[CERPEN] Sudut Pandang Ramadan

Table of Contents
ilustrasi ruangan kantor (pexels.com/Huseyn Kamaladdin
Ramadan tahun ini menjadi momen yang cukup berkesan sekaligus menantang untuk Alvan. Jika di tahun-tahun sebelumnya Alvan lebih banyak menjalaninya di dunia pendidikan seperti sekolah dan perkuliahan, tahun ini adalah Ramadan pertama yang dijalaninya di dunia kerja.

Tempat kerja offline tentu membawa banyak hal baru yang harus diusahakan. Namun, dalam hal mencari penghasilan, Alvan bukan termasuk baru. Sejak SMA, ia sudah terbiasa menabung dari hasil menulis dan menjual buku baik melalui platform online maupun media sosial.

“Ramadan nanti kita berangkat jam 9 pagi dan pulang jam 5 sore, jadi bisa buka puasa di rumah masing-masing,” ucap Kak Arda, manajer operasional bimbel saat rapat evaluasi akhir bulan.

Informasi itu membuat Alvan cukup antusias. Biasanya ia bekerja mulai jam 10 pagi sampai 6 sore. Jadwal baru ini memberi sedikit kelonggaran, memungkinkan Alvan untuk berbuka bersama keluarga selama Ramadan.

***

Alvan mulai bekerja di bimbel ini sejak Desember 2024, 6 bulan setelah wisuda. Ia memang memilih untuk tidak langsung bekerja setelah lulus dari perkuliahan. Selain memberi jeda, ia juga ingin lebih fokus mengembangkan komunitas menulis yang telah dibangunnya sejak tahun 2020. Komunitas itu cukup menghasilkan dari kegiatan menulis dan mendampingi penulis melalui berbagai program ataupun kelas kepenulisan. Namun, bagi sebagian orang, pekerjaan tersebut dianggap belum maksimal dan kurang relevan dengan latar belakang pendidikan Alvan sebagai lulusan S-1 Matematika.

Sembari menulis dan mengelola komunitas, Alvan sempat mencoba berjuang dengan mengikuti seleksi CPNS 2024. Sayangnya, meski nilai SKD-nya lolos ambang batas dan cukup bagus, ia belum berhasil melanjutkan ke tahap SKB.

Akhirnya, Alvan mencoba mengajukan lamaran ke salah satu bimbel dan diterima setelah mengikuti serangkaian tes dan wawancara. Ramadan ini adalah bulan ketiganya bekerja di sana.

Ia bersyukur bisa diterima. Kini, saat ada orang bertanya tentang pekerjaannya, Alvan menjawab dengan lebih percaya diri. Namun, seiring berjalannya waktu, ia mulai menyadari bahwa banyak hal di pekerjaan ini tidak sesuai ekspektasi. Ia membayangkan bisa tetap menulis dan mengajar Matematika, tetapi realitasnya berbeda.

Sebagai staf akademik, Alvan lebih banyak berkutat dengan sistem bimbel, penyusunan soal, dan penjadwalan. Jam mengajarnya pun terbatas hanya beberapa sesi dalam sebulan. Pulang kerja, tubuhnya terasa begitu lelah sehingga niat menulis pun kerap tertunda. Hingga tibalah bulan Ramadan. Les tidak sepadat biasanya, tetapi justru tantangan baru dimulai.

***

“Safari Ramadan nanti kita akan berkunjung ke sekolah-sekolah dari SD hingga SMP. Ada sekitar 14 atau 15 sekolah. Kita akan dibagi dua tim. Mungkin di beberapa sekolah, kita harus berangkat lebih pagi, ya.”

Kabar itu membuat semangat Alvan merosot. Ia tak begitu suka berkunjung ke banyak sekolah, bertemu siswa dalam jumlah besar.

