[CERPEN] Serpihan Cahaya Dita

Table of Contents
ilustrasi bunga berwarna-warni (pexels.com/Pixabay)
Bising, membuat telinganya berdenging. Lagi-lagi Bapak dan Ibu berperang lidah. Selanjutnya, suara benturan kaca dan kaca. Setelah ini Dita harus memunguti serpihannya seperti biasa. Padahal, kelingkingnya masih terluka. Sama seperti janji mereka kepada Dita saat dirinya jauh lebih muda. Muram di wajahnya begitu hampa hingga rasanya ingin sejenak menghilang, melupakan dunia dan seisinya.

Di sekolah, Dita tidak tahu apa keahliannya. Karena selama ini, mempertahankan kewarasannya adalah kemampuan bertahan hidup paling dasar untuknya. Seperti dua jiwa, diri Dita di antara teman sebayanya sungguh berbeda. Tidak akan ada yang menyangka kalau senyuman manisnya hanya topeng semata. Tanpa teman untuk berbagi cerita, gadis itu akan menjalani hari-harinya seperti di dua dunia. 

Setiap nasihat atau kata-kata bijak yang sering Dita dengar melalui media sosialnya tidak terlalu membantu. Kamu bisa berbagi semua perasaanmu dengan orang terdekatmu, kata mereka. Namun, Dita tidak punya banyak yang seperti itu. Hanya seorang wanita lanjut usia penjual kue nagasari yang sering duduk di halte bus, tempat Dita biasa menunggu angkutan umum ke sekolah. Wanita tua itu, Nek Lestari, senantiasa mendengarkannya menggerutu tentang rumah, sekolah, dan nilai-nilainya yang anjlok—kemudian diakhiri dengan tawa yang kecut. Nek Lestari selalu menanggapinya sambil tersenyum lembut dan berkata, “Kamu anak yang kuat, ya, Nduk.”

Dita kemudian akan memberikan cengiran lebar, sebelum akhirnya menangis sesenggukan di atas angkot. 

Teman-temannya yang ada di lingkaran pertemanan Dita; salah satunya Balqis, gadis yang terkenal dekat dengan banyak guru karena sikapnya yang manis di hadapan mereka, menunggu di bangku sebelah Dita dengan lengan seragam tergulung nyaris ke siku. Dita duduk di sebelahnya, sekelebat bau familier yang sering ia hirup di rumah membuatnya memelotot. Bau yang selalu menempel kepada Bapak.

“Lagi? Siapa yang kasih kamu itu?”

Balqis mengangkat bahu, mengeluarkan parfum dari tasnya. Menyelimuti tubuhnya dengan aroma vanila yang kuat. Menyemprotkannya seperti cairan pembasmi serangga—membuat Dita nyaris bersin. Balqis membalasnya dengan tidak acuh, “Kenapa? Kamu pengin? Lumayan bikin bahagia sejenak.”

Dita terdiam. Tidak menanggapi gadis di sebelahnya lagi. Ia merosot di bangkunya dengan wajah di antara lengan menyilang di meja. Matanya menangkap seorang anak laki-laki di sudut ruangan yang kedapatan menggulirkan pandangan dari arahnya. Dita memejamkan mata, Mungkin itu anak baru.

Keesokan harinya, Dita berjumpa lagi dengan Nek Lestari, kali ini beliau membawa sebuah plastik hitam di tampah. Dagangannya masih sisa setengah. Ketahuan memperhatikan, Nek Lestari menyodorkan satu bungkus nagasari kepada Dita. Manis, meleleh di lidahnya, membuat Dita merasa lelahnya sedikit terangkat dari pundaknya.

“Nduk Dita kalau di sekolah suka jajan apa?” tanya Nek Lestari, mengusap bagian belakang kepala Dita hangat. Gadis itu mengangguk sambil mengunyah pisang isian nagasari, sarapan dadakan-nya pagi ini.

“Beli mi instan di kantin, Nek, yang pedas sampai Dita banjir ingus,” balasnya, memberi cengiran seperti biasa, berhasil membuat Nek Lestari tertawa lepas. Usapan di kepalanya sedikit menguat sebelum Dita kembali merasakan jemari hangat wanita tua tersebut menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. 

“Yang penting perutnya harus selalu diisi, supaya jadi tambah kuat,” ucap Nek Lestari sebelum angkot yang ditunggu Dita tiba. Tangan keriput Nek Lestari menahan tangannya sejenak, memberikan plastik hitam tadi kepada Dita. “Buka saja kalau Nduk Dita sudah berani memulai melangkah ke arah angin semilir.”

Dita tidak memahaminya. Ia hanya mengangguk dan berterima kasih, menyimpan bungkusan plastik itu di dalam tasnya.

***

Suatu hari, kondisi hubungan Bapak dan Ibu seperti melangkah di seutas benang. Dita memegangi kepalanya yang seperti akan jatuh ke lantai. Berjalan gontai ke luar rumah, dengan alas kaki selang-seling yang tertukar tempatnya. Berdiri di depan etalase kaca warung—lihatlah gambar mengerikan di bungkus kotak itu, mengingatkannya pada Balqis tempo hari. Telunjuknya terangkat ke arah benda tersebut sebelum bergeser ke sebuah stoples berisi gulali warna-warni. 

Kaki dengan sandal anehnya ia bawa menuju halte tempat ia biasa menunggu angkutan umum—bersama Nek Lestari. Setelah hari itu, Nek Lestari tidak muncul di sana setiap pagi. Langit sudah jingga, mentari hampir mengatupkan matanya. Tidak ada siapa pun di halte. Angkutan umum tidak ada yang berhenti di depannya. Lunglai ia bersandar pada tiang besi yang sedikit hangat sambil menyesap gulali yang terasa hambar. 

Seketika ia teringat dengan bungkusan dari Nek Lestari yang hampir terlupakan. Ia berlari tunggang langgang ke rumah yang suram itu. Di kamar, ia merogoh ke dalam tasnya. Seperti memantulkan cahaya yang menyilaukan, sebuah mukena putih tampak kontras dengan bungkusan plastik hitam legam. Ada sebuah potongan kertas dari buku tulis yang ujungnya menguning dengan tulisan tegak bersambung yang indah.

“Nek Lestari senang sekali mendengarkan Nduk Dita bercerita. Seperti sedang bersama cucu sendiri. Minggu depan sudah Ramadan, Nek Lestari minta maaf kalau belum bisa memberikan banyak kue enak selain nagasari kepada Nduk Dita. Nek Lestari yakin, mukena ini cantik sekali untuk Nduk Dita.”

Detik itu, azan Magrib berkumandang. Berbekal dari pelajaran Agama Islam di sekolah, praktik salat dan wudu yang dulu menurutnya merepotkan, kini membuatnya bersyukur. Malam itu adalah malam pertama sebelum berpuasa. Bertingkah seperti pencuri, ketika orang tuanya terlelap, Dita mengendap-endap, berjinjit membawa sebungkus roti dan sebotol air ke dalam kamar untuk sahur.

***

Dita mengusap sisi pelipisnya, membenahi jilbab yang ia kenakan, menarik sudut kelimannya agar tidak bergelombang. Ia tersenyum di depan cermin, tidak buruk untuk pertama kali. Namun, sayangnya tidak ada yang menyadarinya pagi itu. Bahkan, saat sarapan—tentu saja, Dita tidak pernah mau ikut sarapan—yang sebenarnya hanya ada Bapak, Ibu akan kembali ke kamar kalau sudah selesai masak. Pagi itu, Nek Lestari tidak ada di halte lagi. Dita duduk memangku tasnya yang berisi mukena putih pemberian beliau. 

Kelas mulai kosong, tetapi ramai di luar. Balqis mencolek bahunya. Tatapannya sempat sinis dan aneh saat Dita datang pagi ini. “Dit, ayo ke kantin.”

“Nggak dulu, deh. Hari ini sudah mulai puasa soalnya. Sama ini, aku mau kerjakan tugas biar di rumah bisa santai,” balas Dita, fokus pada buku teks kimia. Balqis mendengkus, menggerutu tidak jelas, mengajak dua orang teman lainnya untuk berangkat lebih dulu ke kantin. 

Sepeninggal  mereka, diam-diam Dita menggeser buku teks gambar mitokondria itu; ternyata menyembunyikan sebuah buku kumpulan surah pendek. Saat ia mulai membaca satu ayat Surah Al-Fatihah, suara kursi berderit dari belakangnya. Gadis itu nyaris lompat di tempatnya, ternyata anak laki-laki bernama Ilham. 

Beberapa hari selanjutnya, Dita menjalani Ramadan pertama di dalam hidupnya dengan damai—sampai setelah ia salat Duha di masjid sekolah, kondisi tas terbuka lebar dengan isi berceceran. Dadanya terasa terbakar, wajahnya memerah; ia mendengar suara tawa dari belakang kelas. 

“Lagian, kenapa tiba-tiba sok alim, deh? Anti juga main sama kita lagi.” Suara familier yang kini membuat dongkol Dita lebih dari apa pun terdengar. “Kita kan kotor, dia suci.”

Pandangan Dita memburam, tenggorokannya perih seperti tercekik, dan bibirnya gemetar. Sebuah tangan terjulur ke arahnya, menyodorkan setumpuk buku milik Dita yang jatuh. Itu Ilham. Dita buru-buru mengusap pipinya. “Terima kasih, ya.” 

Anak laki-laki itu mengangguk dan tidak menjawab, melenggang pergi keluar kelas. Dita menatap punggungnya yang menghilang ke balik daun pintu. 

Dita pikir sudah selesai, tetapi seakan malam tanpa fajar semakin panjang. Balqis dan teman-temannya bukan hanya menjauhinya, tetapi juga menabur bara api di atas jalannya. Sepatunya yang hilang satu, buku tulisnya yang tiba-tiba basah, dan masih banyak lagi. Hal menyebalkan yang ia terima seperti diguyur hujan bertubi-tubi. 

Akan tetapi, di saat yang bersamaan, Ilham, selalu ada di saat-saat teman yang lainnya mengunci rapat mulut dan mata mereka. Seperti malaikat tanpa sayap, Ilham akan menemukan sebelah sepatunya, memberinya buku catatan untuk disalin—yang ternyata tulisan tangannya cantik, sangat tak terduga.

***

Hingga pertengahan bulan Ramadan, kegiatan pesantren kilat diadakan. Malam harinya, Dita tertegun di sajadah. Rumahnya sepi, tidak ada suara ramai benda-benda berbenturan. Bahkan, tadi pagi saat sahur, ketika dia ke dapur untuk minum, ia mendapati sepiring mi goreng dan telur ceplok di meja makan dengan catatan kecil yang terselip di bawah piring: Ibu belum belanja, jadi makan ini dulu, ya. Kemudian, Dita melahap mi yang dibuat ibunya dengan tambahan rasa asin dari air matanya.

Kegiatan dilakukan di aula sekolah, duduk lesehan di lantai dan sekat garis antara siswa dan siswi. Sedikit mengejutkan bahwa Dita duduk di antara adik-adik kelas yang asing untuknya. Duduk di barisan paling depan dekat dengan pemateri. Teman-teman yang selama ini menempel seperti lakban, kini lemnya sudah tidak lengket. 

Entah dorongan dari mana, rasa penasaran Dita tentang agamanya sendiri meningkat saat itu. Biasanya di kelas, jarang sekali dia menunjukkan wajahnya saat guru mengajar, seakan tenggelam ke meja. Pada kegiatan ini tangannya terus terangkat dan bertanya, mungkin karena hal inilah ia diapresiasi oleh pemateri: sebuah Al-Qur’an terjemahan dengan desain manis yang enak dilihat. Dita memeluknya hampir sepanjang hari, kecuali saat tidur.

Kehilangan barang di sekolah, didiamkan di rumah, membuat Dita kian menebalkan wajah dan imannya. Terlebih lagi, Ilham seperti dikirimkan kepadanya untuk melewati itu semua meskipun pemuda itu lebih cocok menjadi pengawal yang memantau dari jauh. Lalu beberapa tahun berikutnya, Dita, Bapak, dan Ibu masing-masing berada di bawah atap berbeda. 

Akan tetapi, Dita sangat bersyukur kepada Allah Swt. Rasa terima kasihnya juga besar kepada Nek Lestari yang telah tiada. Bahkan, saat nostalgia ini ada, suara anak kecil dalam gendongan seorang pria itu meraih telunjuknya. Pria yang dulunya hanya duduk di sudut kelas, membantunya dengan sesunyi malam kini hadir menjadi pendamping hidupnya. Apa pun kenangan dalam Ramadan pertamanya, Dita susun sedemikian rupa dalam sudut kecil di hidupnya.

***

Tentang Penulis

  1. Valya Hanindita Agustin atau biasa dipanggil Valya, lahir di Tegal, 17 Agustus 2002. Penulis pemula yang mulai aktif menulis cerita bergenre fantasi dan drama dengan nama pena Lya Han. Suka game RPG serta penggemar cerita bertema fantasi dan aksi. Menulis adalah caranya berbagi imajinasi. Bisa kunjungi Instagramnya: @vlyaway. 

  2. Goresan Imaji: Affan Ghaffar Ahmad adalah seorang pemuda yang gemar menyelami labirin kata dalam novel fiksi dan horor, dia memiliki kecintaan tersendiri dalam dunia literasi. Kini ia aktif menorehkan imaji pikirannya di aplikasi Wattpad dalam tema horor berjudul “Nightmare Diary”. Dengan permainan diksinya, ia membawa pembaca ke dunia imajinasi yang mencekam.

  3. Nika Nurulaini, biasa dipanggil Nika, lahir di Sumedang pada 7 Juni 2006. Kini ia tinggal di Bandung bersama keluarganya dan memiliki satu adik perempuan. Nika adalah sosok yang pendiam, tetapi penuh pemikiran mendalam. Hobi menulis menjadi pelariannya untuk mengekspresikan perasaan dan imajinasinya.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar