[CERPEN] Suuzan
![]() |
ilustrasi sebuah roti (pexels.com/Pixabay) |
“Saya taruh di kulkas, Bu, semalam …. Tapi, pagi ini sudah tidak ada,” kata Mbak Zura sambil menunduk. Terlihat sekali wajah ketakutannya. Ya, takut dimarahi.
Sudah beberapa kali semenjak Mbak Zura—pembantuku—membawa anaknya ke rumahku, ada saja kejadian-kejadian yang tidak biasa. Anak Mbak Zura baru berusia 7 tahun, SD kelas 2. Anaknya cowok berperawakan kecil, ceking, dan berkulit sawo matang. Ya, seperti anak kampung pada umumnya. Mbak Zura sudah seminggu ini kuijinkan membawa anaknya dengan alasan ibunya Mbak Zura alias nenek si anak sakit sehingga tidak ada yang bisa mengasuh anak tersebut. Akhirnya, kuizinkan Mbak Zura membawa anaknya itu.
Anak Mbak Zura tidak begitu banyak omong, mungkin karena cowok dan belum terlalu mengenal dekat keluarga kami. Selintas seperti anak yang baik pada umumnya, hanya kenapa beberapa hari ini ada kejadian semenjak anak tersebut di sini?
Seperti pagi ini ketika aku hendak menyuapi anakku yang masih balita, tiba-tiba roti yang semalam kubeli hilang. Padahal, semua orang di rumah ini puasa. Roti itu adalah roti kesukaan anakku sehingga anakku sempat menangis ketika roti itu raib. Sebelumnya ayam goreng yang kusimpan di dalam kulkas juga hilang 2 potong. Aku tak sengaja menghitungnya, hanya kebetulan yang hilang adalah bagian potongan ayam yang disukai anakku yang nomor 2, yaitu bahian paha ayam, keduanya hilang. Sebelumya juga buah pisang yang diberi tetangga dan belum sempet kami makan, tiba-tiba tiada tanpa jejak, entah pergi ke mana.
Mungkin hanya hal sepele, tetapi karena beberapa kali kehilangan dan kebetulan sekali kehilangan tersebut persis setelah anak Mbak Zura di sini, aku jadi mengaitkannya dengan kehadiran anak Mbak Zura tersebut.
Aku tidak masalah dengan makanan yang hilang karena aku bisa saja dengan mudah membelinya lagi. Hanya, aku penasaran, siapa yang mengambil makanan tersebut. Misalkan pun ada orang yang mau dan memintanya, pasti akan aku beri, tidak perlu mencurinya. Belum lagi ini bulan puasa bulan mulia, setan dibelenggu. Lah, ini kenapa kok malah di rumahku ada pencuri yang biasanya adem ayem?
Kecurigaanku kepada anak Mbak Zura sebagai pelakunya juga bukan hanya karena kejadian itu persis setelah kedatangan anak tersebut, melainkan karena di rumah ini penghuninya ya itu-itu saja. Aku, ketiga anakku, dan Mbak Zura. Hanya 5 orang, pastinya kelihatan setiap tindak tanduk masing-masing. Juga kami sudah saling memahami karakter masing-masing karena sudah bertahun-tahun tinggal bersama.
Mbak Zura tinggal bersama kami semenjak anakku yang terakhir lahir dan sekarang usianya sudah 4 tahun. Itu artinya sudah 4 tahun Mbak Zura hidup dan tinggal bersama keluarga kami. Mbak Zura adalah seorang janda beranak 1 dan tinggal dengan ibunya di kampung sini. Sehari-sehari dia menjadi ibu rumah tangga dan sesekali kerja serabutan seperti menyetrika atau mencuci jika ada tetangga yang minta tolong.
Kebutuhan keluarga ditopang oleh ibu Mbak Zura yang sehari-sehari berjualan sayur keliling. Anak Mbak Zura sudah SD kelas 2 dan pastinya butuh biaya yang banyak. Hal ini yang membuat aku kasihan ketika dia datang melamar kerja menjadi pembantu di sini sehingga aku langsung menerimanya bekerja dengan konsekuensi Mbak Zura harus mau tinggal atau tidur di rumahku. Dia kuperbolehkan pulang sebentar-sebentar untuk mengurus anaknya atau sekadar menengok keadaan rumah karena rumahnya pun tidak jauh dari rumahku, hanya beda RT.
Mbak Zura orangnya telaten dan sabar, apalagi saat mengurus anakku yang dulu masih bayi. Ini yang membuat aku sreg dengan hasil kerja Mbak Zura. Dia juga orangnya tidak neko-neko atau bergaya dalam penampilan, biasa saja. Padahal, umur Mbak Zura baru sekitar 20-an, di bawahku 10 tahun lebih. Mbak Zura itu orang Sunda asli yang punya kulit putih dan perawakan yang bagus, cantiklah menurutku. Namun, dia tidak terus berdandan yang berlebihan. Pakaiannya pun biasa saja, mungkin karena dia sadar dengan status ekonominya. Ini juga yang membuat aku cocok dengan Mbak Zura karena aku sendiri juga bukan orang yang memperhatikan penampilan. Tipikal yang sukanya simpel dan sederhana.
Mbak Zura itu tidak terlalu banyak omong, bisa dikategorikan pendiam, berbeda denganku yang cerewet, hehe. Mbak Zura juga tidak mudah tersinggung atau marah ketika aku mengkomplain pekerjaannya yang menurutku salah. Dia biasanya hanya menunduk dan takut kalau aku mulai marah. Mbak Zura juga orangnya jujur, buktinya aku yang sering teledor meletakkan uang di mana-mana tidak pernah sekali pun kehilangan uang. Aku bersyukur sekali mendapat pembantu seperti Mbak Zura. Makanya, dia kupertahankan untuk selalu membantu aku di sini.
Sifat pendiamnya Mbak Zura membuat aku tidak terlalu tahu banyak tentang keluarganya, terutama sifat anaknya. Mbak Zura jarang menceritakan tentang anaknya ataupun ibunya. Dia paling ngomong hal yang penting, misal ibunya sedang sakit atau ketika anaknya harus membayar iuran di sekolah sehingga butuh uang banyak. Selebihnya tentang keseharian keluarga Mbak Zura, aku tidak tahu.
Kembali ke masalah barang-barangku yang hilang, aku memiliki rencana untuk menjebak si pelaku. Rasa penasaranku sangat tinggi setelah menanyai semua anggota yang tinggal di rumah ini, terkecuali anak Mbak Zura, dan semua tidak mengakui kalau mengambil barang tersebut.
Sore itu seperti biasa aku berburu takjil di pelataran masjid. Setiap Ramadan, pelataran masjid di kampung kami disulap menjadi pasar tiba, Pasar Ramadhan. Ada banyak sekali varian makanan yang pastinya enak-enak, apalagi buat orang yang sedang puasa. Aku selalu menanyakan kepada ketiga anakku menu buka puasa dan takjil yang mau dibeli apa saja sebelum datang ke pasar Ramadan. Hari itu aku sengaja melebihkan satu untuk tiap jumlah makanan yang kubeli. Aku juga membeli makanan kesukaan Mbak Zura, yaitu bakso urat. Pastinya jumlahnya sesuai dengan jumlah anggota keluarga dan kulebihkan satu.
Sesampainya di rumah, aku sengaja tidak menyuruh Mbak Zura untuk menata makanan di meja, melainkan aku menatanya sendiri. Mbak Zura kuberi kesibukan menjaga anakku yang masih balita dan menemaninya bermain sambil menunggu buka puasa tiba. Setelah terdengar azan, biasanya aku dan anak-anak akan berkumpul di meja makan dan makan bersama, sedangkan Mbak Zura dan anaknya biasanya makan di dapur atau di kamar belakang. Aku sudah menjatah makanan, termasuk untuk Mbak Zura dan anaknya, dan kelebihan satu dari makanannya sengaja kutaruh di dapur.
Selesai buka bersama anak-anak, kami lanjutkan salat berjemaah. Sebelumnya, aku meminta Mbak Zura untuk membereskan makanan. Sebelum wudu aku sempat melirik ke arah kelebihan makanan di dapur dan masih utuh di tempatnya. Kulihat Mbak Zura sibuk membereskan sisa makanan kami. Anak Mbak Zura juga tidak terlihat, mungkin ada di kamar belakang, sedang salat. Aku buru-buru meletakkan ponsel di dapur di tempat yang tersembunyi dan menyalakan kamera video dalam posisi on. Kemudian, aku tinggal untuk wudu dan salat bersama anak-anak.
Setelah salat biasanya kami mengaji atau tadarus bersama dilanjutkan salat Isya dan Tarawih di rumah. Kami jarang Tarawih di masjid karena pulangnya yang larut dan aku mengkhawatirkan anak-anakku jika berjalan kaki dan pulang larut. Sementara aku sendiri tidak enak kalau membawa balita ke masjid karena akan mengganggu kekhusyukan orang yang sedang beribadah. Pernah mendapat komplain agar tidak membawa anak ke masjid.
Jam 21.00 biasanya aku dan anak-anak sudah tidur. Aku selalu menerapkan tidur cepat buat anak-anak agar besok pagi badannya fresh ketika mau sekolah atau berkegiatan lain. Juga tidak membiasakan mereka untuk begadang karena tidak baik untuk kesehatan. Setelah anak-anak tidur, aku keluar kamar dan menuju dapur untuk mengambil ponselku yang kusembunyikan di antara vas bunga.
Aku langsung menuju ke kamar, tak sabar ingin melihat videonya. Betapa terkejutnya aku kalau yang mengambil makanan itu adalah Mbak Zura, orang yang selama ini kupercaya bertahun-tahun. Untuk apa dia mengambilnya, padahal seandainya dia meminta pun pasti aku beri. Kupikir anak Mbak Zura yang mengambilnya, tetapi malah Mbak Zura yang tega mencuri di rumahku sendiri.
Aku langsung menemui Mbak Zura dan menunjukkan bukti video itu. Mbak Zura menunduk sambil menangis. Dia meminta maaf sekali atas perbuatannya. Semua makanan yang dia ambil itu terpaksa karena ibunya yang sakit tidak kuat puasa dan tidak ada yang memberi makan. Ibunya pun tidak berjualan di pasar sehingga tidak punya uang untuk membeli makanan. Aku ikut terenyuh mendengarnya. Kenapa selama ini tidak tergerak hatiku untuk membantu keluarga Mbak Zura, padahal sudah tahu tentang kabar ibunya yang sakit. Akhirnya aku menyerahkan sejumlah uang ke Mbak Zura untuk pengobatan dan biaya konsumtif ibunya.
Maafkan aku, Mbak Zura, sudah suuzan terhadap anakmu, juga telat berempati pada keluargamu. Ini pelajaran berharga buatku yang akan kuingat selamanya.
***
Tentang Penulis
Erni Saputri lahir di Lampung tahun 1986 merupakan pengajar Fisika di MAN 4 Ciamis sekaligus ibu rumah tangga yang dikaruniai 3 orang anak bernama Muhammad Fiza Bilwafa (13 tahun), Muhammad Alfarizqi (8 tahun), dan Annisa Trisha (3 tahun). Dia telah menekuni bidang kepenulisan sejak tahun 2017 hingga yang menghasilkan 1 buku pelajaran dan lebih dari 15 antologi fiksi. Erni dapat dihubungi di FB: Erni Saputri, IG: ernisabintisayuti, TikTok: Erni saputri, YouTube: Erni Saputri.
Posting Komentar