gue harus sebangku sama lo, Ram, biar gue juga dapet hidayah kuat puasa.” Devan terkekeh.

***

Ramadan merupakan cowok langka di kelasnya karena dari semester satu kuliah sampai semester empat, dia satu-satunya mahasiswa laki-laki di kelasnya yang tidak pernah bolong puasanya di bulan Ramadan dan kuat menolak ajakan bak bisikan setan itu. Ketika ditanya mengapa demikian, dia hanya menjawab dengan sederhana sesuai namanya, Ramadan. Dia mewakili tanggung jawab penuh untuk tidak meninggalkan puasa di bulan Ramadan seberat apa pun kondisinya, kecuali jika memang ada uzur yang membatalkan puasa. Itu pesan orang tuanya, ingin Ramadan menjadi laki-laki yang bisa mengendalikan dirinya.

Azan Asar pun berkumandang. Ramadan menghentikan aktivitas mengerjakan project organisasinya.

“Gue salat dulu, ya. Tolong jagain project gue, bro!” Ramadan beranjak dari kursi dan bergegas keluar kelas, tetapi Aqil malah menyusul di belakangnya.

“Masa puasa nggak salat? Kayak makan tanpa minum.” Aqil menyeringai menjawab ekspresi heran Ramadan.

***

Sehabis salat berjemaah di musala, Ramadan buru-buru pamit.

“Gue harus ke sekret secepatnya. Gue udah ditungguin.” 

Aqil mengangguk dan tetap tinggal mendengar kajian. Dia juga tidak punya jadwal kuliah di sore hari dan bukan anak organisasi. Nongkrong juga sepertinya bukan waktu yang tepat, apalagi tonkrongannya dipenuhi oleh orang-orang yang setipe sama dia, tidak puasa. 

Gue rindu banget sama Ibu dan Bapak, batinnya tiba-tiba menguapkan rindu yang mendalam kepada kedua sosok yang sudah 2 tahun tidak ditemuinya. 

Aqil tidak pernah pulang selama 2 tahun ke kampung halamannya karena memikirkan tiket pesawat yang begitu mahal serta kondisi ekonomi keluarganya yang hanya cukup membiayai sekolah adiknya serta kebutuhan sehari-hari keluarga kecilnya. Biaya yang dipakainya saat ini murni dari beasiswa dan hasil kerja freelance yang dia lakukan. Jika ada lebihnya, dia sisihkan separuh gaji untuk dikirimkan ke keluarganya. 

Saku celana Aqil bergetar, untung saja handphone-nya sudah di-mute sebelumnya. Aqil beranjak dari duduknya dan keluar untuk mengangkat panggilan tersebut.

“Halo, Nak,” sapa Bapak di seberang sana.

“Alhamdulillah … Ramadan kali ini kita bisa berkumpul lagi. Bapak lupa cerita kalau Bapak dapat kerjaan dan terhitung sebulan Bapak sudah bekerja dan gajian. Ibu dan adikmu rindu, Qil. Ada rezeki lebihnya, Bapak akan bayarin tiketmu pulang. Jadi, sekarang kamu cek harga tiket pesawat termurah dan cari jadwal secepatnya untuk pulang. Minggu depan sudah libur, kan?”

Penjelasan Bapak yang mendadak itu membuat Aqil terdiam sebentar.

“Iya. Bapak kerja apa?”

“Ada proyek di desa, beberapa bangunan sepertinya ruko-ruko, dan bapak salah satunya dipanggil kepala desa juga jadi tukangnya.” Dari suaranya, Aqil bisa membayangkan wajah berseri bapaknya saat ini.

“Baiklah. Aqil bakalan kabarin kalau tiketnya sudah dipesan.”

“Nanti Bapak ganti uangmu, jadi berkabar saja nominalnya berapa ya, Nak.”

“Iya, Pak.” Aqil tersenyum, kemudian berdeham.

“Bapak, masih puasa di tengah kerjaan?” tanya Aqil hati-hati.

“Alhamdulillah Bapak masih kuat. Entah kenapa rasanya ringan mengerjakan pekerjaan fisik seberat ini karena Bapak niatnya puasa karena Allah dan semoga rezekinya berkah untuk kita semua. Apalagi didukung sesama rekan kerja yang juga sama-sama puasa. Kalau capek, kami tidur sebentar baru dilanjut lagi. Bapak benar-benar bahagia dapat pekerjaan, Nak.” 

Aqil tertohok mendengar perkataan bapaknya. Selama ini, Aqil selalu dinasihati oleh keluarganya untuk tetap berpuasa. Namun, karena tidak ingin mengkhawatirkan keluarganya, dia berbohong bahwa selama ini dia tetap puasa walaupun kenyataannya berbeda.

Selesai bicara dengan Bapak, dia langsung pulang ke kos dan merenungkan hikmah dari semua kejadian yang terjadi hari ini dan tak terasa azan Magrib berkumandang. 

Aqil buru-buru berbuka puasa dengan makanan yang dibelinya di kantin tadi. Tak lupa membaca doa buka puasa sebelumnya.

Selama seminggu Ramadan telah berlalu, Aqil baru berhasil puasa sehari. Semua kejadian hari ini membuatnya bertekad untuk besok dan seterusnya, dia akan mulai berpuasa dan mencoba untuk mengendalikan diri di bulan Ramadan ini. Apalagi semenjak kuliah, dia sudah kecanduan rokok dan berdalih sebagai hiburan di kala stres. Dia benar-benar tidak ingin menambah beban dengan sakit nantinya. Allah sudah baik mempertemukan dia dan keluarganya berkumpul di bulan Ramadan kali ini.

***

Tentang Penulis

Jihan Dhiya Ulhaq Idris, akrab disapa Jihan adalah perempuan kelahiran November yang gemar menjelajahi dunia melalui film, buku, dan menulis. Imajinasi liarnya mendorongnya untuk menciptakan karya fiksi yang kelak meninggalkan jejak di hati pembaca. Setelah sempat terhenti, kini ia kembali merangkai kata, menuntaskan kisah yang menanti untuk diceritakan. Ikuti perjalanannya di Instagram: @jihandhiya29.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar