[CERPEN] Si Tukang Sahur Berisik Itu

Table of Contents
ilustrasi interior masjid (pexels.com/Zülfü Demir📸)
Pada waktu dini hari yang tenang, warga Gang Seruni tengah terlelap dalam tidur. Namun, ketenangan itu seketika buyar saat suara kentongan menggema, membangunkan mereka.

“Sahur! Sahur! Mari Bapak dan Ibu segera sahur!” Suara itu mulai terdengar pertanda sudah memasuki waktu sahur. 

“Ayo, para warga … segera bangunlah semua.”

“Tua atau muda semua sama.”

“Cepatlah pergi … ke meja makan … dan segera sahur!”

“Jangan lupa waktu imsak jam empat lebih sepuluh menit!” Teriak si tukang sahur dengan nada lagu ciri khasnya. Kehadiran anak-anak juga turut meramaikan suasana. 

Seperti orang kebanyakan, Fadil—mahasiswa yang merantau—juga menyiapkan sahur di kosnya. 

“Apa dia nggak sadar suaranya seburuk itu?” kata Fadil kesal sambil menatap gerombolan pemuda tukang sahur dari balik jendela lantai dua di kosnya. 

Bukannya langsung sahur, Fadil malah beranjak mengambil video si tukang sahur keliling dari jendela kamar kosnya. Setelah merekam, Fadil mengunggahnya sebagai postingan di Ingralam–aplikasi yang populer di kalangan anak muda. Fadil mengugah video si tukang sahur keliling dengan caption yang berisi keluh kesahnya.

 “Ya Allah, tiap sahur nih, dia begini! Kasihan telinga gue. Tolong!”

Tak berselang lama, handphone Fadil berbunyi memunculkan notifikasi komentar dari postingan yang barusan diunggahnya.

“Masih dengan si tukang sahur keliling itu, ya? Tidak pernah absen bangunin sahur.” 

“Sudah bagus dibangunin. Harusnya bersyukur!” 

“Namanya manusia tidak lepas dari segala kekurangan.” 

Sambil mengunyah, Fadil membalas komentar di Ingralam miliknya. 

“Gue baru tidur jam 2 pagi. Tugas kuliah numpuk, eh, dibangunin dengan suara yang tidak menyenangkan di telinga. Siapa pun yang ada di posisi gue pasti kesal lah! Bukan masalah tidak bersyukur dibangunin.” Fadil pun mengirim balasan. 

****

Jam menunjukkan pukul 7.10 pagi. Nada dering khas handphone Samsung milik Fadil terus berbunyi.  Butuh waktu hingga lima menit lamanya agar Fadil bangun. 

“Loh, kok sudah jam segini? Mana jam delapan ada kelas!” kata Fadil yang panik dan langsung bergegas bersiap-siap untuk kuliah. Setelah persiapan selama sepuluh menit, Fadil langsung pergi ke kampus.

“Hampir telat kamu, Dil,” kata pemuda bernama Ali.

“Iya, nih. Gara-gara kebanyakan tugas sama kurang tidur,” Jawab Fadil yang baru datang setelah menempuh lima belas menit perjalanan.

“Si tukang sahur lagi?” Tiba-tiba Helmi datang menimpali.

“Ya iyalah!” jawab Fadil dengan nada kesal. 

“Sebenarnya kalau suaranya bagus kayak Harry Styles gitu, nggak masalah. Tapi suara dia kayak bebek kecekik!” lanjut Fadil mengeluh pada dua temannya. Ali dan Helmi hanya tertawa kecil melihat sahabatnya menggerutu. 

“Masih untung, loh, ada tukang sahur! Paling nggak suasana Ramadannya berasa, Dil.” hibur Ali.

“Nah, iya. Bisa bangun tepat waktu juga,” kata Helmi menambahi.

“Tapi suaranya itu nggak banget!”

 “Justru itu yang bikin kamu kebangun. Bagus, dong!” kata Ali sambil mengacungkan jempol ke arah Fadil. Mendengar jawaban temannya, Fadil tak bisa berkutik lagi. 

Tak terasa, hari sudah sore. Fadil baru saja selesai kuliah, tetapi bukannya pulang ke kos, ia langsung menuju tempat kerja paruh waktunya—mengajar anak-anak di bimbingan belajar dekat kampus. Ia biasanya pulang pukul delapan atau sembilan malam, bahkan di bulan Ramadan.

Sebagai anak rantau, Fadil terbiasa hidup mandiri. Meski orang tuanya rutin mengirim uang saku, ia tetap mencari tambahan untuk ditabung. Ia juga jarang berbuka di kos. Sepulang kerja, masih ada tumpukan tugas kuliah yang menunggu. Tak heran jika Fadil sering kesal saat suara tukang sahur mulai terdengar—tubuh dan pikirannya yang lelah butuh istirahat, bukan gangguan.

***

Malam itu Fadil sangat sibuk. Besok ia harus presentasi, tetapi makalahnya belum juga selesai. Kepalanya pening, mata memerah, dan dua gelas kopi hitam sudah tandas. Meski begitu, ia tetap memaksa diri untuk fokus hingga waktu sudah menunjukkan pukul 02.00. Tiba-tiba, terdengar suara yang paling ia benci—bahkan lebih menyebalkan dari suara kentut tetangga kamar sebelah. 

“Sahur! Sahur!”

Fadil rasanya sudah berada di puncak kesabaran mendengar suara milik si tukang sahur. Fadil yang kesal langsung keluar. “Tolong dong … suaranya itu, loh! Saya ini lagi pusing ngerjain tugas jadi terganggu!” 

“Maaf, Mas,” jawab si tukang sahur keliling.

Pikiran Fadil yang kacau dan tubuhnya yang lesu membuatnya tak mampu untuk menahan kantuknya. Fadil yang kelelahan langsung tertidur. 

“Dil, Fadil … Tangi, Le! Sudah mau imsak!” teriak Pak Zam. 

“Astagfirullah al-azim!” Fadil kaget karena melihat Pak Zam sudah duduk di samping kasurnya. Pak Zam terlihat berusaha membangunkan Fadil. 

“Tadi saya datang ke sini mau nganterin paket punya sampean. Saya kaget, kok nasi bungkusnya belum diambil. Saya ketok pintunya nggak ada jawaban. Ya, akhirnya saya masuk ke kamar. Laptopnya sampean masih nyala ternyata,” ujar Pak Zam menjelaskan kronologi kenapa ia masuk ke kamar Fadil.

Fadil menatap tumpukan kertas yang masih berserakan dan laptop yang masih menyala karena ia ketiduran. “Iya, Pak. Saya ketiduran tadi dan belum sahur.” 

“Ya sudah, ini nasinya segera dimakan. Sudah mau imsak, loh.” Pak Zam segera memberikan nasi bungkusnya ke Fadil.

Akhirnya berkat Pak Zam, Fadil masih punya sedikit waktu untuk sahur. 

***

Dini hari berikutnya, saat sedang mengetik laporan, Fadil merasa heran. Tak seperti biasa, suara si tukang sahur berisik tak terdengar. Hanya ada suara kentongan dan bapak-bapak.

“Kok tumben ada suara bapak-bapak?” gumamnya penasaran.

Fadil segera mengintip dari jendela. Tak ada Nabil. Hanya terlihat tiga anak kecil ditemani dua pria dewasa—salah satunya Pak RT.

“Akhirnya, telingaku menemukan kedamaian hari ini,” kata Fadil bahagia dan puas. 

***

Sudah tiga hari, si tukang sahur itu tak muncul. Awalnya Fadil senang, tetapi lama-lama ia penasaran. Rasa ingin tahunya membuat Fadil memutuskan untuk bertanya langsung pada bapak kosnya.

“Pak, maaf mau tanya. Tumben, tiga hari ini saya nggak dengar suara si tukang sahur yang sukanya nyanyi itu?”

“Oh, maksudmu Nabil?” tanya Pak Zam. 

“Nabil? Itu siapa, Pak?” Fadil kembali bertanya.

“Ya itu yang biasanya nyanyi. Yang suaranya keras banget itu,” kata Pak Zam.

Fadil pun baru tahu identitas si tukang sahur. Ternyata orang yang kerap Fadil sebut si Tukang Sahur, Nabil namanya.

“Kemarin waktu ke pasar, Bapak ketemu sama Nabil. Katanya sih, dia lagi cari kerjaan tambahan setelah Lebaran.” Pak Zam melanjutkan ceritanya.

“Memangnya, sekarang dia kerja apa, Pak?” tanya Fadil.

“Dia kalau pagi sampai siang jualan ayam potong di kiosnya Pak Subron, di area pasar sebelah utara. Nabil itu anak seumuran kamu, Dil. Sayangnya dia nggak kuliah.”

Sambil menyirami tanaman, Pak Zam melanjutkan ceritanya. “Dia tinggal di ujung gang sana. Bapak kalau melihat dia rasanya kasihan, mesakne.”

Fadil dengan saksama mendengar cerita Pak Zam. “Bapaknya dia dulunya sopir angkot.  Waktu Nabil masih SMA, bapaknya kecelakaan dan meninggal. Akhirnya, Nabil harus kerja sampai sekarang karena bantu ibunya yang jadi buruh cuci. Adiknya juga masih kecil dan belum sekolah.”

Fadil terkejut. Ia tak menyangka Nabil yang seumuran dengannya memikul beban seberat itu. Rasa bersalah menyelimutinya karena selama ini, ia sering mengejek suara Nabil tanpa tahu apa yang ia lalui.

