[CERPEN] Langit yang Menyimpan Janji

Table of Contents
pemandangan langit
ilustrasi langit (freepik.com/wirestock)
Langit sore itu berwarna jingga, membaur indah di angkasa, diselingi hembusan angin yang memberikan sejuk suasana. Tapi bagi Ranti, warna itu bukan pertanda indah—melainkan pengingat bahwa hari akan segera berakhir tanpa banyak kemajuan.

Ia menatap langit dari balkon kos sederhana yang hanya muat satu meja belajar dan lemari kecil. Tatapannya kosong, menerawang jauh ke sudut keraguan dan ketidakpastian. Bau gorengan dari warung sebelah menusuk hidung, tapi uang di dompetnya hanya tersisa dua lembar dengan nominal seribuan.

“Kalau bukan aku yang kuat, siapa lagi?” gumamnya pelan, menatap foto ibunya yang diselipkan di bingkai lusuh. Air mata mengalir di pipinya, namun cepat ia usap dengan punggung tangan. “Aku harus kuat, dan harus berhasil memberikan yang terbaik untuk ibuku.” Semangatnya kembali menyala saat mengingat ibunya. “Ibuku tanggung jawabku, aku harus bergerak dan tetap semangat,” bisiknya sambil menepuk-nepuk dada.

Sudah dua tahun sejak ayahnya meninggal, meninggalkan utang dan rumah sederhana di kampung. Sejak itu, Ranti menolak menyerah. Ia bekerja di warung makan tiap pagi. Meski gajinya tak besar, Ranti tak patah semangat. Ia kuliah sore hari, belajar malam sampai tertidur di depan laptop, dan tetap berdoa setiap malam untuk kelancaran langkahnya.

Teman-temannya banyak yang menyerah, tapi tidak berlaku bagi Ranti. Baginya, hidup tak bisa diminta mudah—ia hanya perlu menjalaninya dengan hati yang kuat. Keyakinannya sederhana: bersungguh-sungguh, niscaya ada solusi untuk menyelesaikan masalah. Apalagi ketika melihat ibunya yang sangat berharap Ranti bisa menjadi tulang punggung keluarga.

***

Suatu sore, hujan turun deras tanpa aba-aba. Ranti berlari di tengah kampus, menutupi kepala dengan buku tebal. Tiba-tiba, sebuah payung hitam terbuka di atas kepalanya.

“Sendirian aja, Ranti?” Suara itu terdengar tepat di sebelah kirinya, Ranti melirik untuk memastikannya.

Suara itu lembut tapi tegas. Itu adalah Arka, mahasiswa tingkat akhir yang dikenal ramah dan selalu siap membantu siapa pun. 

Ranti tersenyum kaku. “Aku cuma mau cepat-cepat ke kelas, Kak.”

Arka tertawa kecil. “Aku juga. Tapi aku bawa payung, kamu enggak. Kita kerja sama aja, ya?”

Sejak hari itu, Arka menjadi sosok yang sering hadir tanpa diminta. Ia membantu Ranti mengerjakan tugas, menemaninya lembur di perpustakaan, bahkan sesekali membelikan kopi sachet di kantin. Bagi Ranti, Arka bukan hanya seorang pahlawan, tapi juga seseorang yang membuat langkahnya terasa lebih ringan.

“Ran,” kata Arka suatu malam di taman kampus, “aku bantu kamu, bukan karena kamu lemah. Aku bantu, karena aku tahu kamu kuat, tapi dunia kadang terlalu berat buat kamu hadapi sendirian.”

Ranti hanya terdiam. Namun dalam diam itu, ia tahu kehadiran Arka adalah hal kecil yang menenangkan hatinya.

***

Tidak hanya Arka, Ranti juga mempunyai sahabat karib bernama Lila. Seseorang yang dikenal ceria, cerewet, dan tidak bisa diam. Kalau Ranti adalah air yang tenang, maka Lila adalah api, yang menyala-nyala dengan energi tiada henti.

“Ran, kamu tuh terlalu serius hidupnya,” kata Lila sambil menyeruput es teh di kantin. “Coba sekali aja liburan bareng aku ke pantai. Hidup nggak cuma soal skripsi dan kerja sambilan.”

Ranti tertawa. “Kalau aku liburan, nanti kamu yang bayarin tiketnya ya.”

Lila pura-pura menatap langit. “Hmm… kayaknya aku juga belum gajian, deh.”

Meski sering menggoda, Lila diam-diam mengagumi sahabatnya itu. Ia tahu betapa keras perjuangan Ranti. Bahkan kadang, saat Ranti tak sadar, Lila menyelipkan uang kecil di tasnya agar temannya bisa makan dengan layak.

“Ranti tuh keras kepala tapi hatinya lembut,” begitu Lila pernah bilang pada Arka. Arka hanya tersenyum samar. “Itu alasan aku kagum sama dia.”

***

Hari wisuda pun tiba. Hari yang penuh perjuangan itu akhirnya terlewati oleh Ranti. Ia mengenakan toga dengan tangan bergetar, berdiri di antara ribuan mahasiswa lain. Di antara kerumunan, Lila melambai dengan bunga matahari di tangan, sementara Arka berdiri di kejauhan membawa payung, meski langit cerah. Setelah acara usai, mereka bertiga makan di warung sederhana.

“Selamat, Ranti Sarjana Pendidikan!” seru Lila.

Ranti tertawa. “Sarjana nganggur, kali.”

Dan ternyata, ucapan yang niat awalnya hanya bercanda itu menjadi kenyataan pahit. Bulan demi bulan berlalu, lamaran kerja Ranti tak kunjung membuahkan hasil. Ia bekerja di toko buku kecil untuk bertahan hidup. Kadang malam-malam ia menangis diam-diam, menatap ijazah yang tergulung di sudut meja.

***

Suatu malam, Arka datang membawa dua bungkus nasi goreng. “Masih belum ada kabar kerja?” tanyanya pelan.

Ranti menggeleng. “Kayaknya ijazahku cuma pajangan.”

Arka menatapnya lembut. “Ijazahmu bukan tujuan. Itu cuma awal. Kamu belum gagal, kamu cuma belum sampai.”

Kalimat itu menjadi penguat. Tapi tetap saja, dunia nyata tak selalu ramah. Sampai suatu pagi, sebuah email datang, di situ tertulis: “Selamat! Anda diterima sebagai staf di Lembaga Pendidikan Cahaya Nusantara.”

Ranti menatap layar dengan air mata menetes. Akhirnya ia punya tempat untuk berjuang lagi. Berjuang tanpa henti untuk menjalani kehidupan bersama ibunya yang membutuhkan biaya dari Ranti.

***

Hari pertamanya di lembaga itu berjalan canggung. Ia berkenalan dengan Bu Sari, kepala lembaga yang tegas tapi perhatian, dan seorang rekan baru bernama Bagas.

Bagas termasuk orang yang humoris, suka menggoda, tapi pandai mengajar. Ia cepat akrab dengan semua orang—kecuali Ranti, yang masih canggung dan kaku.

“Bu, guru baru ini kayak robot,” celetuk Bagas saat rapat. 

Ranti memutar bola mata. “Dan kamu kayak radio rusak, nggak bisa diam,” responnya spontan.

Tawa pecah di ruang itu. Namun di balik canda, Bagas ternyata menyimpan masa lalu yang berat. Ia dulu pernah gagal mengajar di daerah konflik, dan kehilangan murid akibat penyakit. Sejak itu, ia menutupi lukanya dengan humor.

Suatu ketika di lokasi mengajar, Ranti menemukan Bagas duduk sendiri menatap langit. “Kamu percaya nggak, Ran,” katanya lirih, “kadang Tuhan ngasih kita kehilangan biar kita tahu rasanya menghargai.”

Ranti menatap langit yang sama. “Mungkin karena itu kita dikasih hati yang kuat. Biar bisa sembuh, meski pelan.”

Malam itu, keduanya saling memahami tanpa banyak bicara. Ranti dan Bagas menjadi sering berdiskusi dan membagikan ceritanya satu sama lain.

***

Hari-hari berlalu. Ranti semakin menikmati pekerjaannya. Ia menempuh perjalanan jauh ke desa-desa, mengajar anak-anak membaca dan berhitung, membantu mereka menulis surat untuk masa depan. Kadang ia kelelahan, tapi setiap kali anak-anak memeluknya, rasa lelah itu sirna.

Di sela kesibukannya, Arka masih sering mengirim pesan kepada Ranti. “Langit di sini mendung. Kamu di sana baik-baik aja, kan?”

Ranti selalu membalas singkat tapi hangat. “Aku baik. Lagi ngajar anak-anak tentang arti mimpi.”

Lila kadang datang menjenguk, membawa makanan dan cerita lucu dari kota. “Ran, kamu sadar nggak, kamu sekarang kelihatan beda?” katanya suatu kali.

Ranti mengernyit. “Beda gimana?”

“Dulu kamu berjuang buat hidup. Sekarang kamu hidup karena perjuanganmu sendiri.”

***

Tujuh tahun berlalu. Lembaga Cahaya Nusantara berkembang pesat. Gedung baru berdiri megah di pinggir kota, dengan mural anak-anak yang menggambarkan mimpi mereka sebagai seorang guru, dokter, pilot, dan… Ranti?

Hari peresmian sekolah baru menjadi momen besar. Bu Sari menatap Ranti dengan bangga. “Kamu dulu datang dengan mata penuh ragu. Sekarang kamu berdiri dengan langkah pasti. Itu yang bikin aku percaya, pendidikan bukan cuma tentang buku, tapi tentang hati.”

Di antara keramaian, Lila datang sambil membawa bunga dan kamera. “Ran, aku jadi influencer sekarang! Mau wawancara Ibu Ranti, pejuang langit pendidikan!” teriaknya sambil tertawa.

Di belakang, Arka berdiri diam. Kini ia bekerja di lembaga pemerintah yang mendukung pendidikan desa. Rambutnya mulai sedikit beruban, tapi tatapannya masih sama hangatnya.

“Selamat, Ran,” katanya saat mereka berdua duduk di taman belakang sekolah.

“Dulu kamu bantu aku waktu nggak punya apa-apa,” jawab Ranti pelan. “Sekarang, aku cuma mau bilang kalau aku nggak akan lupa siapa yang pertama ngajarin aku tentang arti percaya.”

Arka tersenyum. “Aku bantu kamu jalan waktu itu. Tapi yang bikin kamu sampai sejauh ini, itu karena kamu nggak pernah berhenti melangkah.”

Ranti menatap langit jingga di atas mereka. “Langitnya masih sama, Ka.”

“Iya,” jawab Arka, “tapi kamu yang udah berubah. Sekarang kamu bagian dari langit itu.”

Mereka terdiam lama. Angin sore berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan kenangan lama. Lila tiba-tiba muncul sambil membawa kamera.

“Ayo, foto bertiga! Aku, kamu, dan Arka—pejuang dari masa kuliah!”

Ketiganya tertawa, lalu berpose di bawah langit senja. Di foto itu, ada tiga orang berbeda karakter. Ranti yang tegar, Lila yang ceria, Arka yang tenang, tapi ketiganya punya satu kesamaan, mereka pernah jatuh, tapi tidak pernah berhenti bangkit.

Dan di bawah langit yang dulu menjadi saksi perjuangan, mereka kini berdiri—bukan lagi sekadar bertahan, tapi menebar cahaya bagi yang lain.

***

Tentang Penulis

Ibu Herti, itu panggilan saya di Madrasah. Guru di MIN 2 Kota Tangerang Selatan yang gemar menulis dan aktif berkolaborasi dalam penulisan cerpen, cerita anak, artikel, kumpulan puisi. Berkomitmen mengembangkan diri, berbagi inspirasi, serta menghadirkan nilai-nilai pendidikan melalui setiap tulisan yang dihasilkannya. Ia terus mengeksplorasi ide baru untuk memperkaya kualitas setiap karya-karyanya sepenuhnya.

Komunitas Ufuk Literasi
Komunitas Ufuk Literasi Aktif menemani pegiat literasi dalam belajar menulis sejak 2020. Menghasilkan belasan buku antologi dan sukses menyelenggarakan puluhan kegiatan menulis yang diikuti ratusan peserta.

Posting Komentar