Selain itu, meski harus berangkat lebih pagi, jam pulang tetap pukul 5 sore. Alvan merasa beban kerjanya terlalu panjang. Ia berprinsip bahwa 8 jam kerja per hari sudah cukup. Di bulan Ramadan, ia justru harus bekerja bisa 9 sampai 10 jam.

Keinginan untuk resign mulai tumbuh. Bukan karena tak bersyukur, melainkan karena ini benar-benar di luar ekspektasi. Mulai dari jobdesk yang berbeda hingga beban kerja yang melewati batas nyaman. Bertemu banyak orang, beradaptasi dengan situasi baru, semua itu membuat Alvan terasa terbebani.

Alvan dulu mengira akan banyak mengajar Matematika sebagai bentuk validasi atas gelar yang ia peroleh. Namun, kenyataannya pekerjaan ini justru menjauhkannya dari harapan itu.

Ramadan yang semestinya bisa digunakan lebih banyak untuk beribadah, kini harus diisi dengan kesibukan bekerja. Meskipun bekerja juga bagian dari beribadah, bagaimana jika pekerjaan ini tak sejalan dengan visi hidup kita?

***

Dalam perjalanan pulang, Alvan mengendarai motor dengan kecepatan sedang. Kepalanya penuh dengan pertanyaan. Usahanya lulus kuliah dengan cepat, berharap bebas dari ikatan jam belajar yang menegangkan, kini digantikan dengan jam kerja yang tak menentu.

Ramadan kali ini dibuka dengan kecemasan. Ia takut kehilangan momen Ramadan karena terlalu banyak bekerja. Namun, apa daya, ia telah terikat perjanjian kerja. Mau tak mau, harus dijalani. Jika keluar dari zona nyaman adalah tantangan, bekerja seperti ini benar-benar di luar ekspektasinya. Apakah dunia kerja memang harus terasa terikat begini?

***

“Besok sudah sahur. Mau sahur pakai apa, Van?” tanya Ibu saat Alvan sampai di rumah.

“Apa saja boleh, Bu. Tapi kalau boleh request, sarden juga sepertinya enak. Tapi terserah saja, apa pun yang Ibu masak, pasti Alvan makan.”

“Kamu ini bisa saja. Ya sudah, sana beres-beres dulu. Malam ini tarawih pertama, kan?”

“Iya dong, siap! Nanti kita berangkat bareng Bapak.”

Malam pertama Tarawih dijalani dengan berat bagi Alvan. Rasa kantuk menyerang, tubuh terasa letih. Pekerjaan yang dijalani ternyata jauh dari ekspektasi. Rasanya, jika boleh memilih, Alvan ingin kembali menjadi freelance writer dan fokus membangun komunitas menulisnya.

Akan tetapi, ia tetap berusaha bertahan. Bukankah ini pekerjaan yang dulu ia cari demi menjawab pertanyaan orang-orang? Entah sampai kapan bisa bertahan, Alvan pun belum tahu.

***

Hari-hari di bulan Ramadan berlalu begitu cepat. Safari Ramadan ke sekolah-sekolah membawa pengalaman baru. Tempat kerja offline pertamanya menghadirkan dinamika yang belum tentu ditemui saat bekerja online. Namun, tetap saja, ada keinginan untuk berhenti dan kembali ke dunia kepenulisan.

Akan tetapi, di sela rasa lelah dan tekanan, ada hal-hal sederhana yang membuat Alvan tetap semangat. Seperti saat guru-guru mengucapkan terima kasih atau ketika siswa menyambut mereka dengan antusias.

Hal-hal kecil yang menyentuh hati. Foto bersama, tawa bersama tim, semuanya mengobati lelah. Kebersamaan dengan tim menjadi alasan untuk bertahan. Di sisi lain, Alvan makin sadar bahwa proyek-proyek kepenulisan mulai terbengkalai. Anggota komunitas menunggu kelanjutan antologi, kelas artikel belum terlaksana, agenda mingguan tertunda, bahkan konten-konten media sosial sudah lama tak diperbarui. Ia sadar, harus segera menentukan dan memilih mana yang perlu diprioritaskan.

***

Ramadan memasuki minggu ketiga. Safari Ramadan telah selesai. Itu artinya sudah saatnya melakukan evaluasi. Alvan dan tiga rekannya, ada Kak Ifa, Kak Fadhil, dan Kak Putri berkumpul menyampaikan evaluasi. Kesan dan pesan pun dibagikan. Terima kasih saling dilontarkan. Meski sama-sama baru saling mengenal dan bekerja bersama, tim ini terasa seperti keluarga.

Lalu muncullah fakta yang mengejutkan. Ternyata, mereka semua merasa pekerjaan ini juga tak sesuai ekspektasi. Namun, mereka bertahan karena alasan yang sama, yaitu tentang satu sama lain saling menguatkan.

Alvan pun merasa sedikit lega. Ia memutuskan bertahan sedikit lebih lama, setidaknya setelah Lebaran. Ramadan ini memberinya warna baru bahwa kadang kita bertahan bukan karena pekerjaan itu sesuai harapan, melainkan karena orang-orang di sekeliling kita yang sama-sama berusaha saling menguatkan.

***

Dua bulan setelah Idulfitri, Alvan akhirnya tetap mengajukan surat resign. Setelah pertimbangan matang, ia memilih kembali fokus menulis dan mengembangkan komunitasnya. Pekerjaan di bimbel, menurutnya terlalu menyita waktu dan membuat proyek-proyek yang sudah lama ia bangun tertunda terus-menerus.

Setelah 1 bulan masa transisi, Alvan resmi berhenti. Ia kembali memperjuangkan apa yang telah dirintis sejak lama, yaitu dunia kepenulisan.

Ramadan tahun ini mungkin belum maksimal untuk beribadah bagi Alvan. Namun, tetap terasa penuh makna. Alvan belajar bahwa pekerjaan tidak harus sesuai jurusan kuliah. Bekerja bukan sekadar untuk mendapatkan validasi dari orang lain, melainkan bagaimana pekerjaan tersebut memberi makna, bagi diri sendiri dan orang lain.

Bagi Alvan, Ramadan ini mengajarkan bahwa keputusan untuk bertahan atau berhenti tak selalu tentang kenyamanan, tetapi juga tentang tanggung jawab. Dan, akhirnya Alvan mulai bisa memahami bahwa Matematika akan selalu hidup dalam dirinya, apa pun profesinya. Entah itu sebagai seorang penulis, content creator, entah business owner sekalipun. Alvan percaya bahwa semua pengalaman ini akan membentuknya jadi pribadi yang lebih baik lagi ke depannya.

Setelah resmi resign, malam itu Alvan kembali membuka pesan-pesan yang menumpuk dan dibacanya perlahan. Beberapa pertanyaan tersebut adalah tentang proyek penulisan buku antologi, rencana kelas artikel, dan agenda mingguan yang tertunda di komunitas menulisnya.

“Terima kasih dan maaf sudah menunggu lama. Sekarang saatnya kita lanjutkan satu per satu yang sempat terjeda,” ucapnya terasa begitu lega.

Bukan sekadar kembali, melainkan kembali dengan kesadaran baru. Bahwa tanggung jawab tidak selalu datang dari luar, kadang justru berasal dari apa yang pernah kita mulai sendiri.

***

Tentang Penulis

Moch Abdul Aziz, penulis adalah lulusan S-1 Matematika Universitas Negeri Semarang yang berasal dari Bojonegoro, Jawa Timur. Dirinya telah menulis 350+ artikel di berbagai media dan menerbitkan tiga buku solo. Founder komunitas Ufuk Literasi ini juga dikenal aktif berbagi tips dan motivasi menulis melalui Instagramnya @abdulaziz.writer dan blog pribadinya abdulaziz.id.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar