[CERPEN] Rumah yang Menanti
![]() |
ilustrasi rumah (pexels.com/Pixabay) |
Jam dinding di kamar asrama menunjukkan pukul 20.00 malam. Oh iya, hari ini usiaku genap 22 tahun, loh, dan beberapa hari ini aku sedang mempersiapkan diri untuk acara wisuda yang akan digelar pekan depan.
Seperti biasa sebelum beranjak tidur, aku menulis keseharianku di buku diari. Selain sebagai bentuk refleksi, menulis diari juga bisa mengurangi stres. Namun, tiba-tiba gerakan penaku terhenti tatkala kenangan itu kembali muncul.
“Jangan salahkan Bapak kalau suatu saat kamu menyesal dengan pilihanmu,” Sahut Bapak di ruang keluarga sore itu. Saat matahari belum sepenuhnya tenggelam.
***
Pemandangan waktu di sore hari menemani aku, Ibu, dan Bapak yang tengah duduk di kursi taman sambil membicarakan perihal jurusan kuliah.
“Pak, sudah Raka bilang kalau Raka nggak tertarik dengan politik,” ucapku berusaha meyakinkan Bapak.
“Ini bukan masalah tertarik atau tidaknya kamu dengan politik. Ini masalah peluang yang bisa kamu dapatkan lebih banyak. Ketika lulus nanti, kamu akan mudah ke depannya. Bapak punya banyak kenalan di dunia politik, kamu seharusnya merasa beruntung, Raka,” jawab Bapak menasihati.
“Raka akan tetap memilih jurusan yang sesuai dengan cita-cita Raka, Pak,” balasku berharap Bapak mau mengerti meskipun tahu tak akan semudah itu.
Percakapan kami terhenti saat azan Magrib berkumandang. Selepas salat Magrib, Ibu mengetuk pintu kamarku yang tak terkunci. Ibu masuk lalu duduk di tepi ranjang. Ibu memandangku dengan tatapan sedih.
“Raka,” panggil Ibu.
“Iya, Bu,” jawabku menatap wajah cantik Ibu meskipun usianya sudah setengah abad. “Kalau Bapak bicara, diam dan dengarkan, Nak. Itu lebih baik,” tegur Ibu, mengalun lembut suara khasnya.
“Maaf, Bu. Tapi kali ini nggak bisa. Raka juga punya pilihan sendiri untuk masa depan Raka. Selama ini Bapak nggak pernah ngasih kesempatan Raka untuk memilih.” Aku meraih tangan Ibu, berharap kali ini Ibu bisa merasakan keinginan yang sudah lama aku impikan.
Ibu terdiam, memandangku dengan mata teduhnya. Menenangkan. Sambil tersenyum, Ibu berkata, “Ya sudah, Ibu percaya sama kamu. Ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik buat kamu, dan mengenai Bapak, Ibu akan coba untuk bicara. Kamu jangan marah, ya, sama Bapak. Semua orang tua pasti ingin memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya.” Ibu tersenyum, mengangguk, meyakinkan aku bahwa semua pasti bisa dilewati. Ia pamit pergi meninggalkan kamarku.
***
Keluarga besar Bapak adalah para pemangku kepentingan di pemerintahan. Bapak sendiri juga bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). Bapak sendiri tumbuh dan besar di keluarga yang disiplin, keras, penuh ambisi, dan tentu saja harus manut dengan pilihan keluarga. Lalu, bagaimana dengan Ibu? Ibu sendiri lahir dan besar dari keluarga yang membebaskan anggota keluarganya untuk memilih jalan hidup sesuai dengan bakat dan keinginannya masing-masing.
Bapak tak pernah setuju dengan pilihanku, tak pernah mau menerima telepon dariku selama di perantauan, bahkan sampai saat ini.
Pak, pekan depan Raka wisuda, batin Raka. Ada perasaan sedih dan kecewa menyelimuti hati. Pergi dan merantau untuk menuntut ilmu tanpa restu Bapak. Fakultas Pendidikan Teknologi dan Keguruan (FPTK) Prodi Pendidikan Tata Boga di Kota Bandung menjadi pilihanku. Aku mencoba mencari berbagai peluang dan relasi untuk membantu membuatku berkembang, misalnya dengan magang di industri kuliner, membuat konten kuliner, dan masih banyak lagi. Sebenarnya ada alasan lain, aku ingin Bapak percaya bahwa aku tidak salah memilih jurusan. Aku yakin dan siap menanggung konsekuensinya.
Aku menghela napas panjang, menutup buku diari. Aku tatap sambil kuusap buku ini. Tak kusangka, buku ini yang menemani di setiap perjalananku. Sampulnya sudah usang. Meskipun begitu, isinyalah yang berkesan. Semua duka ria tertulis rapi di setiap lembarannya.
Aku menyeka kedua ujung mataku. Setiap kali mengingatnya, emosi itu selalu hadir. Seolah berkata, “Raka, kamu enggak salah. Terima kasih, memilih bertahan.” Semua kekhawatiran yang kurasakan seperti hilang menguap di udara. Aku kembalikan buku ke tempatnya sembari beranjak pergi mengambil air wudu, lalu tidur.
***
Alarm berdering. Pukul 03.18 pagi, waktunya sahur. Dulu, sebelum merantau, sahur bersama adalah hal yang wajib dilakukan, mau kamu makan atau enggak, yang penting kumpul di meja makan. Semua kenangan itu yang kurindukan. Kupikir akan baik-baik saja saat sahur seorang diri, tetapi perasaan sepi itu nyata menghantui. Setelah sahur, aku bersiap mandi, lalu pergi menjalankan kewajiban seorang muslim untuk salat ke masjid—kebetulan kosanku berdekatan masjid—salah satu hal yang aku syukuri.
***
Waktu cepat sekali berlalu. Kemarin sore, aku mengirim pesan ke Ibu bahwa acara wisudaku tujuh hari lagi. Aku pikir mungkin mereka masih sibuk karena jadwal pekerjaan Bapak padat. Namun, sampai saat ini aku belum menerima telepon dari Ibu. Biasanya Ibu akan segera membalas pesanku meskipun lewat beberapa menit.
Ponselku berdering, kulirik sekilas tercantum nama ‘Ibu’ di layar, segera aku mengangkatnya. Terdengarlah suara yang sangat aku rindukan.
“Assalamu’alaikum, Nak Raka.”
Aku tersenyum, tetapi perasaan khawatir itu belum hilang. “Wa’alaikumussalam, Ibu. Ibu apa kabar? Bapak bagaimana kabarnya? Kemarin Raka WhatsApp, Ibu sudah baca, kan? Keadaan di rumah baik-baik saja, Bu? Ibu buat Raka khawatir, nih,” desakku dengan tidak sabar. Astaga, Raka! Kamu menghujani ibumu pertanyaan seolah telah melakukan kesalahan besar!
Aku gelisah. Entahlah. Satu menit terlewati, suara Ibu tak terdengar. “Ibu?” panggilku sekali lagi.
“Raka, kamu bisa pulang hari ini, Nak? Bapak sakit. Sudah dua hari di rumah sakit.”
Perasaan gelisah itu ternyata benar. Meskipun terhalang jarak, ia tidak berbohong. “Bapak sakit apa, Bu?” Dari seberang, terdengar ramai sekali seperti sedang berkumpul di satu tempat.
“Kamu bisa kan pulang? Ibu tunggu, ya, Raka.” Sambungan dimatikan. Ibu tidak menjawab pertanyaanku dan belum mendengar jawabanku.
Menghela napas, aku dilema. Bukannya tidak ingin pulang, hanya aku belum siap bertemu Bapak. Apa ini waktu yang tepat? Lamunanku buyar saat suara azan mulai berkumandang. Kulirik jam dinding menunjukkan pukul 12.00 WIB. Aku beranjak, segera menuju masjid.
Kini hatiku merasa lebih tenang dan semakin yakin untuk pulang. Aku duduk di sisi kasur setelah menata pakaianku ke dalam koper. “Raka akan pulang, Pak … Bu ….” Aku tersenyum semringah. Aku melirik beberapa perlengkapan yang telah selesai di-packing. Tak banyak, hanya beberapa baju dan oleh-oleh. Semuanya telah siap, aku menarik napas dan berdoa. “Semoga perlindungan Allah senantiasa menyertai langkahku.”
Melalui rute Bandung-Solo, sekitar 7 jam 30 menit menaiki kereta api Ciremai. Lalu, keberangkatan pukul 06.15 WIB, tujuannya Stasiun Semarang Tawang. Lalu, aku lanjut menaiki taksi sekitar 40 km.
Tak terasa aku telah sampai. Rumah yang dulu kutinggali bersama Bapak dan Ibu, yang berisi canda tawa penuh cerita, sekarang aku berada di depan rumah itu. Aku mengetuk pelan pintu rumah. “Assalamu’alaikum, Bu? Ini Raka,” ucapku yang telah beberapa kali mengetuk dan mengucap salam.
Tak berselang lama, Bu Yanti, tetangga akrab Ibu datang menghampiriku. Terlihat raut wajahnya yang gelisah, tetapi ada suatu hal yang ingin dibicarakannya denganku.
“Maaf, Nak Raka, Ibu sama Bapak … Bapak, sakit parah dan semalam dibawa ke rumah sakit.”
Sebentar, hei! Apakah aku lupa jika Bapak masih dirawat di rumah sakit?
“Maaf, Bu, kemarin Ibu tidak memberitahuku mengenai di mana rumah sakit Bapak dirawat. Apa Bu Yanti tau di mana Bapak dirawat?” tanyaku.
“Bapak dirawat di Rumah Sakit Setia Hati, Nak Raka.”
“Baik, Bu Yanti, terima kasih.”
Aku berjalan cepat, menyusuri lorong rumah sakit sembari mencari nomor kamar Bapak yang sedang dirawat. Langkahku terhenti kala menemukan kamar yang kucari sedari tadi, akhirnya ketemu. Tanpa sadar, air mataku membasahi pipi. Hingga sepasang mata menatapku dari dalam kamar dengan senyuman cantiknya, menghampiriku, lalu membuka pintu kamar dan langsung memelukku. Pandanganku beralih menatap Bapak yang kini tengah terbaring. Tak kuasa menahan tangis, aku memeluk Bapak begitu erat. Seakan-akan tak mau jika harus berpisah kembali dengan malaikat yang kusayangi itu.
“Maafin Raka, Pak ….” Maaf, kata yang terus kuucapkan kepada kedua malaikatku itu. Seperti sudah tidak ada kata lain selain kata maaf.
“Bapak juga minta maaf sama kamu. Selama ini, Bapak terlalu memaksakan keinginan Bapak tanpa mendengarkan pendapatmu.” Suaranya gemetar.
“Sebentar lagi Raka lulus, Pak. Jadi, Raka bisa menghabiskan waktu bersama Ibu dan Bapak.”
“Berapa hari lagi kamu wisuda, Raka?” tanya Bapak, tak lama beliau mengangguk ketika aku menjawab bahwa wisudaku tinggal menghitung enam hari lagi.
***
Dalam hidup, seringnya kita dihadapkan oleh dua pilihan. Keduanya, tentu ada yang harus kita korbankan. Ketika apa yang kamu yakini tidak membuat mereka bahagia, bukan tanggung jawab kamu untuk melepaskannya. Kamu berhak memilih walaupun tak lagi dihargai. Tugasmu adalah membuktikan bahwa pilihanmu bisa melahirkan sebuah keberkahan.
Alhamdulillah, kini kondisi Bapak sudah membaik. Dan kabar baiknya, hari ini aku lulus dengan nilai IPK tinggi dan itu cukup memuaskan. Karena perjalanan dan perjuangan hidupku selama kuliah, juga tidak semudah yang aku bayangkan. Terlebih, hidup merantau, jauh dari orangtua.
Hari ini aku lulus, kedatangan Bapak dan Ibu di Bandung, membuat momen ini semakin berharga. “Bapak … Ibu … sehat-sehat, ya, temani Raka berproses.”
Keluarga adalah rumah bagi jiwa, lebih dari sekadar tempat tinggal, keluarga adalah tempat kita merasa pulang, tempat kita diterima apa adanya, tanpa syarat.
Aku telah berani memilih jalan kehidupanku sendiri. Dengan tekad kemandirian, aku akan bertanggung jawab atas apa yang telah aku pilih.
***
Tentang Penulis
- Hai, namaku Indri Ardariswari, orang-orang biasa memanggilku Indri. Aku suka membaca dan menulis. Oh iya, aku juga suka berkebun loh, yuk mengenal lebih jauh lewat sosial medianya @ardariswariindri.
- Hai, aku Hadijah. Menemukan keindahan dalam seni bertutur melalui tulisan. Dengan nama lengkap Siti Hadijah, aku juga mulai aktif mengembangkan diri melalui berbagai program menulis dan telah berhasil menorehkan tinta dalam dua karya yang lahir dari buah pemikiran. Kunjungi Instagramku @shasithaa_ ayo, berteman!
- Halo! Perkenalkan namaku Adinda Qur’Aini yang kerap dipanggil Dinda. Selain hobi menyibukkan diri dengan membaca, menulis, dan fokus dalam dunia organisasi, aku juga suka musik, loh! Yuk! Berkunjung di Instagramku untuk berteman @dn.qrn.
Posting Komentar