***

Keesokan Minggu pagi, Fadil memutuskan ke pasar tempat Nabil bekerja. Setelah lima menit berkeliling, ia menemukan kios Nabil dan langsung menghampirinya. Fadil berniat membeli ayam di sana. 

“Mas, ayamnya berapaan?” tanya Fadil. 

“Sekilo tiga puluh ribu, Mas. Masnya mau beli berapa?” sahut Nabil. 

“Setengah kilo, Mas. Bagian dada sama paha.”

Fadil pun memberanikan diri bertanya, “Kamu, bukannya yang biasanya ikut membangunkan sahur, ya? Yang jadi si tukang sahur keliling.” 

“Oh iya, Mas. Loh, Masnya yang tinggal di kos Pak Zam?” tanya Nabil. 

“Iya, Mas. Oh, kenalin namaku Fadil. Maaf ya, Mas, kalau waktu itu sempat marah-marah.” Fadil menyampaikan permintaan maaf dan mengulurkan tangan. Nabil kaget melihat Fadil mengulurkan tangan. Ia pun langsung mengelap tangannya dan membalas jabatan tangan Fadil. 

“Iya tidak apa-apa, Mas. Aku Nabil, si tukang sahur berisik. Maaf juga kalau ternyata malah mengganggu.”

Fadil yang merasa bersalah tanpa berpikir panjang langsung menawari Nabil untuk sahur bareng di kosnya.

“Hm … Bil, mau nggak besok sahur bersama di kosku?” tanya Fadil. 

“Beneran? Nggak ngerepotin kamu, kan?”

Fadil tersenyum dan menggelengkan. “Sama sekali tidak. Daripada kesepian, enak ajak teman.”

Nabil pun tersenyum bahagia mendengarnya. “Alhamdulillah, aku punya teman yang seumuran. Biasanya temanku anak-anak kecil sama orang tua aja.”

“Kok kamu tahu kita seumuran?” tanya Fadil. 

“Aku tahu dari Pak Zam.  Oh iya, ini ayamnya. Totalnya jadi lima belas ribu.”

Fadil langsung mengeluarkan uang pas lima belas ribu dari dompetnya dan menerima bungkusan ayamnya. “Jangan lupa, ya! Besok sahur bareng di kosku!”

“Oke,” ucap Nabil setuju.

****

Pada dini hari berikutnya, suara Nabil yang membangunkan sahur kembali terdengar. Namun, malam ini berbeda—Fadil tak hanya mendengar dari kamarnya. Ia turun ke bawah dan mendekat ke arah Nabil dan anak-anak lainnya.

“Boleh gabung?” tanyanya sambil tersenyum.

Melihat Fadil datang dan ingin ikut, wajah Nabil langsung semringah. “Boleh banget! Kamu jadi main vocal dan aku backing vocal. Siap?”

“Siap!” jawab Fadil semangat.

Akhirnya, mereka keliling membangunkan sahur bersama. Saat itulah, Fadil merasakan salah satu momen yang paling menyenangkan selama Ramadan. Setelahnya, Nabil ikut ke kos Fadil untuk sahur bersama.

“Yuk, masuk!” kata Fadil sambil membuka pintu.

“Makasih banyak, ya. Udah mau ngajak aku sahur bareng,” ucap Nabil dengan tulus.

“Sama-sama. Yuk, langsung makan aja. Ini ada ayam goreng sama lalapan. Aku masak sendiri, loh!”

Mendengarnya, Nabil tampak senang. Sudah lama ia tak makan ayam goreng. Ia mengambil nasi dan lauk dengan antusias.

“Bismillahirrahmanirrahim ….”

Mereka pun makan dengan lahap, menikmati hangatnya kebersamaan di tengah dinginnya hawa. Si tukang sahur yang berisik itu … kini jadi sahabat baru bagi Fadil.

***

Tentang Penulis

  1. Fairuz Zahro Arroihana, atau biasa dipanggil Hana, punya kegemaran menulis sejak kecil. Dimulai dari menulis diary, fanfiction yang ditulis lewat SMS, dan beberapa kali menulis cerpen. Saat ini, dia juga menulis artikel di portal IDN Times. Dan, cerpen ini merupakan salah satu karyanya sejak tergabung dalam komunitas menulis Ufuk Literasi.

  2. Kamelia Noor Kumalasari, punya nama pena Bianstamo. Perempuan asal Kudus yang suka menulis. Salah satu karyanya bisa dibaca di aplikasi Wattpad dengan username Bianstamo13.

  3. Muhammad Ziyad Abdillah, seorang guru dan penggiat pendidikan. Baginya, “Luka tidak boleh dilupakan. Ia diingat, dimaafkan, dan dijadikan pijakan untuk langkah berikutnya.”

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar